logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Mon Amour

Mon Amour

Rizuki


Part 1

“….. Lalu maukah engkau, Farrin Asytar, menerima Avan Kiandra sebagai pasanganmu. Menerimanya dalam keadaan sehat maupun sakit, kaya atau miskin, dan suka ataupun duka hingga ajal menjemput kalian?”
“Aku. Tidak. Bersedia.” Ujar mempelai wanita dengan tegas. Gadis yang memiliki darah keturunan ras Kaukasoid dari ayahnya itu menatap nyalang mempelai pria yang ada di hadapannya. Berharap seolah pandangan bisa membunuh, dan ia bisa membunuh pria di hadapannya dalam sekali tatap.
Sungguh! Ia ingin muntah rasanya, begitu melihat wajah memuakkan yang sayangnya sangat mirip dengan orang yang menemaninya selama dua bulan ini. Andai saja di sini tidak banyak orang, ia ingin menyiram wajah arogan itu dengan segelas jus atau seember air bekas pel sekalian.
"Pengantin priaku bukan dia. Dia hanya pengganti saja." Gadis itu menjeda, lalu melanjutkan, "mempelai priaku ada di sana," imbuhnya sambil menunjuk di mana ada seorang yang memiliki wajah mirip dengan pria yang ada di hadapannya ini tengah duduk manis. Sontak, semua orang yang hadir di sana berguman karena kaget.
***
Dua bulan sebelumnya ....
Denting jam besar yang berada di tembok ruang keluarga itu terasa begitu nyaring saat beberapa pasang mata di sana enggan mengeluarkan suaranya. Mereka, bahkan untuk bernafas saja terasa begitu menyesakkan saat seorang yang baru saja meninggakan ruang itu kini tak tertampakkan lagi eksistensinya oleh mereka. Tak ada yang bisa mencegahnya, bahkan sang kepala keluarga sendiri yang biasanya memiliki suara paling berhak untuk didengar kini sama sekali tak bisa untuk menghentikan langkah putrinya.
“Zilla, kupikir kau akan bermaksud meminang Farrin untuk putra sulungmu,” ujar wanita berambut merah sepanjang panggul itu kepada wanita berambut dark blue yang berada di hadapannya.
“Memang, aku memang bermaksud demikian. Tapi ini adalah ide putra sulungku itu. Putraku yang satu itu yang mengusulkan untuk melakukan hal ini,” jawabnya.
“Tapi yang kutahu, Farrin itu keras kepalanya melebihi ayahnya.” Yang merasa disebut menolehkan kepala yang berhias surai pirangnya dan melirik dengan tatapan tajam
“Maaf, Darius. Tapi itu adalah kenyataannya,” imbuh wanita berambut merah.
Lelaki berambut pirang bernama Darius itu hanya bisa terdiam. Memang benar ucapan wanita berambut merah yang berstatus istrinya itu bahwa ia keras kepala. Namun, apakah hal itu layak untuk dikatakan secara gamblang di keadaan mencekam seperti ini?
“Anu, boleh saya menyusul Farrin? Sepertinya dia tertekan. Jadi saya berusaha untuk menghiburnya. Meski tidak bisa mengembalikannya seperti semula, saya harap dia nanti bisa lebih mengurangi kesedihannya.” Suara dari satu-satunya pemuda di ruang itu membuat tiga pasang mata lainnya menoleh ke arahnya secara bersamaan. Ketegangan yang mereka alami beberapa saat yang lalu seolah membuat mereka melupakan eksistensinya.
“Silakan! Aku mengijinkanmu menemuinya,” ucap Darius. Ia mengizinkan pemuda itu bukan tanpa pertimbangan. Melihat istri dan sahabatnya yang seolah memiliki pembahasan lebih lanjut, ia memilih untuk mengiyakan permintaan pemuda yang sudah ia kenal dengan baik. Ia yakin, pemuda itu tak akan melakukan hal di luar batas kepada putri keduanya.
“Tapi Margaret ....”
“Nazilla, biarkan saja! Aku yakin Vian bisa menjalankan perannya dengan baik.” Perempuan yang berambut merah panjang yang di panggil Margaret itu memberikan senyum lembutnya pada perempuan berambut dark blue tadi, bermaksud mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Meski setelah ini tak akan ada yang baik-baik saja seperti sebelumnya.
“Lalu bagaimana setelah ini? Sejujurnya aku sedikit khawatir akan mereka. Tapi, ini adalah permintaan Avan sendiri. Ia yang mengajukan ide ini dan berkata bahwa ia ingin melihat kesetiaan Farrin. Jadi, aku menyetujuinya saja tanpa berpikir lebih banyak. Kau tahu, kan? Semenjak suamiku meninggal, Avan telah mengambil banyak tanggung jawab dalam perusahaan serta menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Untuk itulah aku terkadang merasa kasihan padanya. Atas yang kulihat selama ini, sebagai kakak ia telah menjadi lebih dari yang kuharapkan padanya. Aku juga senang tentang hubungannya dengan putrimu. Tapi, satu hal yang sama sekali belum ku mengerti di sini adalah keputusannya tentang ini,” jelas Nazilla.
Di usianya yang tak lagi muda itu, Nazilla merasa lelah jika dihadapkan pada tingkah putra sulungnya yang terkadang tak bisa ia mengerti. Andai, putra sulungnya itu tak mengambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga dengan baik, ia pasti akan mengurungnya di kamar dan menceramahinya habis-habisan.
Sayang, ia tak memiliki banyak waktu karena putra sulungnya itu terburu-buru mengejar jam terbang pesawat yang akan membawanya melintasi benua lain.
“Bisakah kita menyerahkan segala keputusan ini pada mereka? Kau tahu, aku sudah merasa bersalah dengan menyetujui perjodohan ini begitu saja. Aku tak mau membuat diriku lebih menyesal dari ini dengan ikut campur lebih jauh lagi,” ujar yang kini menjadi satu-satunya pria di ruang itu. Semuanya menunduk, ia tahu jika hal ini terdengar kejam.
Bagaimana tidak? Anak-anak mereka memang menjalin hubungan sebelumnya dan kedua keluarga ini ingin memberi kejelasan akan status yang mereka miliki. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk masing-masing dari mereka mengenal satu sama lainnya. Akan tetapi, yang tidak bisa mereka terima dalam pikiran mereka adalah, bagaimana bisa seseorang yang menjalin kasih lebih memilih menyibukkan diri dalam pekerjaan, dan mengalihkan tanggung jawab bertunangan pada adiknya?
Tidak ada yang benar-benar bisa memahami atas isi hati seseorang. Bahkan entah seberapa dekat kau dengannya. Tentu, tanpa pengecualian untuk Avan.
Putra yang Nazilla pandang memiliki pandangan yang lebih mapan dan dewasa dari adiknya, Vian. tidak menyangka jika Avan bisa sebegini kekanakan. Nazilla memang mengetahui jika putra sulungnya memiliki suatu sikap yang terkadang melenceng dari pemikiran orang kebanyakan. Namun, ia tak manyangka jika ide ini terlintas di benak anaknya itu.
Avan meminta ibunya untuk meminangkan kekasihnya. Akan tetapi, bukan untuk dirinya melainkan untuk adik kembarnya dan berdalih jika ia ingin menguji tentang kesetiaan kekasihnya. Hanya dua bulan, itu yang dikatakan. Lalu, selama waktu itu ia akan mengurus perusahaan mereka yang ada di Paris dan kembali saat hari pernikahan.
Avan berencana langsung menikahi kekasihnya begitu ia pulang dan merancang scenario ini. Ia yakin, dengan sangat yakin malah. Bahwa saat ia datang, kekasihnya itu akan merasa senang saat melihat ia menunggu di altar, bukan sang adik yang kini ditunangkan dengannya.
Dia benar-benar yakin dengan keputusannya tanpa memikirkan resiko bahkan yang paling kecil dan menyakitkan sekalipun. Mengingat bahwa selama ini kekasihnya itu teramat setia untuknya. Sekali pun Avan tidak meragu untuk hal itu. Bukan apa, ia sudah seringkali menguji kesetiaan kekasihnya dan ia berjanji jika ini adalah yang terakhir untuknya melakukan hal itu.
Sekali lagi dia lupa akan satu hal yang paling umum.
Bahwa akan ada saatnya seseorang memiliki titik lelah dan menyerah.

Book Comment (111)

  • avatar
    Refandy

    kerenn!!!

    17/08

      0
  • avatar
    Yasmin Santos

    ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

    16/08

      0
  • avatar
    LindaTiur

    sangat bagus

    13/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters