logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 4

"EDAN..!! YANG TADI ITU ABANG LO, BY..?? OH ASTAGA..!! DEMI GORENGAN DI KANTIN GUE MELELEH YA GUSTI..!! GANTENG BANGET GAK MAEN HADUH AMSYOONG..!!"
Telingaku rasanya ingin pecah. Di tengah hiruk-pikuk kantin, Mita terus saja meraung-raung histeris akan betapa melting-nya dia melihatku dan mas Alva tadi. Upacara telah selesai, dan berkat mas Alva aku boleh kembali ke barisan kelas. Namun di sisi lain, aku malu, sekolah gempar mengklaim mas Alva adalah pacarku.
"Ru, emang tadi drama banget, ya?" aku beralih menatap Baruna, yang melahab mi ayam ceker di depanku. Selama di lapangan sampai kini, dia hanya terdiam seribu bahasa.
"Iya, By. Berasa nonton bioskop," jawab Baruna dengan senyum miring. "Abang lo drama-king banget, dan kalian cocok memainkan drama romantis kayak putri salju dan pangerannya. Yakin, orang gak akan tau kalian sodara."
"SETUJU..!!" Mita menimpali dengan suara toa. Perlahan seringainya merekah mendekati wajahku. "Apalagi.. pas adegan ciuman, serasa dunia milik berdua ciee ihirrr..!!"
"Ihhh..! Ngaco aja lo, ngawur! Ya enggak lah!" kesalku menyikut lengan Mita, lantas kuteguk teh botolku cepat dan menghabiskan makananku. Baruna ketawa-ketiwi dengan tanpa dosanya melihatku tengsin. Secara tak kasat mata mungkin wajahku sudah memerah padam.
Aku masih tidak mengerti. Apa iya hanya karena terlalu lama berjauhan dengan mas Alva, kedekatan kami tidak terlihat layaknya saudara pada umumnya? Apa-apaan? 
"Ini dia si biangnya geger dower, hei you..!!"
Dari kantin hendak kembali kelas, seonggok badan lebar mencegat jalanku, Mita, dan Baruna. Heboh nan rempong. Bu Dora dengan kaca mata kuda juga bibir merah merona, poninya berterbangan seiring kipas berbulu menerpanya.
"Shelby Yoshioka Ginzadicza..!! Ulalalaaa baby yuuhh..!! Diem-diem udah pinter milih, hot sekali pacarmu tadi..!! Gentle, manis, OH MY GOD..!! Nemu dimana sih, hah..?!!"
"Ibu klepek-klepek juga sama dia?" sahut Baruna. "Kalau gak salah, dia suka modelan kaya ibu lho, cantik, subur.."
"Oh, ya..??" senyum bu Dora mengembang sumringah. Kalau seperti itu, aku jadi teringat sosok kanjeng mami yang dulu sering kutonton di televisi. "Kebetulan sekali, saya juga suka berondong..!! Terus, terus, gimana..??"
"Ibu pengen punya suami kayak pacarnya Shelby?? Ah, gampang. Ibu latian lari keliling lapangan dulu 20 kali. Soalnya pacarnya Shelby juga, bisa suka sama Shelby karena sama-sama hobi olahraga buk." jelas Baruna.
"Serius..?? Tapi masa larinya 20 kali sih? Kebanyakan! Boleh nawar gak? Bagaimana kalau 10 aja, hayo..??"
LOL. Obrolan absurd itu lama-lama membuat kepalaku cenat-cenut. Tak ingin bertambah pusing, aku langsung menarik Mita dan nyelonong pergi dengan tergesa-gesa.
Drrrtttt... Drrrtttt...
Baru saja kusimpan topiku di kolong meja begitu tiba di kelas, ponsel di saku rok bergetar. Disaat sekeliling ramai; merumpi, kipas-kipas, gelantungan di pintu, godain adek kelas lewat, lebih gaduh lagi dengan gamelan meja oleh cowok-cowok kurang kerjaan. Disini ku membuka pesan.
Belajar yang rajin ya, dek :)
Mas-ku yang rusuh, kurun dari dua jam menggegerkan sekolah, sekarang malah membuatku tak karuan hanya karena text. Sebisa mungkin aku menetralisir rasa ini.
Iya, mas. Makasih topinya. Balasku segera.
Tapi, karenanya juga, aku terbebas dari hukuman yang merangkap jadi TKW; kosek-kosek wc. Alhamdulillah.
"Sebelum kita mulai pelajaran.. bapak ingin bertanya sesuatu, tolong jawab ya?" ujar pak Narto saat masuk kelas, guru biologi yang kumisnya saingan dengan pak Mardi. Seketika suasana kelas hening, fokus pada beliau.
"Disimak baik-baik ya.. pahlawan-pahlawan apa, yang tiba-tiba datang, membawakan topi untuk pacarnya?!"
"PAHLAWAN KEPAGIAN!" serentak teman-teman meng-koor, tak luput ledakan tawa yang menciutkan nyaliku. Ampun, Ya Rabb.. Harus kutaruh dimana lagi mukaku..
•••
"Mas, kenapa bisa nyusulin aku tadi pagi?"
Pulang sekolah. Begitu masuk mobil langsung kutembak mas Alva dengan pertanyaan yang seharian ini berkibar di kepalaku. Lagi-lagi, soal topi. Mas Alva memperhatikanku terheran-heran. "Emang kenapa sih, dek? Mas salah, ya?"
"Semua orang ngomongin aku, mas.." gerutuku sambil melepas tas dan memangkunya. "Aku jadi headline hari ini. Semua ngira mas itu, pacarku. Gak masuk akal 'kan?"
Ada guratan tawa tertahan di wajah mas Alva. Apanya yang lucu? Tidak melihat aku sudah bete gara-gara ini?
"Mas.." panggilku merajuk. "Tawa aja!"
"Tadi topimu ketinggalan di meja, dek. Ya mas kasian, kalau kamu dihukum. Yaudah, mas langsung anter ke sekolahmu aja." jelas mas Alva, senyumnya meluntur ketika melirik ke arahku. "Kan, kamu tuh pelupa sih."
"Apa..?" tanyaku polos, urung niat merogoh tas untuk mengambil ponsel. Namun, alih-alih menjawabku, mas Alva justru mendekat padaku. Hingga wajahnya benar-benar berada di depan mataku, nyaris tidak berjarak. Bahkan aku bisa merasakan embusan napasnya. Dari mata, hidung mancungnya, tulang pipi, juga pahatan rahang yang kokoh. Mengintimidasi juga menggoda.
Terlebih, bibir seksinya.
Shit!
Kutelan ludah kasar. Merutuki tatapan mas Alva yang melemahkan dan membuatku senam jantung. Tapi tak berlangsung lama, kami pun tersadar dan salah tingkah.
"Sabuk pengaman, dek." bisik mas Alva, lantas menarik benda lentur itu hingga mengapit tubuhku rapat-rapat.
"O—oh, iya, makasih mas," jawabku grogi.
Sejurus kemudian mas Alva tancap gas meninggalkan area sekolah. Dengan kecepatan sedang, berlarut-larut dalam perjalanan kami saling bungkam. Mas Alva fokus menyetir sedangkan aku pura-pura khusyu' membaca Webtoon untuk menyembunyikan kegugupanku, entah.
Namun, semakin jauh mobil melaju, mas Alva tiba-tiba tertawa sendiri. Hal itu tentu mengusik ketenanganku.
"Resiko jadi orang ganteng gini banget yah," demikian celetuknya. "Gak ada sejarahnya lah, kakak jadi pacar."
"Gak wajar juga, menyalahi kodrat," sahutku cepat. Ternyata mas Alva memikirkan itu. "Mereka aja yang lebay. Sukanya gede-gedein perkara, padahal gak tau yang sebenernya. Gak tua gak muda, baperan semua."
"Emang kita gak mirip ya, dek?" timpal mas Alva.
Kututup ponsel, mendadak aku tercenung mendengar pertanyaan pamungkas dari mas Alva. Kubasahi bibir sekilas, kugerakan mata memandang wajah mas Alva lekat-lekat. Bicara soal kemiripan, jika kucermati lebih dalam dan kubandingkan dengan fisik ayah dan bunda, sepertinya tidak ada secuil warisan di wajah mas Alva.
"Dek..!!" tepukan mas Alva di pundakku menyadarkan lamunanku. "Hah, gak tau, mas. Aku juga gak paham."
Mas Alva terkekeh, "Udahlah gak usah dibahas. Oiya, ngomong-ngomong Rascal gimana sekarang? Lama banget gak kontekan, apa kabarnya dia? Sibuk, ya?"
"Ical..??" aku memanggil sepupuku masih sama seperti waktu kecil dulu. "Sibuk apaan otak-atik motor doang,"
"Hah, ngapain?" tanya mas Alva. "Udah lulus kan?"
"Iya, udah dua taun, tapi gak mau nerusin. Malah, dia buka bengkel kecil-kecilan gitu, katanya sih biar ilmu otomotifnya berguna." jawabku manggut-manggut.
"Dibolehin sama om Naufal?" tanya mas Alva.
"Boleh lah, pake duit tabungannya sendiri."
"Jam segini, dia masih di bengkel?"
"Masih, kadang tidur disitu juga."
Kali ini mas Alva melongo, "Masa?"
"Serius dong, biasa lah dia suka kelayapan gak jelas sama temen-temennya. Kalau pulangnya malem banget kadang gak dibukain pintu, jadi ya dia lebih sering tidur di bengkel. Udah kayak rumah kedua lah mas," tuturku panjang lebar.
"Untung yah, yang jadi kakakku itu mas Alva, bukan si Ical.." celetukku kemudian, membayangkan muka tengil Rascal hanya membuat mataku sepet. "kalau kakakku si Ical mah, udah kutendang jauh-jauh dari dulu, hahaha."
"Emang kenapa?" tawa mas Alva, nampak tergugah.
"Aku gak suka cowok kayak Ical, amburadul. Beda aja sama mas Alva.." cicitku di ujung kalimat, canggung.
"Hm..??" lelaki itu senyum-senyum menungguku.
Hanya begitu saja, panas dingin menjalar di tubuhku. Sudah kutebak, pasti dalam hati mas Alva ge-er bahwa aku akan memuji dan membanggakannya. Huh, dasar. Tapi, aku sendiri juga tidak bisa memungkiri faktanya.
"Kalau mas Alva, perhatian banget sama aku.." ucapku usai peperangan batin, sambil memainkan buku-buku jari dan gugup. "Topiku ketinggalan aja, dibela-belain dateng ke sekolah. Meskipun lama gak ketemu, tapi mas Alva tetap gak berubah. Selalu bikin aku ketawa, seneng. Ngobrolnya juga, nyambung. Pokonya aku, enak aja gitu diemong sama mas. Gimana ya, bahasanya? Ya gitu lah."
Menyimak penuturanku, mas Alva tertawa. Mungkin mukaku lucu, atau cara penyampaianku terlalu lugu.
Aish! Bodoh sekali. Apa tidak seharusnya aku berbicara begitu? Bagaimana mau menarik kata-kataku lagi, ya? Resah dan gelisah mendera, kugigit bibir dan menutup wajah dengan kedua tanganku. Tak berani buka suara.
"Dek,"
"Hm?"
"Cari jodohnya yang kayak mas aja, ya?"
EH..?

Book Comment (148)

  • avatar
    HaniNur

    Cerita nya kek imaginasi gua ngek😭😭,gua berharap gua punya abang kayak gini wou😭

    28/08/2022

      1
  • avatar
    Rifa tri Ndutt

    Ceritanya sangat menarik

    20d

      0
  • avatar
    GargarCora

    sangat bagus

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters