logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Jangan Manja, Nurma!

"Nur, tak usah khawatir. Biasanya juga kamu cepat sehat tiap habis lahiran." Suara Bang Muis yang tenang, tapi terdengar seperti gemuruh petir di telingaku.
"Nyawaku hampir melayang usai lahiran tadi. Abang gak lihat aku terbaring lemah begini?" bergetar kuberanikan diri menegur lelaki yang berwajah menawan itu.
Bang Muis menarik kursi di dekat ranjang pasien lalu duduk di sampingku. Didudukkannya Aisyah di tepi pembaringan sambil dipegangnya agar tak terjatuh.
"Jangan merasa lemah, Nurma. Allah yang memberikan kehamilan, sudah pasti Allah juga akan sehatkan kembali setelah melahirkan."
"Apa katamu, Bang? Aku memang belum pulih, butuh istirahat. Uruslah rumah dan anak-anak! Bu Bidan belum mengizinkan pulang."
"Jangan manja, Nur! Kamu bisa saja istirahat di rumah," sergahnya, ia sungguh mulai membuatku kesal.
"Ya Allah, Bang! Budhe benar, Abang memang tak bisa dipercaya ucapannya." Aku berkata geram.

"Ya sudah, kalau begitu biar Aisyah ikut menginap di sini ... bersamaku," ucap Bang Muis setengah hati.
"Aku mau tidur! Bawa pulang Aisyah, jemput Ridho di rumah Budhe."
"Aku tak bisa mengurus Aisyah tanpamu, ia selalu mencarimu di malam hari." Bang Muis membujukku.
"Dengar, Bang! Aku akan cukup repot dengan anak kita yang baru lahir ini, Aisyah menjadi tanggung jawabmu sekarang."
Sekuat hati kuabaikan tatap Aisyah yang merindukanku. Maafkan Mamakmu, Nak, lirihku dalam hati.
"Maksudmu, aku harus tetap pulang?" tanyanya dengan suara meninggi.
"Iya, Kasihan Afifah dan Ridho juga. Jaga dan urus mereka dengan baik. Aku di sini bersama Bu Bidan."
"Kalau begitu kita pulang sama-sama saja sekarang! Aku akan menemui Bu Bidan."
Bang Muis mengangkat Aisyah dalam gendongannya, dia berlalu hendak ke rumah dinas Bu Bidan di samping puskesmas.
"Bang! Aku tak mau pulang!" pekikku keras hingga bayiku terkejut lalu menangis.
Perlahan, aku berusaha memiringkan tubuh dengan susah payah karena selang infus yang menempel. Kuraih bayiku lalu mencoba memberinya ASI sembari berbaring miring.
Suamiku yang keras hati itu tetap melangkah melewati pintu untuk menemui Bu Bidan. Apa lagi dayaku untuk bisa membuatnya menuruti pintaku? Aku belum sanggup berlari mengejarnya.
"Ya Allah, Bu Nurma beneran ingin memaksa untuk pulang? Aku masih pantau pendarahannya lho." Bu Bidan berkata dengan marah padaku.
Kutatap suamiku dengan sorot kecewa dan marah, ia justru menajamkan matanya padaku.
"Jangan khawatir, Bu. Aku bisa rawat Nurma di rumah." Bang Muis meyakinkan Bu Bidan.
"Pak Muis tahu nggak? Istrinya masih lemah rahimnya, pendarahannya belum normal. Sebentar lagi Mbak Mia akan datang menemani Bu Nurma. Kalau Pak Muis mau pulang dulu, silakan saja."
Bu Bidan menghalangi keinginan suamiku, ia bahkan sudah menugaskan perawat pembantu untuk mendampingiku malam ini.
"Ya sudah, Bu. Terserah Bu Bidan saja. Kalau begitu aku titip Aisyah di sini jika ada Mbak Mia juga nanti."
Tanpa sungkan, Bang Muis mengangsurkan Aisyah kepada Bu Bidan. Rasanya ingin kuteriakkan sumpah serapah padanya seketika itu juga, namun lidahku kelu saking geramnya.
Bu Bidan tak kuasa menatap wajah polos Aisyah yang sudah menahan kantuk. Putriku sudah makan atau belum, entahlah, aku yakin Bang Muis belum memasak karena tak ada kayu bakar di rumah, uangnya pun pasti tak cukup untuk membeli makanan yang sudah masak. Hatiku tersayat terbayang wajah anak-anakku yang belum makan.
"Bang, ambil dulu makanan di kantin koperasi untuk anak-anak. Katakan nanti dipotong dari upahku lusa jika sudah bisa bekerja. Aisyah ini diajak--"
Bang Muis berlalu begitu saja tanpa kata lagi sebelum aku selesai bicara.
"Wong edan! (orang gila)! Eh, maaf Bu Nurma aku gak bisa menahan diri saking jengkelnya." Bu Bidan mendekat padaku sambil menggendong Aisyah.
"Gak apa-apa. Memang suami saya edan, sayang baru kusadari saat semua sudah terlintas termakan waktu. Maaf, ya, Bu Bidan." Aku berkata sendu.
"Wis dadi lakon uripe Bu Nurma (sudah jadi takdir hidup Bu Nurma). Tapi masih bisa diperbaiki jika sampeyan (kamu) mau lebih tegas lagi."
"Mauku begitu, Bu, tapi ...."
"Jangan menyerah, nanti kuajari caranya."
Aku tersenyum, tak yakin.
"Aisyah biar kubawa ke rumah dulu, kasihan lapar kayaknya. Mia bentar lagi ke sini bawa makanan untuk sampeyan."
Aku mengangguk penuh rasa terima kasih. Meski sudah lima kali ini aku menyusahkannya tiap usai melahirkan, Bu Bidan masih saja berlapang dada tetap membantuku dengan ikhlas.
Aku belum bisa membalas kebaikan bidan desa itu, sesekali kadang aku mengantar buah pisang yang tumbuh di belakang rumahku saat berbuah untuk Bu Bidan, itu saja sudah membuatnya terharu dan senang.
Proses persalinanku yang terberat kualami saat melahirkan putra ketigaku. Aku masih bekerja mencuci piring di kantin koperasi desa saat hamil tua. Kontraksi kurasakan ketika mengangkat tumpukan piring dalam baskom untuk dikeringkan di rak piring dapur. Kakiku terpeleset hingga terjatuh.
Sakit yang kurasakan tak terkira, bayiku meninggal kala persalinan di mobil dalam perjalanan sebelum sampai di puskesmas dan tak sempat mendapat pertolongan Bu Bidan.
Setelah tragedi itu, rasanya hamil dan melahirkan adalah sebuah mimpi buruk bagiku. Aku diam-diam meminum pil kontrasepsi yang kusembunyikan di lemari pakaian.
Tiga tahun aku berhasil meminum pil pencegah kehamilan itu, hingga Bang Muis curiga dan mengawasiku, ia pun memergoki saat aku menyimpan lempengan sisa pil-pil kembali.
"Aku ingin anak lelaki! Kamu belum memberiku keturunan yang bisa menjadi kebanggaanku, kenapa malah minum pil haram ini!"
"Maaf, Bang, tapi aku belum siap melahirkan lagi, masih terbayang persalinanku yang belum lama berlalu."
"Itu karena kamu kurang hati-hati menjaga diri," tukasnya tak mau mengerti.
"Bagaimana aku bisa hati-hati, saat itu aku harus membawa Afifah bersamaku sambil bekerja." Aku mengingatkan kejadian yang telah lalu.
"Afifah itu penurut, ia tak menganggumu bekerja. Memang kamu yang ingin anak lelakiku meninggal saat itu, atau jangan-jangan itu anak lelaki lain, Hah?"
"Ya Allah, Bang. Mana ada seorang ibu yang ingin anaknya terlahir meninggal. Lelaki mana yang abang maksud? Aku ini hanya sibuk mengurus anak dan kerja."
"Halah, kamu itu yang salah! sudah mau melahirkan masih saja bekerja di kantin. Biar bisa terus ketemu bos-bos sawit yang makan di situ 'kan?"
"Kalau aku tak bekerja, dari mana kita mencukupi semua kebutuhan, penghasilanmu saja tak cukup. Aku ini setia padamu, Bang."
"Itu karena kamu yang boros, coba kamu mau cari jamur di sawitan, cari sayur paku, daun singkong, banyak saja itu tumbuh liar di tepi jalan perkebunan."
"Aku capek, Bang! Harus kerja, ngurus rumah, ngerawat anak juga. Aku mau tetap minum pil KB itu."
"Wah bagus! Kamu minum itu biar tidak hamil dengan bos-bos sawit pasti!"
"Astaghfirullah, abang keterlaluan! Sia-sia aku setia dan bertahan mendampingimu selama ini. Kita berpisah saja kalau begitu. Aku sudah lelah hidup bersama abang."
Bang Muis terkejut mendengar ancamanku saat itu.
"Kalau kamu sampai meminta cerai, jangan harap bisa bertemu dengan Azizah dan Afifah lagi. Aku akan bawa mereka ke Pulau Jawa yang tidak kamu ketahui tempatnya."
"Bu Nurma, ini makannya." Suara Mbak Mia membawa kembali ingatanku di waktu lalu. Perawat yang masih gadis itu membantuku untuk duduk agar bisa menyuapiku.
Kupandangi wajah cantik bayi yang baru kulahirkan, aku harap ia akan menjadi anak bungsuku dari Bang Muis. Aku akan berpisah dari lelaki itu bagaimanapun caranya.

Book Comment (19)

  • avatar
    Dedi Yanto

    terima kasih

    05/06

      1
  • avatar
    0392Mahesa

    bagus

    09/05

      1
  • avatar
    Heyyud Heyyud

    sangat lah keren

    14/04

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters