logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 6

Kalau jatuh cinta, bumi bentuknya love.
Berhari-hari kalimat itu terngiang di kepalaku, seperti spidol permanen yang tidak bisa dihapus jejaknya. Apa mungkin, jauh-jauh sekolah di Jerman ada pengajaran semacam itu? Tentang teori bumi berbentuk love ketika manusia jatuh cinta? Atau bahkan sudah ada penelitian yang mengkaji? Atau masih hipotesis sementara? Gila.
Bisa-bisanya mas Alva membodohiku begini. Mentang-mentang aku masih lugu dan belum pernah jatuh cinta. Namun, jika dipikir-pikir, mengapa lucu ya? Ucapan mas Alva itu tidak bisa dinalar dan ngawurnya kebangetan, tapi selalu berhasil membuatku senang dan kepikiran.
Kan, aku jadi keracunan senyumnya.
DUAGH!
"SHELBY... LARIIIIIIII..!!"
Suara Baruna melengking, serak-serak becek. Setengah tersadar aku langsung berlari menyusulnya menuju pos 2 yang jaraknya agak jauh di ujung lapangan. Ternyata bola yang dipukulnya melambung jauh, kini sudah ditangkap oleh Yogi—tim jaga, aku dan Baruna sudah tiba di pos 2.
"Lo ngapain sih bengong aja? Anak-anak udah bolak-balik pulang kandang lo masih aja ngejogrok di pos 1." Baruna menyeka keringat sambil mengatur deru napasnya yang ngos-ngosan, lalu duduk selonjoran di tanah bersamaku.
"Ngelamunin apa sih? Raga lo disini tapi jiwa lo melang-lang buana ke tempat lain." lanjut Baruna sedikit kesal.
"Lagi mager," jawabku dengan cengiran kecil.
Bosan basket dan voli, hari ini kelasku berolahraga kasti. Sekilas mirip bisbol, alatnya menggunakan bola kecil dan tongkat pemukul, dengan dua pos yang ditandai dengan pasak tiang untuk menclok. Teringat waktu SD, aku sering kena gebok saat bermain ini, sehingga ketika pembagian tim aku selalu dipilih yang terakhir. Nasib jadi buangan.
"By, lo itu deket banget ya, sama abang lo?"
Tidak kuduga Baruna menyinggung mas Alva, seketika menggugah naluriku. "Deket..? Dalam artian apa nih?"
"Gak, nanya doang," Baruna mengusap kepala tampak berpikir. "Gue emang belum kenal si, tapi sekalinya gue liat sikap dan cara pandangnya dia sama lo itu... beda. Bahkan, lebih dari sodara. Lo ngerti gak maksud gue?"
Mengerjap berulang kali, aku tersenyum paksa. "Yaelah, Ru. Jangan mikir aneh-aneh, dia itu kakak gue. Kalau dia care sama gue, ya wajar. Malah gue ngerasa beruntung."
Baruna manggut-manggut, "Hm. Lo bener kok. Gue yakin, siapapun cewek yang berada di posisi lo, pasti juga sama."
"Ru, kenapa ngomongin ini sih?" heranku.
"Gapapa, ya gue kagum aja liat dia kemarin. Abang lo itu heroik. Sama adek aja siap siaga, apalagi sama istrinya."
Deg! Hatiku mencelos mendengarnya.
"Shelby, gue jadi pengen berguru deh sama dia," ucap Baruna lagi, nyengir kuda. "Pengen nyerap ilmunya."
"Dikira dukun," tawaku. "Gak usah bertingkah ah."
Mengobrol dengan Baruna sampai lupa situasi. Gemuruh langkah kaki sejak tadi baru kusadari, rupanya tim kami sudah membludak di pos 2 dan belum ada yang pulang kandang, sebab pukulan pendek dan lemah jadi mudah ditangkap oleh tim jaga. Tau-tau kini hanya tersisa Mita.
PRIITTT..!!!
"KESEMPATAN TERAKHIR TIGA KALI PUKULAN..!! AYOO..!! YANG DI POS 2 KALAU TIDAK ADA YANG PULANG KANDANG DIBOM..!!" interuksi pak Darso selaku guru olahraga kami, dari kejauhan, membawa papan yang berisi absen murid.
"WOYY..!! JANGAN PADA NGERUMPI DONG..!! BALIK..!! KOSONG NIH..!!" teriak Mita berbalas acungan jempol serentak, oleh Baruna dan kawan-kawan satu tim kami.
"Semuanya.. Lari sprint ya.." komando Baruna. Bersama-sama kami fokus ke depan, seraya ambil ancang-ancang.
Putri, yang bertugas mengumpan bersiap mengayunkan lengan sebelum melempar bola. Mita meluruskan tangan dan tangan lainnya menggenggam erat tongkat. Ketika bola dilempar ke arahnya, Mita langsung memukulnya.
DUAGH!
Bola melesat kilat ke tengah lapangan dan mengarah ke penjagaan Deni. Nyaris saja, Baruna terpaksa mengerem kakinya lagi. "MIT..!! DEDEMIT..!! YANG KENCENG WOYY..!!"
DUAGH!
Pukulan kedua sedikit lebih keras, Mita sudah melakukan maksimal tapi bola itu tertahan oleh tim yang berjaga di sisi lapangan. Tidak aman. Baruna mengepalkan tangan.
"By, lari ya.." bisiknya padaku, kubalas anggukan.
"PUKULAN TERAKHIR..!! BALIK KANDANG ATAU DIBOM..!!" pak Darso tersenyum geli menyaksikan pertandingan ini.
Putri memberi umpan kembali, Mita benar-benar fokus. Detik demi detik bola itu terlempar, Mita melayangkan tongkatnya dengan mengerahkan sekuat tenaganya.
DUAGH!
PRIIIITTT..!!
Semua mata mengikuti arah bola melambung jauh ke belakang. Debu di tanah nampak berdebur begitu kaki Baruna tancap gas bagai gasing, mempimpin lari seperti dikejar setan. "ARGH..!! SELAMATKAN NYAWA KALIAN..!!"
Kami segerombol berlari menyerbu lapangan sebelum kena gebok. Sorakan heboh anak-anak tim jaga saling bersahutan agar cepat melempar bola, tapi waktuku terasa melambat ketika sekelebat bayangan mas Alva kembali hadir, dan merajai di pikiranku. Terpaan angin pun tak mampu mengusirnya. Entah kemana perginya separuh jiwaku, baru setengah lapangan tiba-tiba saja kakiku menghantam sesuatu yang keras, sangat keras.
BUGH!
Aku terjatuh, dan tak bisa bangkit lagi.
•••
"Awshh.."
"Tahan ya,"
Waktu berselang. Saat ini aku sudah dilarikan ke klinik yang letaknya hanya berdampingan dengan lapangan. Teman-teman menunggu di luar sedang kakiku masih diobati oleh dokter. Aku tidak melihat, ada batu cukup besar di permukaan tanah lapangan yang tidak rata. Sebab itu kakiku mengalami cidera. Memar, nyeri, dan juga membengkak. Seperti terkilir, namun lebih parah.
"Jangan banyak gerak dulu ya, nanti saya berikan resep obat untuk ditebus.." pesan dokter ketika perban itu telah melilit menutup tungkai kiriku. "Istirahat saja, permisi.."
"Terima kasih dokter,"
"Sama-sama,"
Dokter itu berlalu pergi membawa alat-alat medisnya, meninggalkanku sendiri di antara sekat-sekat tirai hijau tosca. Perlahan aku mencoba bangun dan menegakkan punggung, samar-samar terdengar derap langkah yang mendekat dengan tergesa-gesa, disusul bunyi serekan.
"Dek, kamu kenapa..??!!" Persis. Kedatangan mas Alva menyibakkan tirai bilik mengejutkanku seketika. Deru napasnya memburu dengan dada naik turun. Kentara sekali raut wajahnya, panik dan pucat menahan cemas.
"Mas Alva.. Kenapa bisa kesini?" tanyaku.
"Tadi ada yang ngabarin," mas Alva menyentuh kakiku. "Gimana keadaan kamu?? Kenapa bisa seperti ini??"
"Iya, abis olahraga mas. Tadi gak sengaja pas lari, aku nabrak batu. Kata dokter, ada retak sedikit," jawabku.
"Astaga, dek.." mas Alva tidak kuasa lagi melihat kakiku, matanya mulai berkaca-kaca saat mengusap pundakku. "Kamu ini, makanya hati-hati dong, dek. Mas kaget tau pas denger kabarnya tadi. Emang kamu mikirin apa sih, sampe jadi kayak gini? Suka banget bikin mas khawatir."
Menelan ludah kasar, aku menunduk. Terdiam seribu bahasa sambil memegangi lututku. Rasa kram masih menjalar, nyaris kaku. Semua ini gara-gara kamu, mas. Tapi tidak mungkin aku mengatakan terang-terangan. Bisa digaplok kepalaku. Lagipula, ini salahku sendiri.
"Kecelakaan gak ada yang tau, mas." gumamku.
"Mas takut kamu kenapa-kenapa, dek.."
Tangan kekar mas Alva tergerak merengkuh kepalaku. Menatapku intens dengan mata elang yang memancar keteduhan, hingga mengubah suasana menjadi damai. Terlebih, dalam relung dadaku, menyembuhkan lukaku.
Mas Alva membelai pipiku lembut, hingga menyentuh di sudut mataku. Dimana jejak basahnya masih menempel, sisa-sisa derai tangisanku ketika jatuh di lapangan tadi.
"Sakit..?" tanya mas Alva lirih, menyerupai bisikan.
Aku hanya mengangguk pelan.
Hap!
Wajahku terbenam di dadanya, dada bidang tertutup kaus dan jaket bomber. Ada ritme yang berdegup terasa di pendengaranku. Apalagi, saat dekapan mas Alva kian mengerat. Aku tak bisa berkutik. Usapan di punggungku menenangkan, berlarut-larut aku memejamkan mata. Pelukan mas Alva membuatku melupakan rasa sakitku.
"Ekhem.."
Jantungku seakan melorot ke perut saat deheman itu menginterupsi, sontak mas Alva melepaskanku. Dokter datang kembali membawa secarik kertas. Ada guratan senyum tertahan di bibir merah itu, membuat Alva jadi salah tingkah. Malu, wajahku ikut memanas. Demi apa kedapatan peluk-pelukan di tempat sepi begini. Aduh.
"Maaf mengganggu, ini resep obatnya."
"Makasih dokter," jawabku kemudian.
Wanita itu tersenyum, lagi. "Cinta adalah obat paling ampuh dari segala rasa sakit. Jangan sembunyikan."
Aku dan mas Alva melongo. Apa maksudnya?
"Jangan lupa ditebus obatnya, semoga lekas sembuh.." dokter undur diri setelah membekukan diriku dan mas Alva, dengan ucapan yang begitu kronis, stadium akhir.
Cinta, dan sembunyi. Dimana korelasinya? Ragu-ragu kutengok mas Alva, raut wajahnya sulit untuk kubaca. Bibir terkulum rapat, seperti sedang berpikir. Akhirnya, mas Alva menggapai tanganku dalam genggamannya.
"Dek.. Bumi bentuknya masih bulat 'kan?"
"Bulet lah mas, kenapa sih?" heranku.
"Gak, dokter tadi sotoy. Segala ngomongin cinta dan sembunyi, emang cinta bisa main petak umpet apa?"
Mas Alva-ku yang begini lah, yang aku suka.

Book Comment (148)

  • avatar
    HaniNur

    Cerita nya kek imaginasi gua ngek😭😭,gua berharap gua punya abang kayak gini wou😭

    28/08/2022

      1
  • avatar
    Rifa tri Ndutt

    Ceritanya sangat menarik

    20d

      0
  • avatar
    GargarCora

    sangat bagus

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters