logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part 5

“Kau serius atas ucapan mu?” tanya Vian memastikan.
Farrin mengangguk mantap. “Ya,” ucapnya.
“Apakah itu berarti kau sudah tak mencintai kakakku? Bagaimanapun juga kalian telah menjadi sepasang kekasih beberapa tahun yang lalu. Lantas, bagaimana bisa kau mengatakan jika kau mau menerimaku sebagai tunanganmu?”
“Sudah ku bilang, ini sudah kupikirkan matang-matang. Aku bukannya sudah tak mencintai kakakmu. Tapi aku sadar diri. Aku sudah tak diinginkannya lagi menjadi pendamping hidup. Aku juga tak mau berharap lagi. Jadi, apa salahnya jika aku hanya ingin membuat hatiku lebih menerima keadaan?”
“Salah! Tentu saja kau salah!”
“Mengapa? Sekarang katakan di mana salahku?!” bentak Farrin kepada Vian. Emosi yang ia pendam beberapa saat itu telah tak sanggup lagi ia tahan. Ia tahu jika ia salah meluapkan emosinya pada Vian yang tak tahu apa-apa. Akan tetapi, jikalau dipendam lebih lama, pada siapa ia akan meluapkannya?
Sementara itu, Vian terperanjat begitu mendengar ucapan bernada tinggi dari Farrin. Ia tak menyangka jika wanita yang ia kenal begitu kalem dan sabar itu bisa mengeluarkan kata-kata sebegini kerasnya. Baginya, mungkin kini Farrin tengah meluapkan emosinya.
Baik dari keduanya, sama-sama hanya ingin mengerti tanpa mau saling mengungkapkan. Lalu, Vian semakin tak mengerti begitu melihat kelopak dari binar biru itu kini mengeluarkan air mata. Apakah ada yang salah?
“Kau salah. Kau seharusnya menunggu kakakku dan masih mencintainya seperti yang seharusnya,” lirih Vian.
Suasana café yang sepi membuat Farrin mendengar lirihan Vian dengan jelas. Menurutnya, ucapan Vian memang benar. Namun, di sisi lain hatinya mengatakan jika langkah yang ia ambil kini sudah benar.
“Aku selalu menunggunya. Menunggu sedari tahun pertama hubungan kami untuk mendengarnya memintaku menjadi pendamping hidupnya. Aku juga selalu menunggunya. Menunggu di sela-sela kesibukannya dalam pekerjaan untuk melihatku yang berusaha dan berjuang untuk belajar menjadi calon istri yang baik. Apakah kesabaranku untuk menunggunya begitu kurang di matamu? Apakah aku tak sesabar itu untuk layak menjadi wanita yang dicintainya? Atau hanya aku yang memiliki cinta dalam hubungan kami?” tanya Farrin.
Farrin bertanya dengan nada pelan dan tak terlalu lirih seperti Vian tadi. Namun, masih bisa didengar Vian meski Farrin juga menahan tangisnya. Sebenarnya ia tak ingin menangis di hadapan pria. Akan tetapi, entah mengapa air matanya seolah mendesak untuk keluar dengan begitu saja tanpa bisa ia bendung. Ia benci seperti ini. Benci saat terlihat lemah di mata orang lain.
“Bukan, bukan seperti itu!”
“Lalu apa? Mengapa apapun yang kulakukan selalu saja salah di mata orang lain?”
“Tidak, Fa. Kamu tidak salah-”
“Karena yang salah disini adalah kakak karena tidak terbuka padamu,” imbuh Vian dalam hati. Tentu saja kalimat terakhir itu hanya bisa Vian ucapkan dalam hati. Ia tak mungkin membeberkan semua ide kakaknya dalam waktu satu minggu, kan? Biar bagaimanapun juga, Vian harus meneguhkan hati agar tidak mudah luluh oleh tangisan Farrin.
Jujur saja, ia lemah akan tangisan wanita. Apalagi wanita itu adalah yang menempati ruang hatinya. Akan tetapi,lagi-lagi ia harus teguh, tak boleh luluh hingga menyebabkan ia membeberkan rencana sang kakak.
“Jika menurutmu keputusanku ini tidaklah salah, maka ayo kita menjalani waktu ke depan layaknya sepasang tunangan yang akan menikah kurang dari dua bulan ini.”
Lagi-lagi Vian hanya bisa terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Di sisi lain, ia perlu menjelaskan jika Farrin hanya harus tetap pada hatinya yang mencintai kakaknya. Namun, di sisi lainnya ia juga bingung harus berkata apa agar tidak menyakiti perasaan Farrin seperti perkataannya yang sudah-sudah.
Bolehkah Vian melambaikan bendera putih? Ia yang sebelum ini tak pernah menjalin hubungan dengan wanita kini harus direpotkan dengan segala macam tetek bengeknya untuk menjaga ucapan agar tidak melukai hati yang lembut itu.
Ah, tidak. Sebenarnya tanpa Vian sadari, ia telah terbiasa menghadapi hati lembut ibunya dan berusaha semaksimal mungkin agar tidak melukai wanita yang menjadi prioritasnya dengan selalu menjadi anak penurut, termasuk dalam hal itu adalah menjaga ucapan. Hanya saja, Vian terfokus pada hubungan dengan wanita dalam konteks pacaran, bukan hubungan umum.
“Baiklah! Ayo kita jalani hubungan sebagai sepasang tunangan. Tapi, aku mohon untuk tidak mengatakan hal ini kepada siapapun akan keputusanmu yang mengambil jalan ini. Jangan tanyakan hal atau alasan apapun. Aku akan memberitahumu nanti setelah pernikahanmu telah terlewati. Kau mau?” putus Vian. Ia tak memiliki opsi lain selain ini. Hal yang terpenting untuk saat ini adalah Farrin yang harus menghentikan tangisannya.
Farrin hanya bisa mengangguk saja. Sejujurnya, ia adalah anak yang penurut. Namun, tentu tidak semua hal bisa begitu saja ia turuti. Terkadang, ia lebih mendengarkan perintah hatinya dari pada perintah orang di sekitarnya bahkan orang tua atau kakaknya sekalipun. Ia beranggapan bahwa hatinya akan menuntun ke tempat yang seharusnya didatangi untuk berpulang. Bukankah hati selalu bisa menemukan jalan menuju rumahnya?
Hal itulah yang mendasari Farrin untuk selalu megedepankan kenyamanan hatinya. Tanpa tahu, hati Vian justru menyembunyikan banyak hal yang entah bisa ia kuak di kemudian hari atau tidak. Atau, menunggu dan berdoa semoga saja Vian mau mengingatnya esok hari dan memberitahukan dirinya akan hal itu.
Ah, sudahlah.
Cinta dan takdir memang terus berjalan. Keduanya akan bertemu dan berkumpul hingga membentuk kata tempat untuk berpulang. Right?

Book Comment (111)

  • avatar
    Refandy

    kerenn!!!

    17/08

      0
  • avatar
    Yasmin Santos

    ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

    16/08

      0
  • avatar
    LindaTiur

    sangat bagus

    13/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters