logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part 6

Seperti yang telah mereka setujui sebelumnya bahwa mereka akan menjalani hari yang normal sebagai sepasang tunangan. Farrin dan Vian terlihat seakan keduanya telah saling menerima keadaan. Tentu saja hal itu membuat ibu dari Vian merasa khawatir karena ia takut sesuatunya tidak berjalan seperti yang mereka rencanakan di awal.
Merasakan hal lain, Nazilla juga telah menghubungi Avan dan mengatakan tentang semua kekhawatirannya. Namun, jawaban putra sulungnya sama sekali tak bisa membuat ia menenang. Masih ada rasa yang mengganjal di hatinya akan kegagalan acara mereka nantinya. Akan tetapi, hal itu juga bukan poin utama. Poin utamanya adalah bagaimana jika Farrin menolak pernikahan mereka nanti? Atau Farrin menjadi histeris? Jujur saja, sebagai orang tua tunggal ia tak ingin pesta pernikahan putranya berakhir menggelikan.
“Mama jangan khawatir, Farrin tidak akan melakukannya karena ia percaya padaku dan sangat mencintaiku.”
Begitulah jawaban yang di lontarkan Avan saat ia menyatakan kekhawatirannya itu. Ia seorang ibu, dan firasatnya biasanya yang tajam itu mengatakan jika akan ada hal yang tak akan berjalan sebagaimana semestinya.
Begitu pun juga dengan Vian. adiknya itu juga langsung mengirimkan foto surat dari Farrin yang diberikan untuk dikirimkan kepada Avan. Tentu saja reaksi serupa dan tak jauh berbeda didapat Vian. Jika begini, Vian dan Nazilla hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja. Vian tak ingin mengecewakan hati Farrin karena diam-diam, Vian menyatakan dirinya sendiri untuk menerima tawaran Farrin untuk menjadi seorang tunangan yang semestinya bukan karena permintaan wanita itu, melainkan untuk dirinya sendiri. Biarlah kali ini ia egois, karena ia ingin menikmati menjadi pasangan wanita yang ia cintai meski sebentar saja. Ia tak ingin berharap lebih dengan perpisahan kakaknya nanti. Di dalam hatinya, ia hanya bisa mengatakan pada dirinya jika Farrin adalah calon kakak iparnya.
Vian memang munafik, menerima seolah terpaksa. Namun, di hatinya bersorak gembira karena mendapat kesempatan langka.
Lalu kini, lelaki munafik itu tengah menunggu kepulangan Farrin dari sekolah tempatnya mengajar dengan mobil sedan biasa yang ia beli dengan gaji yang telah ia kumpulkan. Memang, ibunya telah memberikan mobil yang lebih bagus dari yang miliki saat ini. Tetapi, ia bersikukuh tidak mau menerimanya karena ia ingin tetap mempertahankan harga dirinya dengan memiliki dan mempunyai barang yang ia beli dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri.

“Sudah lama menunggu?”
Sial, terlalu larut dalam lamunannya membuat Vian sama sekali tak menyadari kehadiran Farrin yang kini telah duduk di samping kursi kemudi yang ia tempati. Vian heran, mengapa Farrin tidak menegurnya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam mobilnya? Padahal, jendela mobil ia buka lumayan lebar dan dimaksudkan agar nantinya Farrin bisa menyapanya terlebih dahulu.
“Tidak.”
“Kau melamun? Sedari tadi ku lihat kau memandangi objek yang sama tanpa bergerak dan sangat terlihat jika tengah memikirkan beberapa hal. Keberatan untuk berbagi denganku?”
Telak, Vian sama sekali tak bisa mengelak akan ucapan Farrin. Ia hanya bisa menggeleng pelan dan segera mencari topic lain agar tidak keceplosan dirinya yang tengah memikirkan sang kakak kembar yang lahir hanya berbeda beberapa menit itu.
Ah, pantas saja Farrin tidak menyapanya terlebih dahulu. Rupanya wanita itu teramat menyadari jika dirinya tengah melamun.
“Aku hanya memikirkan beberapa hal tentang pekerjaanku. Ada beberapa hal yang tak sesuai dengan rencana yang telah disepakati.” Vian mengatakan itu dengan tujuan meminimalisir kebohongannya pada Farrin. Ia berharap, kebohongannya tak terendus oleh tunangan sementaranya itu.
Lalu Farrin, ia hanya bisa mengangguk kecil saja akan jawaban Vian. Jauh, di dalam lubuk hatinya, ia tahu ada beberapa hal yang tengah di sembunyikan darinya. Tetapi ia juga tak ingin terlalu ingin tahu akan semuanya. Ia ingin semuanya keluar begitu saja tanpa ia turun tangan untuk mencari tahunya sendiri. Ia khawatir jika ia tahu terlalu banyak, akan mempengaruhi hatinya. Karena Farrin ingat jika ada sebuah perkataan yang mengatakan jika semakin sedikit kau mengetahui sesuatu, maka hatimu akan lebih terselamatkan.
“Ke mana kita hari ini? Apakah makan siang seperti biasa?” tanya Farrin.
“Yah, mungkin itu ide bagus. Aku masih memiliki waktu satu setengah jam untuk kembali lagi ke kantor,” jawab Vian.
“Tidak biasanya? Bukankah biasanya kau hanya mendapat waktu istirahat selama satu jam?”
“Hari ini ada rapat divisi yang akan dimulai dua jam lagi. Jadi aku punya waktu satu setengah jam untuk istirahat, dan setengah jam nanti untuk menyiapkan berkasnya.”
“Kalau begitu, biarkan aku yang memasak untuk makan siang kita kali ini,” putus Farrin.
Vian terhenti dari kegiatannya menyalakan mesin mobil dan malah menoleh ke arah Farrin dengan pandangan yang seolah berkata ‘kau bercanda?’.
“Aku sudah biasa memasak meski nyatanya hanya aku sendiri yang memakannya. Ah, beberapa kali juga aku membuatkan Avan. Tapi aku yakin jika masakanku layak untuk dimakan meski aku yakin rasanya tak akan seenak masakan koki handal,” ujar Farrin dengan tenang tanpa menyadari jika raut wajah Vian mulai terlihat mengeras karenanya.
Vian yakin jika ia cemburu. Namun, ia bisa apa? Kenyataan bahwa Avan pernah menjalin hubungan cukup lama dengan Farrin membuatnya menyadari jika pasti di antara mereka telah banyak hal yang dilewati.
“Tak apalah hanya meski hanya beberapa kali aku merasakan masakannya atau merasakan indahnya menjadi tunangannya meski sebentar,” batin Vian.
“Apa kau keberatan dengan hal itu?” tanya Farrin.
Vian menggeleng kecil.”Kalau begitu akan mengajakmu ke apartementku. Aku juga memiliki beberapa bahan masakan yang kubeli beberapa waktu yang lalu. Kuharap bahan masakannya tidak rusak karena terlalu lama,” ujarnya kemudian.
“Aku pernah mendengar dari Avan jika kau memiliki apartement sendiri. Tak ku sangka kau benar-benar memilikinya.”
Lagi-lagi selalu Avan yang Farrin sebut.
“Maaf.”Cicitnya kemudian. Farrin menunduk dan menyadari jika ia telah banyak menyebut nama Avan di hadapan Vian. Padahal sejak jauh-jauh hari ia telah meyakinkan dirinya untuk tak banyak menyebut atau mengingat hal tentang Avan. Tetapi sudahlah, ia berharap Vian tak akan sakit hati karena perlakuannya ini. Bagaimanapun juga, Farrin kini telah menjadi tunangan Vian dan akan menikah dalam waktu dekat. Jadi, ia harus menahan diri untuk tidak menyakiti hati Vian lebih dalam lagi.
Selain itu, ia juga telah berencana membuka hatinya untuk Vian. Ia telah berniat dan memantapkan hatinya untuk menerima apa yang ada di hadapannya dan tak akan menoleh ke belakang lagi. Ia tahu jika hal ini akan sulit, tetapi ia juga tak ingin menyerah begitu saja. Karena baginya, cinta dan pernikahan itu suci. Ia tak mau mengotorinya dengan hal yang tidak penting seperti kenangan mantan dan ketidak harmonisan dalam berkeluarga.
“Tidak apa-apa.”
Vian tersenyum maklum. Bagaimanapun Vian tahu jika kenangan Avan begitu memenuhi pikiran Farrin dan gadis itu tak bisa begitu saja menghilangkan kenangan manis mereka. Bukan sebulan dua bulan lagi usia kebersamaan mereka. Vian faham akan hal itu.
“Aku mengerti kau tak akan melupakan kenangan tentang kakakku begitu saja. Tak perlu memaksakan diri untuk melupakannya atau menghilangkannya dari pembicaraan kita. Aku cukup mengerti, sungguh! Tak perlu terlalu keras pada dirimu sendiri, ya.”
Farrin merasa semakin menyesal telah menyisipkan Avan di antara percakapan mereka dan ia telah merasa jika dirinya menjadi seorang tunangan yang buruk. Meski nyatanya, Vian juga telah berkata jika ia tak mempermasalahkannya. Tetapi tetap saja, rasa bersalah itu masih menggenang di hatinya.
“Sudahlah, ayo hentikan wajah murammu itu. Aku memaafkanmu, Tunangan. Jadi ayo kita tidak membuang-buang waktu dengan pembahasan yang tak penting seperti ini.”
Farrin masih tetap bergeming di tempatnya. Ia tetap merasa bersalah dan merutuki dirinya yang sama sekali tak bisa menahan diri itu. Di dalam penyesalannya, ia sedikit mensukuri bahwa Vian tidak meledakkan emosinya begitu saja dan justru menghakiminya seperti yang dulu pernah Avan lakukan padanya. Ah, entahlah! Mengapa juga ia harus membandingkan Avan dan Vian di kondisi seperti ini? Tentu saja mereka berbeda, meski nyatanya mereka tumbuh di rahim dan waktu yang sama dan hanya berbeda umur yang beberapa menit itu tentunya membuat mereka tak akan sama di banyak hal.
Tak mendapat respon yang berlebihan, Vian menjalankan mobilnya menuju apartement yang letaknya tak terlalu jauh dari tempatnya sekarang ini. Jika di tarik dari sudut jarak, apartmentnya seolah memiliki letak berada di tengah-tengah antara kantor tempatnya bekerja dan sekolah tempat Farrin berkerja. Terlihat seakan kebetulan. Namun, siapa yang tahu akan maksud dari semua itu, kan?

Book Comment (111)

  • avatar
    Refandy

    kerenn!!!

    17/08

      0
  • avatar
    Yasmin Santos

    ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

    16/08

      0
  • avatar
    LindaTiur

    sangat bagus

    13/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters