logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 3

"Dek, ibu negara jadi dipindah, ya? Ehh kok ibu negara sih, ibu kota! Masa ibu negara!" seruan mas Alva sambil berkaca di spion mobil, memaksa otot-otot di bibirku berkedut disela mengikat tali sepatu, di depan teras.
"Iya, mas, jadi. Masa PHP?" jawabku melucu, membuat mas Alva terkekeh-kekeh sembari menyisir jari rambutnya. Meninggalkan Honda Jazz itu dan beringsut di sampingku. "Dipindah ke pulau itu, ya? Pulau yang susah move on,"
"Kalimantan," ralatku, kegelian sendiri.
"Ohh, kirain udah ganti nama." katanya.
"Kalau ganti pasti syukuran lah mas,"
Kami tertawa, entah lucunya dimana.
"Kirain tadi, bukan ke Kalimantan,"
"Terus kemana lagi?" tanyaku.
Mas Alva berbisik, "Hatimu."
Terkesiap, gerakan jariku mendadak terhenti, tepat tali converse-ku sudah membentuk simpul. Kutatap tajam mas Alva, susah payah kutahan senyumku dan kusikut keras-keras lengan mas Alva. "Dari kemarin jayus, sih!"
Dia meringis. "Kamu tau gak dek, nanti di Kalimantan ibu kotanya enak, soalnya dikelilingi sambal terong pedas..!!"
Sebelah alisku terangkat meminta kalimat tuntas mas Alva. "Lah, bener. Samarinda, Balikpapan, Tenggarong, Penajam, dan sekitarnya. Sambal terong pedas, 'kan? Lagi ramai di twitter,"
"Anjir!" tawaku menyembur, dan spontan menaboknya. Berangsur-angsur, bibir mas Alva merekah bersamaku. Sekawanan burung gereja di atas kabel listrik pun, pasti terpesona melihatnya. "Sekarang apa-apa viral ya, dek? Dulu, ibukota pindah ke Jakarta, orang Jogja biasa aja."
Aku tergelak lagi, "Waktu itu belum ada gadget mas. Jaman belum se-modern sekarang, jelas beda lah!"
"Tapi menurut mas, jaman dulu itu romantis lho, dek. Orang pacaran kirim kabar masih pake surat. Jadi ya, lebih berkesan bisa baca tulisan tangan si doi. Dari pada yang serba online, misal chat-nya lama gak dibales-bales padahal online terus, bisa salah paham, ngamuk, minta putus. Gak tau aja, hapenya si pacar ditinggal boker."
Pagi ini, berkali-kali lipat lebih cerah dari hari yang lalu. Mas Alva menjadi alasan perutku melilit dan terpingkal-pingkal karena gurau canda recehnya. "Kamu ini, jangan ketawa mulu ih, dek. Nanti mataharinya ikut pindah lho."
"Ke Kalimantan?"
"Jauh, ke wajahmu."
Aku hanya menunduk, kikuk.
"Gak kreatif ya, ikut-ikutan migrasi?"
"Apasih mas, gersang nanti mukaku,"
"Tenang, sama mas syahdu kok.." kata mas Alva dengan senyum maut, sebentar saja ia bangkit dan menilik jam tangan. "Udah siang, dek. Pamit sama bunda dulu, gih."
Perintah mas Alva langsung kulaksanakan. Ketika aku masuk ke dalam rumah dan meneriaki bunda, kala itu juga terdengar bunyi klakson kencang dari luar rumah. Beberapa saat aku kembali keluar, ternyata ada motor terparkir di halaman. Tentu, dengan sang pengendara.
"By..!! Sekolah bareng, yuk..!!" cowok itu melambai ke arahku, sedangkan tatapan mas Alva kentara sekali tak bersahabat. Seolah-olah menuntut sesuatu, karena itu aku jadi teringat pesan wasiatnya semalam. Mengenai larangan mas Alva terhadapku, tidak boleh berdekatan dengan sembarang cowok. Ya. Aku paham maksudnya.
"Dek, siapa?" tanya mas Alva, mendadak dingin.
"Um.. dia, temen sekolahku mas." senyumku paksa, tak sadar kucengkram pegangan tasku erat-erat. "Kenalin namanya, Baruna. Ru, kenalin ini kakakku, mas Alva."
"Alvaro."
"Baruna."
Keduanya berjabat tangan. Ya, keras sekali. Aku bisa merasakan otot-otot tangan mas Alva nyaris keluar, sampai Baruna berusaha menyamarkan rintihannya. Detik demi detik, hingga mas Alva melepaskan. Dasar. Belum apa-apa sudah bersikap seperti ini, apa masih kurang jelas ucapanku tadi? Baruna itu, hanya teman.
"By, sori gak bilang dulu mau jemput. Tadinya gue gak tau, jalan deket jembatan disana lagi ada perbaikan. Dari pada bolak-balik buang bensin, ya.. gue cari jalan pintas daerah sini. Jadi, kebetulan lewat depan rumah lo." kata Baruna.
"Modus." desis mas Alva, nyaris tak terdengar.
"Duh, gimana ya, Ru? Gue mau dianterin mas,"
"Yaelah By, gue udah sampe sini lho. Naik mobil lama, macet, nanti terlambat sampe sekolah." desak Baruna.
Benar juga. Kutengok mas Alva, ada rasa tak enak hati melihat kusut wajahnya. "Mas, maaf, lain hari deh, ya..? Sekarang, aku berangkat sama Baruna aja biar cepet."
"Yaudah, ati-ati ya." Tidak ada perpanjang masalah, mas Alva sama sekali tidak protes. Setelah cium tangan, buru-buru aku naik ke motor Baruna dan meluncur ke sekolah bersama. Meninggalkan mas Alva yang kecewa, tak bisa dipungkiri sorot matanya menyiratkan pemberontakan.
•••
"Anjir By, abang lo sangar juga ya!" kesal Baruna ketika kami tiba di kelas. Baru pertama bertemu dengan mas Alva, ia begitu penasaran. Apalagi sepanjang jalan tadi, Baruna terus mengoceh dan mengadu betapa sakit jari tangannya akibat terlalu kencang mas Alva memelintir.
"Gak sangar juga, Ru. Kalau udah kenal, orangnya baik kok." jawabku. Jelas aku menampik pandangan Baruna tentang mas Alva, karena itu bukanlah yang sebenarnya.
"Iyalah baik, sama adeknya. Sama orang lain? Boro-boro." dengus Baruna, sambil melempar asal tasnya ke bangku. "Hampir aja tangan gue dipatahin. Salah gue apaan, coy? Sial, parah! Kalau bukan abang lo udah gue bogem, tuh."
Masih saja rempong. Menanggapinya, aku hanya ketawa-ketiwi. Bagaimana mau nonjok, salaman saja dia kalah.
"Kalian ngomongin apa, deh?" teman di ambang pintu datang menyeletuk, cewek berambut sebahu membawa kantong plastik gorengan. Ia Damita, biasa disapa Mita.
"Itu, abangnya Shelby." sahut Baruna. "Abis balik dari luar negeri, liat gue kaya macan mau melahirkan. Serem gila."
"By, lo punya abang? Kok gak pernah cerita-cerita sih? Ganteng, gak? Udah punya pacar belum? Kenalin dong, hehehe.. nanti gue sering-sering main ke rumah lo deh," Mita mengedipkan mata berulang kali, seketika datang buntelan kertas menimpuk di jidatnya. Tepat sasaran.
"Ru..!!" kesal Mita, dengan tanpa dosanya Baruna gesit merampas kantong gorengan itu dan melahabnya satu. "Gak usah ganjen jadi cewek, lo gak tau gimana sadis abangnya Shelby. Deket-deket disepak lu nyahok..!!"
"Hah, lu pikir gue bola..?? Orang cuma penasaran."
"Gak usah penasaran, gue aja diplintir apalagi elo."
"Ribut ae teruss.." tawaku. "Udahlah, pagi-pagi jangan gibah, bentar lagi bel.. dasi lo mana, Ru? Santai amat."
"Oiya, lupa!" Baruna gerak cepat membongkar tas.
Cek.. Cek.. Satu.. Dua.. Tiga.. Mohon perhatian.. Untuk seluruh siswa SMA Merah Putih diharap segera menuju lapangan, upacara akan segera dimulai. Terima kasih.
Suara toa berkumandang, disusul nyaringnya bunyi bel. Berbondong-bondong teman sekelasku keluar sembari memakai topi, Mita lekas menghabiskan makannya dan meneguk minum dari kolong meja. Sedangkan aku, sibuk mengobrak-abrik isi tas. Perasaan tadi malam topi itu sudah kusiapkan, tapi mengapa sekarang tidak ada?
"Buruan, By.."
"Shelby cepet.."
"Iya duluan aja.."
"HEI! BAJUNYA DIMASUKKAN!"
Suara berat pak Mardi menggelengar. Seperti biasa guru geografi itu berpatroli untuk menggiring murid-murid, juga menegur mereka yang tidak rapih. Ketika di kelas hanya tinggal aku, semua alat tulis sudah kukeluarkan namun tetap saja nihil, topiku tak kunjung kutemukan.
"KENAPA MASIH DUDUK MANIS?"
"I—iya, pak.." aku pasrah.
Sampai di luar, semua murid sudah berbaris memenuhi lapangan. Aku berjalan menunduk, ketika suara toa itu lagi-lagi berdenging di telingaku. "YANG TIDAK TERTIB SILAHKAN MAJU..!! SELESAI UPACARA JANGAN BUBAR DULU, DI BELAKANG SANA.. TOILET MENANTI KALIAN."
Akibatnya, berbagai gelak tawa menggema dari ujung ke ujung, bagai paduan suara. Pak Mardi membawaku melipir sampai depan. Menerima langsung paparan terik matahari, bersama barisan cowok amburadul kelas dua belas. Celana pensil, sepatu merah, rambut gondrong, salah seragam. Segala macam jenis telah berjejeran.
"Sudah, kamu disini. Nanti dicatat." ujar pak Mardi, aku jawab anggukan sebelum beliau pergi. Pertama kalinya dijemur, di hadapan semua peserta upacara. Kulihat di sela-sela berisan kelas sebelas, Baruna dan Mita saling celingak-celinguk melihat ke arahku. Apa boleh buat.
Suasana khidmat ketika upacara dimulai. Wajahku terasa menghangat, pandanganku semakin lama semakin silau menatap para siswa petugas upacara di ujung lapangan. Pemimpin upacara pun, hendak menyiapkan barisannya.
"KEPADA, PEMBINA UPACARA HORMAT—"
"TUNGGU!"
Tiba-tiba datang interupsi, berteriak dengan tak sopan. Nge-bass suaranya sekejap membuat semua menengok. Persis, perhatian tersita pada lelaki berbalut jaket denim yang berdiri di sudut lapangan. Ya, mas Alva. Sontak aku tercengang mendapatinya. Untuk apa dia menyusulku?
"Maaf, minta waktu sebentar." pintanya.
Tentu, kehadiran mas Alva sangat asing di sekolah. Bisik-bisik tetangga mulai terdengar saat mas Alva melangkah penuh percaya diri mendekatiku, tatapannya tajam dan fokus hanya padaku. Di depan banyak pasang mata, dia memakaikan sesuatu di kepalaku. Topiku yang tertinggal.
"Lain kali yang teliti.." kata mas Alva intens, dua tangan kekarnya merengkuh sisi kepalaku. Menyulap panas terik menjadi keteduhan. Karena ulahnya, kami jadi tontonan.
Disaksikan seluruh penjuru sekolah, lambat laun waktu berputar aku merasa duniaku berubah. Semakin dalam menatap mata elang mas Alva, semakin jauh pula jiwaku terjerumus dalam dimensi lain. Awalnya, aku berpikir ini hanya ilusi, tapi nyatanya terlalu kuat. Sampai-sampai aku tidak tau bagaimana caranya menyadarkan diriku.
Ada apa denganku..

Book Comment (148)

  • avatar
    HaniNur

    Cerita nya kek imaginasi gua ngek😭😭,gua berharap gua punya abang kayak gini wou😭

    28/08/2022

      1
  • avatar
    Rifa tri Ndutt

    Ceritanya sangat menarik

    20d

      0
  • avatar
    GargarCora

    sangat bagus

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters