logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Warung Soto

Warung Soto

Zylan Agatha


Chapter 1 Usus Tercecer di Jalan

"Kumpulin otak sama ususnya!”
Suara tulang yang retak tertindas ban truk itu membuat beberapa orang diam terpaku. Lututku lemas melihat darah bercucuran di jalan. Orang-orang berteriak meminta tolong, sedangkan beberapa lagi mengambil sesuatu untuk menutupi jasad. Daun pisang, kardus, bahkan spanduk robek pun dicomot untuk menutupi mayat seorang gadis yang mengendarai motor matic.
“Kecelakaan lagi, Ya Allah …,” lirih seorang ibu-ibu sambil menggendong anaknya yang menangis.
“Lagi? Memang udah sering kecelakaan di sini, ya, Bu?” tanyaku penuh selidik.
“Iya, Neng. Orang baru, ya?”
“Kebetulan Pakde saya tinggal di sini. Jualan soto juga, tuh di seberang sana,” jawabku semringah.
“Oalah. Si Inez, ya? Tiap minggu di depan warung ini selalu ada kecelakaan, Neng. Aku juga gak tau kenapa. Ada yang meninggal, ada juga yang sakit lama terus meninggal juga,” jelas ibu itu. Aku menelan ludah, kampung Pakde sangat menyeramkan.
"Kok bisa gitu, Bu? Jalannya gak rusak kok, tanjakan juga gak begitu curam," tanyaku heran.
"Itulah, Neng. Warga di sini udah kebingungan. Takut-takut juga kalau mau lewat jalan sini, tapi mau gimana? Belum ada jalan lain," timpalnya.
Lebih sepuluh tahun tak menginjakkan kaki di kampung ini, ada banyak sekali hal yang berubah. Pun rasanya semakin menyeramkan. Mungkin karena pepohonan rindang di pinggir jalan masih ada. Katanya, pohon-pohon itu dihuni makhluk halus sehingga tidak ada yang berani menebangnya.
Meskipun jalan sudah diperbaiki dan tidak sehancur dulu, tetap keheranan karena sering terjadi kecelakaan.Sekali dua kali, mungkin kebetulan atau sudah takdir. Namun, jika terlalu sering, haruskah curiga dan mencari penyebabnya?
“Saya izin pulang, Bu. Gak tahan lihat kecelakaan begini. Kasihan sama keluarganya.”
Tak terbayang sakit hatinya keluarga ditinggal mati dengan cara mengenaskan seperti itu. Ususnya berserakan, kepalanya gepeng hingga keluar semua isi kepala. Tadi aku melihat bapak-bapak memungut sebuah bola mata. Aku ingin muntah rasanya.
Dulu aku sering melihat kecelakaan di kota, tapi baru kali ini melihat jelas jenazah yang tak berbentuk itu.
Tangis pilu sang ibu yang berlari menghampiri sang anak yang sudah tak bernyawa. Kerumunan orang-orang terlihat iba. Namun, ada beberapa yang merekam kejadian naas tersebut. Aku yang tak habis pikir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka.
“Kenapa, Nez? Kok muntah-muntah begitu?” tanya Bude yang sedang menyusun mangkuk jualan.
“Ada kecelakaan di depan Warung Sri Rejeki, Bude. Inez gak tahan lihat mayatnya,” jawabku dengan napas yang masih memburu.
“Hancur?”
“Iya, Bude. Hancur, mungkin gak bisa dikenali lagi mayatnya.” Bude memberiku sebotol air mineral dan langsung kuteguk setengah.
“Kalau sudah begitu, dijahit asal aja sama jeroan yang ditemukan. Dikubur seadanya yang penting ada,” ucap Bude. Aku pun mulai membayangkan jika isi kepala dan perut disatukan asal karena sudah hancur.
“Oh, gitu? Terus kalau masih ada sisa-sisa jeroan di jalan tapi gak ketemu gimana, Bude?” tanyaku lagi. Tiba-tiba penasaran dengan hal ini.
“Biasanya diletakkan aja payung hitam selama 40 hari dan keluarga berziarah juga mendoakan almarhum di tempat ia meninggal tadi,” jawab Bude yang masih fokus dengan dagangannya.
“Depan sana warung baru, Bude?”
“Baru satu bulan, Nez dan sudah ada 4 kali kecelakaan sama ini. Bude curiga pemilik warung itu memakai jin penglaris.”
Aku yang notabenenya kurang percaya hal gaib pun tersedak liur sendiri. Pernah mendengar tentang penglaris ini di berbagai daerah, tapi baru tahu jika sampai mengorbankan manusia.
Bude hening beberapa saat, sibuk melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan aku terus membayangkan kecelakaan tadi. Mengerikan.
***
Sore hari, aku disuruh Bude membeli garam dan jeruk nipis untuk kuah sotonya. Karena cuaca sedikit mendung, aku bergegas membeli barang itu dan pulang. Sialnya di jalan ada mobil melaju kencang hingga aku terjatuh dan plastiknya terlempar ke tengah jalan.
Aku berlari dan berusaha mengambilnya tapi sayang ... sebuah motor dengan cepat melindas plastik itu. Sudah pasti hancur. Garamnya berceceran dicampur cairan jeruk nipis yang hancur terlindas ban motor.
“Haduh, beli lagi dong,” sungutku kesal. Mau marah juga bagaimana? Orangnya sudah pergi jauh juga. Sialan! Semoga dia yang jadi tumbal jin penglaris!
Setelah membeli jeruk nipis dan garam lagi, aku bergegas pulang karena hujan mulai turun.
Sreeet!
“Tolong carikan bola mataku ...."
Hanya salah dengar, hanya salah dengar! Yakinlah itu hanya ulah makhluk halus yang jahil. Jangan menengok ke belakang.
“Aaakh!”
Aku ikut berteriak juga ketika mendengar jeritan seseorang di belakang. Jeritannya memekik kencang, telingaku sampai sakit mendengarnya. Ingin menolong tapi takut, bagaimana sekarang?
Sesampainya di rumah, aku menaruh plastik itu di atas meja dan merebahkan diri. Sejak tadi pergi dan pulang, apakah belum ada pelanggan yang datang? Bude benar, warungnya sepi. Kalau begini terus, lama-lama usaha mereka bangkrut.
Lamat-lamat terdengar suara Bude di belakang. Diam-diam aku menyimak pembicaraan Bude dengan Pakde yang tampak serius itu.
“Mas, warungnya tutup aja, ya? Kalau begini terus kita rugi, Mas. Modal gak kembali, pelanggan makin gak ada. Parahnya hari ini belum ada satu mangkuk pun yang terjual,” ucap Bude terdengar pasrah.
“Mau gimana lagi, Dek? Hanya ini usaha kita. Mas gak bisa kerja lagi.”
“Apa Mas gak curiga sama warung baru itu? Kayaknya dia sengaja menutupi warung kita, Mas,” kata Bude menerka-nerka.
“Maksud Adek, mereka memakai penglaris?” Bude mengangguk cepat, aku juga ikut manggut-manggut. Meski bingung apa itu penglaris, tapi rasanya menarik juga membahas ini.
“Aku curiga setiap minggu selalu ada kecelakaan di depan warung itu, Mas. Entah berapa nyawa sudah direnggut. Sebelumnya gak ada.”
“Kamu bener, Dek. Sebetulnya Mas juga curiga. Kasihan Inez juga kalau ada rumor gak enak di kampung ini.”
"Bener, Mas. Inez baru aja ke sini setelah beberapa tahun tinggal di kota. Aku gak mau menyusahkan dia."
Hendak ke kamar, aku melihat Bude yang mengangkut masuk panci besar berisi kuah soto. Masih penuh, memang belum ada yang terjual. Di belakang menyusul Pakde membawa ayam dan bahan-bahan lain. Tak tega melihat raut wajah mereka yang memelas. Sepertinya keputusan berlibur ke rumah Bude salah. Aku datang di saat yang kurang tepat.
Aku menghela napas dan pergi ke kasur. Baju agak basah, tanggung sekali mandi di jam seperti ini. Akhirnya hanya pergi mengganti baju dan dalaman, lalu meletakkan pakaian kotor di mesin cuci. Sudah hampir magrib, maka kututup jendela dan tirai. Namun, ketika hendak berbalik badan, suara jeritan itu terdengar lagi.
Tok, tok, tok!
Aku menoleh meski takut. Ada yang mengetuk jendela kaca itu.
“Periiih! Periiih!”
“Bude!”
***

Book Comment (466)

  • avatar
    sulistiowatiEndhah

    ceritanya bagus, alurnya jelas

    19/05/2022

      0
  • avatar
    azzahrazulaika

    bagus sekali ceritanya

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Arisky Agung

    bagus banget novel ini sangat seru untuk di baca dengan siapapun

    13/05/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters