logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 2

"Dulu, mas tinggal ke Jerman, kamu tuh masih segini.." mas Alva mendekatkan jempol dan telunjuknya sambil memincingkan mata. Sebegitu kecil, memaksaku ayah dan bunda bergerak merapat. Menajamkan penglihatan, memperkirakan kisaran jarak antara dua jari mas Alva.
"Segitu aja? Kecil banget, emang aku cebong?"
"Ya.. sebelas dua belas lah," ralat mas Alva.
"Kalau aku cebong, mas Alva apaan? Berudu?"
"Yah, keluarga kodok dong?" ayah menyahut.
Gelak tawa mas Alva menggelegar, menyapa sudut-sudut ruang makan yang telah lama merindukan tuan mudanya itu. Bundaku pun enggan melunturkan senyumnya sedari tadi. Tak seperti malam-malam yang lampau, dinner kali ini terasa lebih hangat berkat kehadiran kakakku, Alvaro.
"Tapi sekarang beda, udah gede, cantik, mangling-in tau gak?" mas Alva menjawil pipiku gemas, kubalas decakan kesal sebagai bentuk protes, meski sebenarnya aku kikuk.
"Iya, dulu kan Shelby masih bocah, sekarang udah gadis. Jadi kalian kudu tau batas, gak boleh tidur bareng lagi."
Tersedak. Aku dan mas Alva terbatuk gara-gara ucapan bunda, seakan makanan itu tersendat di tenggorokan. Segera ayah menyuruh kami untuk minum. Bukan apa-apa, menurutku bunda terlalu konyol berucap hal tadi.
"Gak mungkin lah bun, yang engga-engga aja astaga," belaku sambil meringis, bersama kikikan geli mas Alva.
"Kan bunda cuma mengingatkan sayang," katanya, dengan raut wajah sedikit waspada. "Ya 'kan ayah?"
"Iya, manusia 'kan suka khilaf. Siapa tau, kalian—"
"Siapa tau apa?" pekikku cepat. "Ih, ayah ngaco!"
"Waduuhh.. ayah tolong, aku masih polos lho.." mas Alva menggeleng sambil mengangkat tangan seperti maling tertangkap polisi. Lagaknya membuatku gemas, kutabok keras-keras lengannya saat itu juga. Senyumku tertahan.
"Polos apanya? Emang situ masih imut-imut?"
"Dih, kok sirik sih dek? Makasih lho, mas emang masih imut. Tanya aja sama bunda tuh, kalau gak percaya."
"Kalian ini, bunda tadi cuma becanda ya ampun. Oiya mas, kamu belum cobain masakan adek, spesial lho..." bunda mengalihkan pembicaraan, lantas menyodorkan sepiring omelet yang belum tersentuh. Benar, buatanku.
Mas Alva senyum-senyum menatapku. Sepintas, agak mengejek. "Yakin nih bun, Shelby masakin buat aku?"
"Udah.. jangan digodain terus, coba dulu.." titah bunda. Lain denganku yang menunduk ragu, bunda meyakinkan mas Alva agar mencicipi omelet itu. Rona-rona kehijauan daun bawang kentara di dalam kuningnya si telur dadar.
"Okey.." mas Alva bergegas mempekerjakan garpunya, memotong sedikit lipatan omelet itu. Beberapa saat mulutnya bergoyang, dan mendadak terhenti disertai kedua alisnya menyatu, mencoba merasa-rasakan. Aku mulai was-was, hingga mas Alva meneguk minumnya.
Aduh! Mampus! Batinku tergugup.
"Kenapa mas? Gak enak, ya?"
"Keasinan," cicit mas Alva.
"Ah, masa sih?" gumamku.
"Iya dek. Kebelet nikah, ya?"
Sontak aku terkejut, "Dih, apaan?!"
Memperhatikan masam wajahku, mas Alva menahan tawa. "Bun, yah, dikodein tuh. Jangan dilarang-larang kalau mau nikah, kasian, masaknya sambil ngelamun."
"Mas! Jangan ngada-ngada deh!" tegurku tidak terima. Sedangkan ayah dan bunda ketawa-ketiwi. Mau menikah dengan siapa, pacar saja tidak punya. Mungkin wajahku sudah memerah padam saat ini, sampai akhirnya datang usapan lembut di kepalaku. Dengan tidak tau dirinya, mas Alva tersenyum manis. Lagi-lagi meluluhkan hatiku. Argh.
"Gitu aja marah, itu asin karena mas yang salah."
"Hah, kok mas yang salah?" tanyaku terheran.
"Iya 'kan jodohnya pake nasi," katanya jenaka. "Apapun yang diciptakan berjodoh, pasti gak enak kalau sendiri."
"Dasar jayus," tawaku mengapresiasi sok bijaknya.
"Oiya, dek, kamu belum jawab PR ayah, lho." disela-sela aktivitas, mendadak celetukan ayah menyita perhatian. Mas Alva mengernyit, sedang suapanku terhenti di bibir.
"PR apaan, yah?" tanya mas Alva.
"Apa hukumnya, bahagia? Wajib atau sunnah?"
Aish! Memutar otak lagi ini. "Kayaknya sun—"
"Wajib dong!" sahut mas Alva memotong ucapanku. "Untuk orang yang masih punya cinta, bahagia itu satu kewajiban. Kalau menganggap sunnah, tandanya orang itu tidak bersyukur. Karena dia tidak menyadari, di bumi ini ada cinta. Ya. Cinta bunda, cinta ayah, cinta kamu.."
Deg! Nyaris ku sesak napas.
"..adekku."
•••
Jam dinding berdenting keras dalam kamarku, menunjuk pukul setengah sepuluh lewat. Dengan mata yang mulai kunang-kunang, aku masih memilah buku-buku pelajaran untuk jadwal besok. Beserta segelintir tugas minggu lalu yang harus dikumpulkan, tapi lupa kuselipkan dimana.
"Dekk..!" suara mas Alva menggema, kutengok dia berdiri di pintu sebelum berjalan masuk. "Besok sekolah, ya..?"
"Aku udah cek kalender, tahun ini gak ada hari Senin yang tanggal merah mas. Tega banget tuh, yang bikin tanggal. Mas sih enak udah kelar, bisa leyeh-leyeh, mau jumpalitan juga gak masalah.." jawaban panjang dan bodoh, untuk pertanyaan yang singkat. Tawa mas Alva berdengung di telingaku, bersama sentilan kecil mendarat di keningku.
"Ngawur kamu," katanya. "Sekolah naik apa?"
"Dianter ayah mas, sekalian ke kantornya."
"Mm, besok, biar mas aja yang anter ya?"
Aku terdiam sejenak, berpikir sambil memandangi wajah mas Alva yang tersirat penuh harap. Pelan, akhirnya aku mengangguk. "Ya, boleh deh mas, kalau gak ngerepotin."
"Engga lah," cengir mas Alva, menghela napas sekilas dan terduduk menyender di tepi meja belajarku seraya melipat kedua tangan di dada. "Gimana di sekolah? Cerita dong.."
"Lha, bukannya mas yang mestinya cerita sama aku? Gimana suasana di Berlin? Seru banget pasti, yakan?"
"Ya, gitu-gitu aja. Belajar sampe bosen."
"Basi." cibirku, dan mas Alva terkekeh.
"Dek,"
"Hm."
"Siapa cowokmu?"
Astagfirullah.. Aku nyebut dalam hati sembari kuusap wajahku, malas. Memang tidak ada hal lain yang lebih penting apa? Mengapa harus selalu tentang itu? Tidak di bandara, tidak di rumah, sama saja. Huft, menyebalkan.
"Gak punya cowok mas, udah cukup?" ketusku.
"Ah, masa? Nanti ilang lho?" curiga mas Alva, disertai gerakan alis naik-turun. Lirih sekali tawaku menyembur, bergegas kumasukkan buku paket matematika tak lupa kotak pensil, lantas kutarik resleting tasku rapat-rapat.
"Dek, jawab." desak mas Alva.
"Bodo amat ilang, punya aja enggak."
"Yakin, gak takut? Kalau ilang beneran gimana?"
"Sensus aja teruss.. emang keliatan aku boong?"
"Enggak sih, hehe.." mas Alva mengusap tengkuk, nyengir kuda. "ya, syukur deh kalau gitu. Lebih baik jangan dulu."
"Kenapa mas?" tanyaku, memastikan.
"Gak, pokonya siapapun yang berani deketin kamu, lapor sama mas, biar nanti mas yang menilai. Untuk pantas dan enggaknya orang itu mencintai kamu, dia harus langkahi dulu mayat mas." tekad mas Alva, mengepalkan tangan.
"Dih, sadis banget," gerutuku.
"Biarin. Sudah lama mas jauhan sama kamu, jadi tolong ijinkan mulai detik ini mas jagain kamu dek. Karena kamu layak diperjuangkan, dan gak sembarangan orang boleh dapetin kamu. Intinya, mas cuma gak mau kalau, kamu salah jatuh cinta. Udah itu aja. Tolong camkan itu, ya?"
Sebegitunya perhatian mas Alva, membuatku tersipu-sipu. "Tapi, darimana mas bisa tau benar salahnya?"
"Mas punya ilmu kebatinan, kamu gak akan ngerti." kata mas Alva, antara ngeles dan kehabisan alasan. Aku hanya mengulum bibir menyembunyikan senyum. Terserah lah.
"Oiya dek,"
"Mm..?"
"Kemarin, mas sempet jalan-jalan ke pasar loak gitu, di Jerman." mas Alva merogoh saku celana baggy-nya, dan mengeluarkan sesuatu yang kemudian diberikan padaku.
"Apa ini mas?"
Kulihat setiap inci boneka kayu dari mas Alva. Bentuknya menyerupai prajurit, dengan seragam kerajaan berwarna merah, beserta stick dan drum kecil menempel di badan. Topinya hitam menjulang, rambut blonde semrawut di sisi kepala. Suvenir seperti ini, biasa jadi hiasan pohon natal.
"Namanya, nutcracker. Buat pajangan."
"Lucu ya mas," gumamku gemas sendiri.
"Konon, menurut cerita rakyat disana, boneka itu jadi simbol keberuntungan dan pelindung dalam keluarga. Mereka itu prajurit, dalam kisah cerita Natal klasik yang banyak diceritakan anak-anak. Jadi, prajurit ini menjaga seorang anak perempuan, di perjalanan malam Natal."
Aku hanya manggut-manggut mendengar penuturannya. "Makasih ya mas, bonekanya. Aku bakalan simpen terus."
"Iya. Udah malem, tidur gih. Nanti ketemu di mimpi." mas Alva mengacak-acak rambutku dan berlalu keluar. Sebelum menutup pintu, dia menengok dengan seulas senyum yang mengandung banyak vitamin A. Seger.
So, damn! Kumat nih. Dia kakakmu, Shelby!

Book Comment (148)

  • avatar
    HaniNur

    Cerita nya kek imaginasi gua ngek😭😭,gua berharap gua punya abang kayak gini wou😭

    28/08/2022

      1
  • avatar
    Rifa tri Ndutt

    Ceritanya sangat menarik

    20d

      0
  • avatar
    GargarCora

    sangat bagus

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters