logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Kakak Rasa Pacar

Kakak Rasa Pacar

Nana Kitty


Bab 1

Hai.. Masih ingatkah kalian padaku..? Aku Shelby, gadis kecil yang dulu mainan pistol air dengan kakakku, Alvaro. Sekarang aku sudah besar, beberapa bulan lagi 17 tahun dan aku pusing mengerjakan PR dari ayah. Isinya begini;
Bahagia itu hukumnya apa? Wajib atau sunnah?
Sederhana, namun menguras pikiran. Aku juga tidak tau apa motivasi ayah, mungkin saja ingin mengukur kedewasaanku. Sesekali kugigit ujung pulpen, sembari menelanjangi sticky notes itu. Dua pilihan jawabannya membingungkan, bagaimana bahagia ada hukumnya?
"Seandainya, ada mas Alva.." gumamku pelan, tiba-tiba terbesit seseorang dalam benakku. Sejenak aku beralih menatap keluar jendela, selalu saja bayang-bayang saat bermain dengan dia, berlarian di kepalaku. Terasa nyata.
Banyak waktu berlalu tanpanya. Lelaki yang kupanggil mas itu, sibuk menimba ilmu di negeri orang. Usianya denganku hanya terpaut tiga tahun, namun dia jenius. Mas Alva pernah mengikuti program akselerasi saat di bangku SMA, kemudian dalam jangka waktu tiga tahun mas Alva mampu menyelesaikan study-nya di Jerman.
Aku, ayah, dan bunda, tentu sangat bangga padanya. Tiada hari tanpa merindukan mas Alva, tetapi hingga detik ini dia belum juga mengabari kapan pulang. Huft.
"Dek.." getar suara datang, memecah kesunyian malam bersama suara derit pintu dibuka. Ibuku—bunda Shaina, menghampiriku yang masih duduk manis di meja belajar, dengan senyum tipis. "Kamu sedang apa? Belum tidur?"
Tak menjawab, aku hanya mengangkat sticky notes di tanganku, membuat bunda terkekeh. "Soal itu lagi?"
"Maksudnya apa sih bun? Ini lebih sulit dari pada tugas sekolahku tau gak?" aku mendengus, bertopang dagu. Hingga usapan bunda mendarat di puncak kepalaku.
"Kamu kaya gak tau ayah aja," kata bunda, dengan nada jenaka. "yaudah gih, tidur, besok bunda ajak kamu pergi."
"Kemana bunda?" tanyaku penasaran, melihat bulan sabit melengkung di wajah bunda, seakan menyimpan sesuatu. "Ada deh.. makanya buruan tidur..! Sana..!"
Mulai deh, main rahasia-rahasiaan.
•••
Esok harinya, bunda masih belum juga memberi tahu sampai kami berangkat, meluncur dari rumah. Selama perjalanan entah bertujuan kemana, aku hanya terdiam menatap keluar jendela mobil. Pun, tekadang bisik-bisik perbincangan ayah dan bunda berdenging di telingaku.
"Bun, yah, kita mau kemana sih sebenernya? Dari tadi muter-muter aja," tidak betah membisu, kudesak orang tuaku agar berucap jujur. Memang apa sulitnya bilang?
"Udah gak usah bawel, sabar dulu." cetus ayah.
Lalu lintas padat merayap, selagi matahari merangkak naik di khatulistiwa. Hampir dua jam terjebak kemacetan, mataku memincing ketika mobil ayah melintasi kawasan bandara. Untuk apa sampai sini..? Batinku bertanya-tanya sambil celingukan ke jalanan, mendadak naluri tergugah.
"Bun, jangan bilang.." kugantungkan ucapanku sesaat, bunda tersenyum dan mengangguk samar. Sekejap saja, bom tak kasat mata meledak dalam diriku. Demi apa mas Alva kembali? Ya Tuhan! Akhirnya saat yang dinantikan datang juga, sebisa mungkin aku menetralisir rasa ini.
Seperti popcorn yang meletup-letup.
Keramaian erat sekali tercipta di terminal kedatangan. Ditengah membludaknya lalu-lalang orang, aku berdiri sambil menggenggam papan nama yang kutulis besar;
A L V A R O
Mengapa harus begini? Ya. Aku hanya menuruti perintah ayah dan bunda yang memilih menunggu di mobil, agar cepat menemukan mas Alva. Tiga tahun tidak berjumpa kemungkinan mas Alva tak mengenaliku, pun sebaliknya.
Tidak bisa dipungkiri dadaku berdebar-debar kencang. Pun, rasanya bibirku susah untuk berhenti melengkung. Mesam-mesem sendiri seraya mengedarkan pandangan ke segala penjuru, semoga saja tidak terlihat idiot. Belum lagi aku merasa seperti cacing kepanasan, kegugupan ini menjalar di tubuhku seakan ingin bertemu.. jodoh. Plak!
Apa yang kupikirkan, astaga! Shelby sadar! Mas Alva itu kakakmu! Dasar halu kebangetan! Kuketuk kepala yang bodoh ini, segera menepis jauh-jauh bisikan itu. Kembali lagi aku menelisik keberadaan mas Alva di antara banyak orang, sembari mengangkat papan namanya di dada.
Sesekali menilik jam tangan. Huh, mana sih?
"H—hai.."
Tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang, bersama itu suara nge-bass merambat di telingaku. Sepersekian detik sempat mematung, perlahan-lahan kuputar leher dan ..
Deg!
Seketika suasana berubah saat kami bertemu pandang. Baru saja Tuhan mengirimkan padaku seorang malaikat. Mata elang itu, terpancar daya tarik kuat seperti magnet. Seakan menebar serbuk hipnotis yang membius waktu.
Mimpi apa aku semalam?
"Mas Alva.." kutelan ludah kasar, terperangah. Lambat laun kebisingan tidak terdengar, semua orang bergerak melambat. Dan yang paling parah, aku merasa tak lagi berpijak di bumi, tubuhku ringan bak melayang di udara.
Aku terkesima dengan perwujudan di hadapanku. Detik demi detik yang terlewati, jiwa kami hanyut dalam teduh saling menatap. Pertama bertemu setelah sekian lama. Remaja 17 tahun yang dulu masih baby face, kini sudah beranjak dewasa. Tinggi, gagah, dan penuh kharismatik.
"Dek, ini kamu?" Sekali lagi, dia mengeluarkan suaranya. Ada getaran di dadaku kala itu. Ah, percayalah, duniaku teralihkan hanya karena mendengarnya. "El, adikku..?"
"Mas Alva.." bahkan, darahku mendesir menyebutnya.
Hap!
Lengan kekar itu menarikku, membenamkan kepalaku dalam dada bidangnya. Nyaris jantungan. Ya, mas Alva memelukku, membuatku mabuk oleh aroma maskulin di tubuhnya, tak bisa berkutik. Kecuali membalas peluknya untuk melepas rindu. Di tengah hilir mudik orang-orang asing, seluruh hatiku, meluluh. Dalam dekapan lelaki itu.
"Kangen banget sama kamu dek, gimana kabarmu hah?" tanya mas Alva antusias, tak luput dari senyum mautnya usai mengurai pelukan kami. Membawa kedua tanganku ke dalam genggaman hangat, seakan tak ingin terlepas.
"Kabar baik mas, kangen juga sama mas Alva.." ucapku setengah gugup, anehnya sekujur tubuhku panas dingin tidak karuan mendapati dalamnya sorot mata mas Alva.
"Gimana kabar mas, selama di Berlin?" tanyaku.
"Buruk," pungkasnya cepat, wajahnya ditekuk sambil mengayunkan kedua tanganku. "Demam terus aku.."
Sontak saja aku tercengang, "Mas .. demam?"
Dia mengangguk. "Demam rindu, sama orang."
"Siapa?" tanyaku, memincing curiga.
"Siapa apanya?"
"Namanya."
"Kamu."
Terkesiap. Ragaku mematung di tempat. Dengan tanpa dosa mas Alva mendekatkan wajahnya kepadaku, persis di depan mataku dia menggoda dengan kerlingan nakal yang menyulut area pipiku memanas, pun hidungku jadi kembang-kempis. Mungkin dia berpikir betapa polosnya aku, hingga terpatah-patah kekehan jailnya meledekku.
"Mukamu merah dek, kaya kepiting rebus. Hahaha.."
"Receh banget sih.." ketusku, jadi salah tingkah sendiri mengalihkan pandanganku dari mas Alva. Namun dia gencar sekali menoel pipiku yang dikatanya memerah.
"Ciee adekku udah perawan," mas Alva mengacak-acak rambutku gemas. "Udah punya pacar belum nih? Haha.."
"Apaan sih mas?" risauku, malu-malu anjing. "aku masih sekolah, gak boleh pacar-pacaran dulu nanti gak fokus."
"Ah masa? Emang siapa yang gak bolehin?"
"Aku sendiri," kataku seraya menjulurkan lidah. Lagi-lagi mas Alva terkikik geli, kali ini menjewer hidungku. Namun aku tak tinggal diam, kubalas tabokan keras bertubi-tubi di lengannya. Mas Alva hanya cengar-cengir. Dasar virus.
"Yaudah yuk ah, pulang.. nanti ngobrol-ngobrol lagi sambil jalan," mas Alva merangkul pundakku keluar bandara, sedangkan satu tangannya menarik koper. Canda tawa pun melebur mengiringi langkah kami. Aku seperti menemukan sesuatu yang baru bersamanya.

Book Comment (148)

  • avatar
    HaniNur

    Cerita nya kek imaginasi gua ngek😭😭,gua berharap gua punya abang kayak gini wou😭

    28/08/2022

      1
  • avatar
    Rifa tri Ndutt

    Ceritanya sangat menarik

    20d

      0
  • avatar
    GargarCora

    sangat bagus

    29d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters