logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 6 Pengakuan Cinta

Aku sangat terkejut. Karena tiba-tiba saja, Arfan yang dikenal sebagai pria si pembuat masalah, menarik tanganku begitu saja tanpa permisi. Dia menarik tanganku dan menggenggam tanganku sampai parkiran sekolah. Beberapa orang yang masih berada di sekolah, tampaknya bingung melihat interaksi antara aku dengannya yang terlihat sangat langka ini.
Ini kenapa Arfan tiba-tiba berinisiatif nganterin aku pulang? Dia itu kenapa, sih? Aneh banget tiba-tiba menawarkan diri untuk pulang bersama. Kenal juga nggak, dia malah main tarik-tarik tangan orang dengan seenaknya.
Aku berusaha melepaskan cengkraman tangannya, tapi genggamannya benar-benar kuat. Hingga aku tak sadar, kalau kami sudah berhenti tepat di depan sepeda motor KLX 150 berwarna hijau di parkiran sekolah.
“Nih, pakai!” katanya sambil memberikan sebuah helm bergambar Hello Kitty kepadaku.
Buset!! Ini manusia langka banget. Wajah sangar kaya preman, tapi helmnya Hello Kitty. Aku jadi geli sendiri melihatnya.
“Ini, pakai helmnya. Mau ditilang polisi atau ditilang gue?” katanya yang nggak jelas itu.
Aku menghela napas pendek. Dengan sangat terpaksa, akhirnya aku menerima helm pemberian darinya. Ku pakai helm pemberian darinya, lalu aku naik ke atas jock motornya. Awalnya, aku sempat ragu untuk pulang bersama dengannya, tapi entah kenapa aku langsung naik begitu saja, dan sudah berada di atas jock motornya dengan perasaan yang cukup bingung.
Sial, gara-gara motornya motor KLX, rokku jadi terangkat dan pahaku jadi terlihat. Aku berusaha untuk menarik-narik ujung rokku ke bawah agar tidak terlihat seksi. Melihat aku yang risih seperti ini, Arfan langsung melepaskan jaket kulitnya dan memberikannya padaku.
“Nih, tutupin pake ini,” katanya sambil memberikan jaketnya padaku.
“Nggak usah,” tolakku dingin.
“Nggak usah ngeyel. Gue nggak mau paha lo di lihat orang lain.”
“Jadi, kalau sama lo boleh gitu?” jawabku sinis.
“Ya, nggak juga kali, Ris.”
Dengan terpaksa, kali ini aku kembali menerima jaket pemberian darinya dan aku tutupi pahaku dengan jaketnya agar tidak terlihat seksi.
“Pegangan,” katanya kembali.
“Nggak usah,” jawabku yang terkesan jutek dan juga dingin.
“Gue nggak tanggung jawab yah kalau lo sampai jatuh dari motor gue. Lo mau terbang ke bawa angin? Sadar diri Neng, lo itu mungil.”
Karena dia sudah berkata seperti itu, mau tidak mau aku memegang tasnya karena tidak ingin terjatuh dari motornya. Arfan tersenyum tipis kemudian langsung bergegas pergi setelah aku memegang ujung tasnya itu.
Selama di perjalanan, kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Keadaan yang mulai sunyi senyap, membuatku merasa jadi kikuk. Tidak tahu harus memulai pembicaraan dengannya dari mana, tapi aku beneran bingung. Benar-benar bingung tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa.
Kami berhenti tepat di sebuah warung bakso Ihsan. Aku turun dari motornya Arfan dengan bingung sambil celingak-celinguk tidak jelas.
“Kita makan dulu, gue laper.”
Mendengar dia berbicara seperti itu, aku hanya mengangguk pasrah dan ikut masuk ke dalam untuk makan bersamanya.
“Ris, lo takut sama gue?” tanyanya tiba-tiba saat di sela-sela mengunyah makanannya.
“Takut sama lo? Nggak juga,” jawabku pelan dengan cueknya.
“Terus, kenapa lo dari tadi diem aja? Gak mau natap wajah gue kalau lagi ngomong sama gue. Emangnya gue menakutkan?”
Iya, kamu itu menakutkan. Kamu itu preman, aku takut dekat-dekat sama kamu. Rasanya, ingin sekali aku berkata seperti itu kepadanya. Tapi, aku tak bisa mengatakannya, karena takut menyinggung perasaannya.
“Bukan gitu maksud gue.”
“Elo udah denger gossip apa dari temen-temen lo? Gue anak bermasalah yang suka bikin keributan? Atau, gue dikatain preman sekolah sama temen-temen lo?” katanya memotong, hingga membuatku bingung harus menjawab apa pertanyaannya itu.
“Nggak, ko!” elakku berbohong.
“Jujur aja sama gue, Ris. Gue nggak akan marah, ko.”
“Jangan sok tahu, deh. Gue nggak denger gossip apa pun tentang lo,” jawabku terpaksa berbohong.
“Masa?” tanyanya kembali untuk memastikan.
“Iya. Bawel ya lo lama-lama,” ketusku sambil memutar-mutar sendok makanku.
“Oke, kalau begitu.”
Setelah suasana cukup tenang, kami berdua sibuk dengan makanan kami masing-masing. Lagi pula, aku sudah malas sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan darinya yang nggak penting itu.
“Gue suka sama lo, Ris,” tuturnya pelan secara tiba-tiba, cepat, lugas, dan tanpa jeda sedikit pun.
Aku yang sedang makan pun langsung tersedak begitu mendengar pernyataannya yang tiba-tiba saja itu. Aku langsung menatap wajahnya dengan ekspresi wajah yang sangat terkejut. Arfan juga menatapku begitu tajam, hingga membuat suasana cukup kaku dan juga canggung.
Sumpah, aku takut kalau Arfan sudah menatapku seperti itu. Matanya itu loh, menyeramkan sekali.
“Gue orangnya to the point dan gak suka bertele-tele. Jadi pacar gue,” katanya kembali.
Apa ini maksudnya? Dia mengutarakan perasaannya kepadaku? Kenapa bisa? Aku saja baru mengenalnya. Gila ini anak! Tanpa ada pendekatan sama sekali, dia berani-beraninya mengajakku berpacaran.
“Tunggu, ini serba mendadak. Gue belum mengenal lo begitu jauh, kita juga baru saling kenal. Kenapa juga lo mau gue jadi pacar lo?”
“Makanya, kalau mau saling tahu lebih jauh, kita pacaran aja. Lagi pula, gue udah suka sama lo dari awal kita bertemu. Jadi, gak ada salahnya kan kalau gue ngajak lo pacaran?”
Apa? Seenaknya sekali dia berkata seperti itu. Mana mungkin bisa orang yang baru saja saling kenal, langsung berpacaran begitu saja.
“Mau nggak?” katanya kembali.
“Arfan, gue . . . .”
“Oke, kita pacaran,” katanya dengan cepat memotong perkataanku dan terkesan memaksa.
“Eh, tunggu dulu, kenapa lo tiba-tiba memotong pembicaraan gue?”
“Pulang, yuk? Udah sore, nanti keburu hujan,” katanya mengalihkan pembicaraan.
Arfan langsung beranjak dan segera membayar pesanan kami berdua. Wong edan!! Kenapa situasinya jadi rumit seperti ini?
Setelah membayar pesanan kami, Arfan langsung mengantarku pulang. Begitu sampai di depan rumah, aku langsung membuka helm miliknya dan memberikannya kepadanya.
“Makasih udah nganterin gue pulang.”
“Pinjem handphone lo, dong.” Arfan langsung menyodorkan tangannya begitu dia menerima helm pemberian dariku.
“Buat apa?” tanyaku harap-harap cemas.
“Pinjem sebentar,” katanya kembali.
Aku langsung memberikan handphoneku padanya. Beberapa detik kemudian, ia kembali mengembalikan handphoneku. Entah apa yang sudah ia perbuat, semoga saja bukan hal-hal yang aneh.
“Gue pulang dulu. Besok gue jemput.”
“Eh?”
“Assalamualaikum,” pamitnya yang kemudian pergi.
“Waalaikumsalam.”
Aku cukup tercengang mendengarnya. Ternyata, pria sangar seperti dia, tahu juga soal sopan santun dan cara mengucapkan salam yang benar.

Book Comment (239)

  • avatar
    KhairunnisaYasmin

    mayan

    29d

      0
  • avatar
    1207Sumi

    trpesoba dengan ceritanya

    28/07

      0
  • avatar
    risristi

    bagus banget

    18/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters