logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 5

Mas Alva menghentikan mobilnya di depan jajaran ruko yang tertutup. Kecuali bengkel Rascal yang letaknya di tengah. Ahlinya menggarap konsep modifikasi, seperti MotoGP style yang sedang digandrungi anak kekinian.
RASCAL RESCUE, namanya.
Tempatnya ramai, berisik, onderdil motor berserakan. Sejumlah cowok berbalut baju wearpack hitam-oranye menangani pekerjaan masing-masing; menambal ban, ngelas, ganti oli, atau memeriksa karburator. Pun, salah satunya sedang menggemborkan gas dengan kencang. Nggerung-nggerung derum knalpotnya memekakkan telinga, bersama kepulan asap menyembur di udara.
"Itu Ical, mas.." aku menunjuk ke arahnya. Mas Alva hanya manggut-manggut saja lalu kami turun dari mobil. Kuajak melipir ke tempat itu, sambil menutup hidung dari polusi.
"CAAL.. ICAAL..!!" panggilku keras-keras, seperti anak SD. Seketika Rascal menghentikan aktivitasnya, ekor matanya mendapati kedatanganku, dia tertawa kecil. "Kebiasaan lo, nama keren-keren dipanggilnya gitu!"
"Gak usah banyak gaya, Ical aja simple.." kataku.
"Iya deh nyaiii. Tumben amat mampir kesini," Rascal menghampiriku dengan wajah dan kedua tangannya cemong terkena noda oli. "Abis pulang sekolah, ya?"
"Hooh, lagi sibuk gak? Gue ganggu, ya?" tanyaku.
"Gak lah!" pungkas Rascal. "Gak keburu kok, sans."
"Yaudah ngaso dulu, ada yang mau ketemu."
"Siapa? Cewek apa cowok?" tanya Rascal.
"Waria. Hissh, cowok." kesalku.
"Kenapa gak cewek aja?"
"Malah protes, buruan.."
"Bocil..!! Lo periksa kopling deh, dari tadi selip mulu nih, powernya rada lemah. Kampasnya aus kayaknya. Lo cek-in dulu ya, gue ada urusan bentar," Rascal menyerahkan urusan motor tadi kepada salah seorang anak buahnya.
"Siyap bos..!!" perintah langsung dikerjakan.
"Ditungguin mas cepetan," desakku lagi.
"Iya elah, gue cuci tangan dulu." sebentar saja Rascal bersih-bersih dengan air kran, juga membasuh muka. Setelah selesai langsung kutarik Rascal menuju ke mas Alva yang duduk di bangku berpayung di halaman ruko, melihat-lihat ke sekitar sambil mengetukkan jemarinya.
"Ohh, ini yang lo bilang, waria?" Rascal cengar-cengir ketika menunjuk mas Alva. Membuatnya bingung dan menatapku aneh. "Bu—bukan mas! Hiss, Ical, lo tuh ya!"
"Eh, ada apaan sih?" heran mas Alva, namun aku sigap menggeleng. "Gapapa kok mas, tadi ada waria lewat."
Tawa Rascal menggema melihatku kikuk dan cemberut. Sejurus kemudian Rascal ber-highfive dengan mas Alva. Jabat tangan laki-laki lalu berpelukan sambil menepuk bahu. Lantas kami bertiga duduk melingkari meja itu.
"Akhirnya brader gua balik juga, kapan sampenya bro?" tanya Rascal, beberapa kali meninju pelan lengan mas Alva. "makin keker aja nih otot, makan apa lo disana?"
"Makan orang," cetus mas Alva, menyulut tawa kami. "Buto ijo kali, enggak lah, sekali-kali ya nge-gym dong. Baru kemarin sampe, lega sih akhirnya bisa menghirup udara disini lagi. Udah kangen rumah juga, apalagi dia."
Lirikan mata itu kompak mengarah padaku.
"Ciyeee~" Rascal bersiul kencang menggodaku, yang bahkan tak berekspresi apa-apa. "Sehat gak sih, lo?"
"Ciyeee~ dikangenin..!!" koor-nya lagi.
"Woy, bro! Jidat lo anget apa gimana? Perasaan sah-sah aja seorang kakak rindu sama adeknya. Kok lo rempong sih?" seru mas Alva sukses menghentikan tingkah Rascal.
"Gak, bukan apa-apa, Al. Yaa, ajaib aja ada yang kangen sama Shelby." kata Rascal, terpatah-patah sisa tawanya. "Tadi juga, tuh anak gak sabaran gitu. Kirain mas-mas siapa, gue pikir mas pacar.. ternyata mas yang original."
Tak cukup, Rascal mesam-mesem meledekku. Rasanya gatal sekali ingin kutabok muka tengilnya itu, tapi aku tidak mau terlihat salah tingkah lagi di depan mas Alva.
"Biasa aja kali. Gue sebenernya males kesini, kalau bukan mas Alva yang minta. Mau liat usaha lo katanya." seruku.
"Iya, gimana nih usaha lo?" timpal mas Alva antusias. "Kayanya seru ya, bongkarin mesin, modif, rame pula."
"Bisa dilihat lah," Rascal menyenderkan lengannya di sandaran kursi, sekilas menengok ke arah bengkelnya.
"Emang disini gak pernah sepi ya. Dan, gak cuma modif moge doang, yang modelan chopper klasik atau motor kustom juga gue jabanin. Kerjanya kita ya, santai, gak ada tekanan, bebas, hepi aja. Sambil nongki-nongki lah. Lo itung aja ada berapa tuh anak buah gue, semuanya temen-temen gue dong. Nanti gue kenalin satu-satu."
"Yang bayar mereka, lo sendiri?" tanya mas Alva.
"Wajelas, boss-nya siapa.." Rascal menyugar rambut, dan menyentakkan kerah bajunya bangga diri, disusul cengiran kuda. "Gak sombong yee, bicara fakta aja."
"Belagu," dengusku lirih.
"Gak nyangka, lo udah mandiri aja. Salut gue," mas Alva malah berdecak kagum, bisa gede kepala si Rascal. Hih.
"Hahaha.. soal effort lo boleh menang dari gue, Al.. Tapi tunggu, lo gak bisa remehin anak bengkel. Karena cowok sejati itu kudu kenal obeng, baut, aki, oli, busi, dkk. Otak-atik motor aja bisa, apalagi cewek. Ye, gak?" kata Rascal.
Cewek. Persis, mas Alva menatapku intens.
•••
Malam harinya. Bayangan cahaya rembulan memantul dalam air kolam menggodaku keluar balkon. Sejak dulu, suasana malam tak pernah gagal membuat hati tenang.
Perlahan kutengok kamar sebelah, lampunya masih menyala pertanda mas Alva belum tidur. Dulu, ketika kamar itu tidak berpenghuni, aku merasa hari-hariku kelabu. Seringkali aku tertidur disana, bersama sejuta kerinduan yang membusuk tak terobati. Tapi itu dulu.
Kini, aku menyaksikan kilas balik tentang seharian ini. Wajah mas Alva melintas begitu saja dalam pikiranku. Caranya tersenyum dan tertawa terekam jelas dalam memori, aku merasa tidak ada yang lebih indah dari itu. Padahal, sejak kecil mas Alva memang terlahir tampan, tapi anehnya baru sekarang aku menyadari itu. Hisssh!
"Ekhem.."
Sekejap saja senyumku memudar, deheman seseorang menyita perhatianku. Detik itu juga, senyum mautnya menembakku hingga mati kutu. Dia, juga keluar balkon.
"Ngapain bengong di situ?" tanya mas Alva.
Aku hanya menggeleng pelan. Ingin berbicara namun pita suaraku terasa membeku. Bahkan hampir sekujur tubuhku. Entahlah, aku tidak paham dengan reaksi ini.
"Hei..!! Anak perawan jangan bengong malem-malem.." seru mas Alva gemas. "Kamu ini, dek! Awas kesambet!"
Seketika penglihatanku menajam. Astaga. Kuusap wajah gusar sampai ke belakang tengkuk yang terasa dingin, aku nyengir pada mas Alva. "Maaf mas.. maaf aku, gak fokus."
Mas Alva menggeleng dengan kekehan geli. Mungkin di matanya, aku terlihat bodoh. Aish! Memalukan sekali.
"Dek, laper gak? Mas bikin nasgor, kamu mau?"
"Hah?" aku terperangah, lagi-lagi meleng.
"Nasgor." ulang mas Alva. "Yuk, keluar."
Aku hanya mengiyakan, segera kuberanjak keluar dan turun bersama mas Alva. Di anak tangga terbawah mas Alva menepuk pundakku dan menunjuk ruang keluarga, ayah dan bunda sedang menonton televisi. Sambil mesra-mesraan ayah Shaka tiduran di pangkuan bunda Shaina.
"Ada yang lagi pacaran dek.." bisikan mas Alva membuat wajahku memanas. Berkat deheman kerasnya, kompak membuat ayah dan bunda menoleh tajam ke arah kami.
"Cieee~ pacarannya lanjut di kamar aja yah, bun! Alva pesen malaikat lucu dua, ya!" celetuk mas Alva dengan tanpa dosanya. Sebelum kena timpuk bantal sofa, mas Alva menarikku ke dapur seiring gelak tawanya pecah.
"Jail banget sih mas, gangguin tau gak?"
Membawa sepiring nasi goreng, kami duduk di ayunan kayu di tepi kolam. Detik demi detik kuhitung saat bibir mas Alva merekah, waktu seakan melambat. Aku jadi tersipu-sipu melihatnya. Hingga tak sengaja, mata itu mengunciku. Lambat-laun keheningan menyelimuti, jantungku mulai berdebar-debar kencang tak karuan.
"Dek,"
"Hm.."
"Sini,"
"Apa?"
"Sini, mas bisikin.."
Setengah ragu, kudekatkan telingaku pada mas Alva. Seperti ada kelinci melompat-lompat dalam dadaku, merasakan embusan napas mas Alva menerpa di pipiku. Namun dia mengulur-ulur waktu, tak kunjung berbicara.
"Mm.. Bumi itu bulat, dek.."
Rasa penasaranku hanya berbalas hal konyol, lekas ku menjauh dari mas Alva, teheran sendiri. "Apasih mas?"
"Cuma ngasih tau aja,"
"Ih aneh, anak SD juga tau."
"Kali aja, kamu ngira bentuknya love."
Sempat tercenung, tawaku menyembur. "Gak mungkin lah, mas tuh aneh tau gak? Abis kerasukan apaan deh?"
"Yee, kamu sih gak pernah jatuh cinta."
"Apa hubungannya sama jatuh cinta?"
"Kalau jatuh cinta, bumi bentuknya love."
Lagi, mas Alva membuat perutku terpingkal-pingkal. Tak habis pikir, pulang dari Berlin mengapa jadi halu seperti ini? Cukup lama kami bercanda gurau, hingga tiba-tiba mas Alva memberi satu suapan. Persis, di depan bibirku.
"Mas.." gugupku.
"Ayo.. cobain,"
"Tapi.." aku ragu.
"Kangenku masih ugal-ugalan, dek. Mas kangen nyuapin kamu, kayak waktu kecil dulu. Nostalgia sedikit, boleh?"
Alasan rindu, memaksaku harus mau.

Book Comment (148)

  • avatar
    HaniNur

    Cerita nya kek imaginasi gua ngek😭😭,gua berharap gua punya abang kayak gini wou😭

    28/08/2022

      1
  • avatar
    Rifa tri Ndutt

    Ceritanya sangat menarik

    20d

      0
  • avatar
    GargarCora

    sangat bagus

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters