logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

RENCANA UNTUK PERGI

"Dasar Istri nggak berguna!" ucapnya sambil berlalu pergi. Terdengar bantingan pintu dan deru motor meninggalkan rumah ini.
Kuhela napas kasar, berharap rasa sesak sedikit berkurang. Menatap hamparan kebun sayur yang hijau dapat membuatku sejenak melupakan segala resah. Duduk di belakang rumah setelah menyelesaikan semua pekerjaan, adalah hal yang rutin ku lakukan akhir-akhir ini. Sambil memandang semburat lembayung yang sebentar lagi tenggelam di ujung barat.
"Sudah selesai kerajaanmu, Fit?" tanya Ibu mertua menghampiriku.
"Sudah Bu." Jawabku lirih sambil beranjak menuju kamar mandi.
"Orang tua ngomong kok malah di tinggal pergi, dasar mantu nggak tahu diri!" umpat Ibu kesal. Tak ku pedulikan perkataan Ibu, gegas Aku mandi dan bersiap untuk solat Maghrib.
Keluar dari kamar mandi, Kulihat Ibu masih menikmati makan malamnya yang telah ku siapkan di atas meja. Tanpa menyapa, segera Aku ke kamar dan mengunci diriku di dalamnya.
Sayup-sayup terdengar adzan Maghrib berkumandang. Kubentangkan sajadah usang yang entah tahun kapan kubeli. Dengan kondisi yang serba terbatas, Aku tetap berusaha melaksanakan kewajibanku sebagai Hamba. Mengadukan semua keluh kesah ku pada Nya. Lembar demi lembar Alquran Ku buka perlahan, takut jika kertasnya yang rapuh, akan robek. Ini satu-satunya kenangan dari Nenek, yang sampai saat ini masih ku pakai hingga sekarang.
BRAK BRAK BRAK! Suara pintu di gedor membuatku terkejut. Entah berapa lama Aku terlelap, saat bangun masih kukenakan mukena dan Alquran dalam pelukanku.
"Fitri! Buka pintu, cepat!" teriaknya sambil menggedor pintu rumah. Bergegas ku lepas mukena dan membuka pintu, sebelum Mas Herman murka. Bau alkohol seketika menyeruak, saat pintu rumah terbuka. Mata merahnya melotot tajam ke arahku.
"Lama amat buka pintunya, hah!" bentaknya, sambil mendorongku saat Mas Herman masuk ke dalam dengan langkahnya yang sempoyongan. Untung saja, pintu rumah menahan tubuhku hingga tak terjatuh.
Bergegas Aku kedapur untuk membuat kopi untuk Mas Herman. Secangkir kopi panas ku letakkan di atas meja ruang tamu.
"Kenapa mabuk lagi Mas? Sudah lama Mas Herman tak seperti ini?" tanyaku lirih.
"Bukan urusanmu! Kamu yang buat Aku menyentuh Minuman lagi!" racaunya sambil merebahkan tubuhnya di bangku panjang, setelah menyeruput kopi panas yang ku sajikan.
Mungkin ini saat yang tepat Aku harus mendapat informasi tentang foto yang kemarin Mas Herman tunjukkan padaku.
"Mas, mau makan sekarang?" tanyaku sambil mendekatinya.
"Jangan ganggu Aku, kepala pusing ini!" ucapnya dengan mata terpejam. Aku yakin Mas Herman belum terlelap, hanya setengah mabuk saja. Mungkin ini kesempatan ku untuk mengorek cerita tentang foto yang Mas Herman tunjukkan kemarin.
"Mas, foto yang kemarin Kamu tunjukkan padaku itu asli, kan?" tanyaku pelan.
"Ya jelas asli, dong. Ibu yang simpan." Jawabnya dengan mata yang masih terpejam.
"Foto bayi itu siapa Mas?" tanyaku lagi.
"Fitra dan Fitri."
"Fitra di mana Mas?"
"Di kota."

"Kota mana Mas?"
"Nanya mulu, Aku ngantuk. Pergi sana!" bentaknya sambil membalik tubuhnya membelakangi ku. Kulihat dompet Mas Herman menyembul keluar dari sakunya.
Ku keluarkan dompet Mas Herman dari sakunya perlahan. Ku buka satu persatu, hingga ku temukan secarik kertas bertuliskan nama dan alamat Fitra Alamsyah. Senyum tersungging dari bibirku.
"Setelah gajian, Aku akan pergi ke kota untuk mencari tahu kebenarannya." Gumamku dalam hati. Segera ku salin tulisan di secarik kertas, dan kukembalikan di tempat semula, kedalam dompet Mas Herman.
*
Aku bangun di pagi buta untuk segera menyelesaikan semua pekerjaan rumahku. Tak ingin membuat Mas Herman marah dan curiga akan rencanaku.
Ku tinggalkan Mas Herman yang masih terlelap di atas bangku ruang tamu. Bergegas Aku berangkat kepasar dan meminta ijin untuk mengambil gajiku di awal, kalau Koh Andi mengijinkan pagi ini juga Aku akan kekota mencari Fitra.
Setiba di pasar Koh Andi hanya sendiri duduk di kursi kasir. Pekerja yang lain belum ada yang datang.
"Kamu datang pagi sekali, Fit." Sapanya saat melihatku masuk ke dalam toko.
"Koh, bisa saya bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin Saya sampaikan." ucapku pelan, tak ingin orang lain mendengar.
"Bisa, bisa. Rahasia ya?" tanyanya penasaran.
"Iya Koh, Ini juga baru tahu kemarin malam, ternyata Saya punya saudara kembar. Suami Saya menyembunyikan rahasia besar ini." Bisikku perlahan.
"Benarkah? Lalu apa rencana mu?" tanya Koh Andi dengan raut wajah terkejut.
"Saya mau ambil gaji Koh, untuk biaya ke kota. Bisa nggak Koh?" tanyaku memelas.
"Bisa, Kamu sudah tahu alamat saudara mu?" tanyanya lagi.
"Ada Koh, Aku ambil dari dompet suamiku semalam."
"Aku telepon sopir ku saja, biar antar Kamu ke kota." Ucap Koh Andi sambil mengambil ponselnya.
"Apa nggak merepotkan Koh?" tanyaku khawatir.
"Puluhan tahun Kamu kerja di sini, bahkan tanpa libur. Anggap ini bonus dari Saya."
"Terima kasih Koh." Ucapku dengan senyum penuh rasa terima kasih.
Tak menunggu waktu lama, sopir Koh Andi datang dan kutunjukkan alamat rumah Fitra. Dia mengangguk dan tahu alamat tersebut. Tak henti ku ucap terima kasih pada Koh Andi, sebelum mobil berangkat menuju Kota.
Perjalanan enam jam ku tempuh, hingga mobil berhenti di depan pintu gerbang sebuah rumah yang terlihat megah. Pak Sidik turun untuk bertanya pada satpam penjaga rumah.
"Selamat siang Pak, perkenalkan Saya Sidik, Saya ingin bertemu dengan Pak Fitra Alamsyah. Ada saudara dari Kampung Ingin bertemu dengan beliau." Ucap Pak Sidik meminta ijin pada Satpam.
"Sebentar ya Pak, Saya bilang dulu kedalam. Kebetulan Pak Fitra pas pulang untuk makan siang di rumah." Ujar Satpam sambil kembali masuk kedalam rumah. Aku dan Pak Sidik berdiri, menunggu di depan gerbang.
Tak berapa lama terdengar pintu gerbang di buka dan Satpam mempersilahkan Kami masuk. Bergegas Pak Sidik memasukkan mobil kedalam halaman rumah yang sontak membuatku tercengang karena kemegahannya.
Pak Satpam mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah. Ruang tamu yang luas dengan perabotan mahal di dalamnya. Aku sedikit takut mengotori sofa saat di persilahkan duduk.
"Fitri?!" Terdengar suara yang melengking karena terkejut akan kedatangan ku.
"Bagaimana bisa kesini Fit? Herman mana? Kamu sehat, kan? Maafkan Aku yang nggak pernah menjenguk mu. Apa uang kirimanku kurang, hingga Kamu datang kemari?" tanyanya beruntun, membuatku terpaku tanpa suara.
"Kamu, Fitra?" tanyaku memastikan.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿

Book Comment (170)

  • avatar
    SatriaAnak agung

    bagi sekali

    2d

    Β Β 0
  • avatar
    Zeson

    AAAA ENDINGNYA MEMBUAT KU KELEPEK-KLEPEKπŸ˜žπŸ˜žπŸ˜žπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘Œ

    21d

    Β Β 0
  • avatar
    AinulSiti

    good

    16/08

    Β Β 0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters