logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Tak Seindah impian

Rasanya ingin pergi jauh, meninggalkan semuanya hingga tak kurasa beban hidup lagi. Aku wanita bod*h? Budhe Risah dan para tetangga sudah lama menganggapku begitu, Nurma yang penurut dan tol*l.
"Ais, ayo pulang sama bapak! Nanti main sama Kak Afifah," bujuk suamiku.
Bang Muis mengulurkan tangan, berusaha meraih Aisyah agar mau digendongnya. Rupanya ia sudah bisa menguasai diri lagi. Suamiku itu kadang begitu, setelah meledak-ledak marah lalu melunak kala kembali kesadarannya.
Kubelai kepala Aiasyah dan kuciumi pipinya berulang kali seraya membujuknya agar mau pulang. "Aisyah mandi dan makan dulu, nanti ke sini lagi sama Kak Afifah."
Bang Muis mengusap kepalaku lembut seraya berbisik pelan, "Cepat sehat, kasihan anak-anak."
Aku bergeming, menatap langit-langit kamar dengan hampa, tak menanggapi kemesraannya tadi. Aku tak mau dibod*hinya lagi.
Sembari merengek, Aisyah pun terpaksa menurut digendong bapaknya. Mereka pulang mengendapkan rasa gelisah di hatiku, semoga Bang Muis mengurus anak-anak dengan baik hingga aku cukup sehat.
"Assalamu'alaikum, sehat, Nurma? Maafin Mpok baru bisa ke sini."
Nampak Mpok Imas masuk ke ruang rawat sendirian, ia berjalan cepat menghampiriku sambil tersenyum malu.
"Wa'alaikumussalam, insyaallah segera sehat, Mpok."
Kakak perempuan Bang Muis itu buru-buru menaruh sekantung kresek roti dan cemilan di meja kecil samping ranjang pasien.
"Muis mana?" tanyanya singkat.
"Baru saja pulang, Mpok."
"Kenapa kagak ada yang ngabarin ke rumah sih, Mpok kan malu denger cerita orang-orang, yang katenye Lu beranak di hutan sono." Mpok Imas merengut, menatapku tak suka.
"Maaf, tanya saja sama Bang Muis, harusnya dia yang Mpok salahkan," jawabku santai.
"Maksudnya apaan sih?" ketusnya sengit.
"Adik Mpok itu gak ada tanggung jawabnya sama keluarga. Aku sudah gak kuat, gak bisa lagi kupenuhi permintaan Mpok dulu."
"Jadi, Lu mau pisah ame si Muis gitu?" Mpok Imas membelalakkan matanya tak percaya.
Aku mengangguk. "Iya, Mpok. Maaf."
"Pikir lagi, Nur. Pikiiir! Siapa juga yang mau nikah sama janda beranak lima macam Lu. Anak-anak butuh punya seorang bapak."
Tak kuhiraukan kata-kata wanita yang selama ini tak terlalu dekat dengan kami itu. Meski ia saudara kandung Bang Muis namun kurang perhatian padaku dan keponakannya. Ikatan persaudaraan kakak beradik itu tak wajar menurutku. Jika sesekali Mpok Imas memberi perhatian, itu hanya untuk menjaga nama baiknya di masyarakat saja.
"Ada bapaknya juga percuma, aku harus berjuang sendiri merawat anak-anak. Bang muis itu sakit jiwa, kebetulan saja ia masih dipercaya mengajar anak-anak mengaji." Aku meluahkan semua kekesalanku.
"Teganya lu ngatain suami sendiri begitu, Nurma!"
"Itu kenyataan, Bang Muis lelaki yang nampak shaleh tapi perilakunya tak shaleh. Aku tertipu menikah dengannya."
Mpok Imas mengambil sebuah roti isi lalu memberikannya padaku. "Cicipi dulu rotinya, kamu pasti belum sarapan."
Aku menggeleng. "Sebentar lagi Mbak Mia akan datang membawa makan pagiku."
"Biar kuulang lagi ucapanku dulu. Muis itu orangnya baek, ia sangat mencintaimu. Rasa cemburu yang membuatnya jadi ingin menguasaimu," ucap Mpok Imas seperti kata-katanya enam tahun lalu, saat aku ingin bercerai dari Bang Muis usai bertengkar karena ketahuan minum pil KB.
"Dulu aku merasa tersanjung dicintai lelaki setengah mati begitu, tapi sekarang ... sungguh menakutkan untuk tetap bersamanya, Mpok." Aku menegaskan suaraku.
"Eh, Nurma, bukannya dulu kamu berebut dengan gadis lain untuk mendapatkan cintanya Muis?" ungkit Mpok Imas.
"Aku salah duga, Mpok. Keshalehan Bang Muis palsu," tukasku sembari memicingkan tatapanku.
Enam belas tahun lalu, hatiku bergetar kala melihat sosok pemuda tampan yang baru datang dari tanah Jawa untuk tinggal bersama kakak perempuannya.
Aku yang sore itu baru pulang bekerja dari kebun pembibitan kelapa sawit, terpesona melihat pemuda itu dengan sabar mengajari anak-anak mengaji. Ia begitu fasih menguasai tajwid bacaan Alquran.
Pemuda tampan dan pandai mengaji itu langsung menarik perhatian gadis-gadis seumuranku untuk mengenalnya lebih dekat.
Pemuda yang akhirnya kuketahui bernama Muis, ia baru datang dari pinggiran kota Jakarta, menyusul kakak perempuannya untuk mencari kerja di Pulau Borneo. Bang Muis, begitu warga memanggilnya. Ia menunggu mendapatkan pekerjaan sembari mengajari anak-anak mengaji di mushola.
Kabarnya, Bang Muis pernah belajar di sebuah pesantren di Jawa sana. Aku yang sudah kehilangan orang tua, mendambakan menjadi calon pengantinnya, berharap mendapat sosok suami yang shaleh jika menikah dengannya.
Tak bertepuk sebelah tangan, Bang Muis juga jatuh hati padaku. Menurut orang-orang parasku cantik, hanya saja aku hidup sebatang kara harus bekerja menyemai bibit sawit di bawah terik matahari hingga kulitku sedikit kusam.
Bapak, mamak, dan adikku meninggal saat terjadi tragedi pertikaian antar etnis yang menyasar korban hingga ke daerah transmigrasi. Aku selamat karena saat itu aku masih tinggal di kost di kota Kabupaten saat menempuh sekolah jenjang SMA, sekolahku pun akhirnya tak berhasil kuselesaikan karena terbentur biaya.
Rumahku terbakar habis tak bersisa saat tragedi itu, untung lah warga berbaik hati bergotong royong mendirikan lagi sebuah rumah papan sederhana untukku tinggal. Rumah itu juga lah yang kutinggali sekarang bersama suami dan anak-anakku kini.
"Shalehnya palsu katamu? Muis itu pinter, ia hanya keblinger." Mpok Imas menepukkan kedua tangannya di depan wajahku, mengembalikan kenyataan yang harus kuhadapi di masa kini.
"Keblinger kok bertahun-tahun," ucapku sengit.
"Lu tuh yang kagak bisa bimbing Muis jadi orang bener dan tekun." Mpok Imas menegurku dengan logat betawinya yang sudah bercampur dengan logat Jawa tengah.
"Eh, Mpok keliru, Bang Muis yang gak bisa jadi kepala rumah tangga yang bener. Ia sakit jiwa, pernah belajar nyantri tapi gak nerapin tuh ilmunya." Aku membela diri.
"Jadi lu tetep mau minta cerai nih?" tanya Mpok Imas mengulangi.
Aku mengangguk yakin dan teguh hati. Begitu aku sehat, akan kuajukan gugatan cerai. Aku bisa bekerja apa saja untuk menghidupi anak-anakku.
"Dengar ceritaku dulu, Nurma, kamu belum tahu banyak tentang masa lalu Muis. Dengarlah dulu." Mpok Imas berkata mengiba.

Book Comment (19)

  • avatar
    Dedi Yanto

    terima kasih

    05/06

      1
  • avatar
    0392Mahesa

    bagus

    09/05

      1
  • avatar
    Heyyud Heyyud

    sangat lah keren

    14/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters