logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 7

"Bentar, biar mas yang bukain pintunya."
Pulang dari klinik, mas Alva menghentikan mobilnya di depan garasi. Saat aku melepas seat belt, dia langsung turun memutari kap depan lantas membukakan pintu untukku. Segera kupungut sepatuku di bawah jok, dan menyandang tas hendak turun. Namun, nyeri di kakiku masih meradang dan merasuk sampai ke dalam syaraf.
"Mas gendong aja ya," kata mas Alva.
"Ehh, jangan.." tolakku tidak enak.
"Mau di depan apa belakang?"
"Gak usah mas, aku bisa jalan—"
Tanpa menunggu protesku, mas Alva bergerak cepat membopongku keluar mobil. Apalah dayaku tidak bisa mencegah, mau tak mau aku berpegangan di bahunya. Perlakuannya ini, membuatku merasa seperti seorang ratu. Pun, tatapan intensnya memicu senam jantung.
"Selama kamu sakit, mas akan jadi kakimu." katanya, lalu membawaku masuk rumah. Setiap langkahnya tak mampu kulupa, seolah beban beratku seringan kapas.
"Bunda..!! Bunda..!!" teriakan mas Alva menggema di dinding ruang tengah, tak lama suara bunda menyahut dari arah dapur. Beliau terkesiap melihatku digendong mas Alva, tentu masih lengkap dengan baju olahraga.
"Astagfirullah, ada apa ini..?? Kakimu kenapa, dek..??" panik bunda spontan menyentuh kakiku yang berbalut perban. Kala itu juga aku merintih kesakitan, padahal hanya dipegang namun rasanya seperti dipukul besi.
"Nih, anak bunda jatuh. Gak bisa jaga diri banget." ujar mas Alva menyindirku. "Bisanya bikin orang khawatir."
"Jatuh dimana? Kok bisa?" cemas bundaku.
"Ya gini kalau banyak ngelamun," kata mas Alva. Kan, sinis? Tentu saja tidak menjawab pertanyaan bunda.
"Tapi ini, patah atau terkilir biasa? Udah dibawa ke rumah sakit? Parah gak? Takutnya kalau ada luka dalam gak tau.. sampe harus digendong begini," lagi, bunda jadi was-was.
"Udah diobatin kok bun, gapapa.." ujarku.
Bunda mengusap pundakku. "Yaudah, mas bawa ke kamar aja biar istirahat. Bunda bikinin minum dulu."
"Iya, bun." jawab mas Alva.
Sepeninggalan bunda kembali ke dapur, bergegas mas Alva mengantarku naik. Tiba di kamarku, perlahan mas Alva menurunkanku di tempat tidur, lantas menegakkan bantal dibalik punggung supaya posisiku nyaman untuk bersandar. Dua kakiku diluruskan, dan dibuatnya agak tinggi dengan meletakkan guling di bawah tungkaiku.
Aku tidak bisa menampik, semua perhatian mas Alva benar-benar menyentuh hatiku. "Mas, makasih ya.."
Aktivitas mas Alva terhenti. "Makasih untuk apa?"
"Udah gendong aku, kayak bayi gede." cicitku.
Kudengar helaan napasnya. Mas Alva beringsut, duduk di tepi ranjangku, memperhatikanku terang-terangan hingga aku tidak berani menatap matanya. Entahlah, kupikir dia kesal padaku karena celaka yang kualami.
"Kalau butuh apa-apa, bilang aja," getar suara nge-bass itu, seiring belaian di puncak kepalaku. "Kamu gak perlu keluar, di kamar aja sampe bener-bener sembuh. Ngerti?"
Masih saja aku suka gugup di dekat mas Alva, kujawab anggukan dalam tundukku. "Iya mas, maaf ngerepotin." 
"Siapa yang ngerasa direpotin?" tembaknya.
"Y—ya, mas Alva.." jawabku terbata-bata.
"Siapa? Sebut lagi," lelaki itu memancingku.
Aku menengadah, menelan ludah. "Mas Alva."
"Sekali lagi yang lengkap.." masih tak cukup juga?
"Mas.. Alva.. Alvaro.." dan, suaraku nyaris habis.
Tajam, dalam sekejap mas Alva mengunciku hingga mati kutu. Tatapannya menghanyutkan, dan aku tidak tau apa yang salah dari ucapanku. Lambat-laun waktu berputar, pundak kokoh itu bergerak maju dan menghapus jarak.
Ini jelas tidak baik untuk kesehatan jantungku. Batinku menjerit-jerit kemana perginya asupan oksigen, susah payah aku menghirup tapi dadaku tak bisa dikondisikan. Seakan-akan ada magnet kuat dalam diri mas Alva yang menariknya, bahkan cadangan oksigen di paru-paruku.
"Sebut nama mas sebanyak kamu mau, anything for you.." gumam mas Alva lirih, persis di depan wajahku. Daguku, menjadi tawanannya. "Semakin sering kamu ngerepotin mas, makin mas sayang sama kamu, dek."
Cup!
Kecupan mendarat di keningku. Sedetik dua detik benda kenyal nan lembut menempel, waktu terasa melambat. Seluruh ragaku melemas sampai ke tulang-tulangnya, menjelma bagaikan lilin yang meluruh dibakar oleh api.
"Mas.." duniaku mendadak berubah dimensi, berkatnya. Tubuhku terasa ringan, secara tak kasat mata seperti melakukan sky diving, terjun bebas dari pesawat dan melayang di udara menggunakan parasut. Bahkan, gravitasi pun tidak sudi menarikku jatuh. Bukannya menyadarkanku, mas Alva malah menebar senyum.
Sampai akhirnya datanglah malaikat menyelamatkanku, bunda memasuki kamarku membawa segelas teh manis. Seketika mas Alva menjauh dariku, dengan eloknya tetap cool seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ah, hebat sekali.
"Minum dulu," dibantu bunda aku meneguk sedikit.
"Makasih, bun.." aku berbincang panjang lebar dengan bunda tentang kronologi insiden yang menimpaku tadi. Dan mas Alva terus menatapku, setiap tutur kataku dia menyimak tanpa mengalihkan fokusnya kemana, pun.
Inginku berkata, emang aku pisang?
•••
Samar-samar kudengar keras nyanyian jangkrik ketika aku membuka mata. Sedikit demi sedikit pandanganku mulai menajam sembari mengumpulkan nyawa, kuraih jam weker di nakas dan ternyata sebentar lagi mau Isya. Haisssh! Sudah berapa jam aku terlelap? Tidak ada yang membangunkan sama sekalipun. Kemana orang-orang?
Perlahan aku bangun, sambil mencengkram lutut kiriku. Ampun sungguh membosankan, keadaan ini sangat tidak memungkinkan untukku tidur miring apalagi jumpalitan.
Drrrtttt... Drrrtttt... Drrrtttt...
Benda canggih itu mencuri perhatianku. Langsung kusambar dan, segudang pesan telah membludak.
Baruna : by gimana keadaan lo?
Baruna : udah baikan belum?
Baruna : mestinya tadi lo gausah lari :(
Baruna : mestinya tadi gue gandeng aja :(
Baruna : jadi ngerasa bersalah sama lo :(
Aish! Dasar anak ini, serentetan pesannya hanya berisi penyesalan. Apa-apaan? Padahal cidera yang kualami tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Setelah kubalas ala kadarnya bahwa aku baik-baik saja, tiba-tiba dalam benakku terlintas sesuatu, yang tersimpan di loker nakas.
Boneka kayu pemberian mas Alva. Kugapai benda itu dan kuamati dalam diam. Berlarut-larut, aku tersenyum tanpa alasan. Terlebih, saat teringat ciuman mas Alva tadi siang. Berulang kali aku meraba bekas di keningku, masih nyata, seperti ada banyak kupu-kupu berterbangan di perutku.
Sejujurnya aku tidak paham apa yang kurasakan, sejak mas Alva kembali ke rumah hari-hariku mulai berbeda.
Ceklek!
Pintu dibuka, mas Alva masuk membawa nampan berisi makan malamku. "Udah bangun, dek?" sapanya padaku.
"Kenapa gak ada yang bangunin aku sih mas, tadi? Sampe kelewat Maghrib coba.. kan gak boleh tidur kalau Maghrib, masa dibiarin aja? Pamali mas, mestinya bangunin aku," masa bodoh datang-datang langsung kuomeli mas Alva.
"Kamu pules banget tadi, mas gak tega.."
"Ah, alesan.." gerutuku memberengut kesal.
"Yaudah, biar mas yang tanggung dosanya."
Deg!
Aku terpaku, mas Alva mendekatiku lantas meletakkan nampan di sisi tempat tidur. Tidak menghiraukanku yang terbengong, mas Alva sibuk sendiri menyiapkan beberapa tablet obat-obatan. Berisi pil dan kapsul berbagai warna.
"Sekarang kamu makan, terus minum obat." titahnya. Lalu memberikan padaku sepiring nasi dengan lauknya ayam rica-rica pedas, dan tumis sayur. Namun seleraku tidak tergugah, hanya kupandangi saja sampai kenyang.
"Malah diem aja, mau cepet sembuh gak sih kamu? Iya, nanti mas komunikasi sama Tuhan biar dosamu tidur pas Maghrib tadi, dikasih ke mas aja," celetuknya kemudian.
"Ih, mas Alva apa banget sih," dengusku malas. "Jangan segitunya juga lah, masa dosa diopar-oper emang bola?"
Mas Alva terkekeh. "Yaudah, buruan dimakan."
"Iya nanti, cacingku belum konser."
"Gak ada nanti-nanti, sekarang."
"Nanti mas, gak usah bawel ah."
Berangsur-angsur hening menyelimuti. Aku termenung memperhatikan kakiku dan berpikir, mungkin aku tidak akan bisa kemana-mana dengan kondisi yang seperti ini. Menggerakkan jari saja susah apalagi mau ke sekolah? Jangankan sekolah, jalan ke toilet saja butuh bantuan.
Malangnya nasibku.
"Untuk sementara waktu, kamu gak usah sekolah dulu.." celetuk mas Alva seolah bisa membaca pikiranku. "Besok mas ijin ke wali kelasmu, absen seminggu dua minggu."
"Apa??" kagetku. "Dua minggu??"
"Iya, sampe kakimu sembuh total."
Dengan entengnya mas Alva berucap, dua minggu tidak masuk sekolah mau jadi apa aku? Bisa-bisa kepalaku ini membeku, lupa caranya memegang pena, lupa caranya menulis, dan tertinggal materi. Oh, tidak. Bodohnya aku.
"Kamu gak akan bodoh, mas bisa ngajarin."
Lagi, aku semakin melongo. "Maksudnya??"
"Iya, mas jadi guru kamu selama kakimu sakit."
"Gak usah becanda deh mas, ada-ada aja.."
"Kalau sayang harus selalu ada, dek."
"Masa?" senyumku tertahan.
"Iya, nanti mas kasih garansi."
"Garansi apa?" tanyaku.
"Garansi sayang selamanya."
Malam ini terasa jauh lebih berarti, sakitku bukanlah apa-apa. Kehadiran mas Alva lebih dari cukup, ia rela menggelar karpet di lantai untuk menjagaku dan juga menemaniku di sepanjang malam. Rasanya, aku tidak ingin cepat-cepat posisi rembulan berganti matahari.

Book Comment (148)

  • avatar
    HaniNur

    Cerita nya kek imaginasi gua ngek😭😭,gua berharap gua punya abang kayak gini wou😭

    28/08/2022

      1
  • avatar
    Rifa tri Ndutt

    Ceritanya sangat menarik

    20d

      0
  • avatar
    GargarCora

    sangat bagus

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters