logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

PERMINTAAN CERAI

"Uang Fitri sudah habis Bu, baru gajian lima hari lagi."
"Sejuta itu uang yang banyak Fit, masak belum sebulan sudah habis? Jadi perempuan Jangan boros!" seru Ibu dengan suaranya yang keras.
"Tadi masih ada seratus ribu, tapi di ambil Mas Herman untuk mentraktir temannya."
"Kamu harus pintar ngatur uang, sudah kewajibanmu memberi uang pada Anakku, Kamu numpang di sini!" ketus Ibu membuatku terhenyak.
"Kalau begitu, kembalikan uang hasil penjualan rumah nenek, agar Aku tak perlu numpang lagi di sini!" jeritku sarkas dengan menahan amarah.
PLAK!!!
"Berani Kamu menjawab ucapan Ibu ku?!" Bentak Mas Herman dengan tamparan yang mengenai pipi kiri ku.
"Sudah cukup kesabaran ku Mas, dua tahun Kamu dan Ibu berlaku buruk padaku! Cepat kembalikan uang penjualan rumah Nenekku!" Bentakku, tak lagi bisa menahan amarah yang membuncah di dalam dada.
"Kur**g *j*r Kamu, berteriak di depan Ibuku! Lihat hukuman apa yang pantas untuk Istri pembangkang sepertimu!" bentak Mas Herman sambil menarik tubuhku dan mengunciku di dalam kamar mandi.
DOK DOK DOK!
"Mas, buka pintunya. Jangan kurung Aku di sini!" teriakku sambil memukul pintu kamar mandi. Usahaku ternyata sia-sia Mas Herman dan Ibu tak peduli dengan teriakan ku. Kudengar lirih percakapan mereka sambil makan dan tak berapa lama tak lagi ku dengar suara mereka.
Aku terduduk di lantai kamar mandi yang dingin. Air mata sudah kering berganti dengan amarah. Sabar yang ku tahan selama dua tahun belakangan ini, sekarang sudah tak bisa ku bendung lagi.
Setelah menikah, Mas Herman berniat menjual rumah Nenek untuk tambahan modal dan membeli motor untuk mengangkut sayur ke pasar. Tadinya Aku sempat ragu, tapi sebagai bentuk pengabdian ku padanya, Aku menyetujui permintaan Mas Herman.
Rumah Nenek hanya laku duapuluh juta rupiah, itu yang Ibu mertuaku bilang padaku. Itupun sudah habis untuk membeli motor dan sisanya untuk tambahan modal Mas Herman. Ternyata Aku salah besar, walau dapat tambahan modal Mas Herman tetap tak mengirim sayuran ke pedagang di pasar.
Setelah punya sepeda motor Mas Herman makin jarang di rumah, lebih sering main keluar. Banyak tetangga sebelah yang bercerita padaku, saat bertemu di toko. Waktuku habis untuk bekerja, dari jam lima pagi sampai jam lima sore. Dua belas jam ku habiskan untuk bekerja dengan gaji satu juta perbulan. Sehingga Aku tak tahu keseharian Mas Herman.
Sedangkan Ibu mertua, tinggal seorang diri di rumah peninggalan Bapak mertua. Bapak meninggalkan sawah dan kebun sebagai penghasilan sehari-hari Ibu. Sawah Ibu sewakan untuk di tanami padi, agar tak harus membeli beras, sedangkan Kebun Ibu tanami sayuran.
Seharusnya dengan gaji satu juta amat sangat cukup untuk kebutuhan karena hanya membayar listrik saja, tapi karena Mas Herman selalu meminta uang untuk rokok dan bensin, itu yang menyebabkan gajiku tak mencukupi, bahkan pernah baru dua Minggu sudah habis. Untungnya Koh Andi mau memberi pinjaman yang nantinya akan di potong saat gajian.
Entah sudah berapa lama Aku terkurung di kamar mandi ini. Rasa dingin mulai menusuk hingga ke tulang. Tubuh ini mulai menggigil kedinginan.
"Apa dinginnya kamar mandi sudah membuat otakmu menjadi waras?!" tanya Mas Herman sambil membuka pintu kamar mandi.
Bergegas Aku keluar dan menuju kamar untuk membereskan semua pakaianku.
"CERAIKAN AKU SEKARANG JUGA!"
"Jangan harap! Kamu lihat foto ini!" ucap Mas Herman sambil menunjukkan selembar foto yang telah usang.
"Apa maksud mu Mas?" tanyaku heran saat melihat foto kedua orang tua ku dengan menggendong dua bayi.
"Ha ha ha ha, Kamu penasaran kan? Kalau ingin tahu, syaratnya hanya satu tetap menjadi sapi perah untukku. Senangkan hatiku, agar Aku dengan rela hati membuka rahasia ini!" jelasnya dengan gelak tawa yang membahana.
"Aku tak peduli Mas, bisa saja itu bayi orang lain!" sangkal ku dengan suara ketus.
"Hahahaha, Kamu akan menyesal Fit, karena Kamu terlahir kembar. Hanya Aku dan Ibu yang tahu rahasia ini."
"Apa?! Bagaimana itu mungkin?" tanyaku tak percaya.
"Pergilah, Aku akan menertawakan kebodohanmu. Dan rahasia ini selamanya akan tetap menjadi rahasia!" ujarnya dengan senyum sinis tersungging dari bibirnya.
"Aku tak percaya Mas, ini hanya akal-akalan mu saja untuk mengancam ku agar tak pergi dari sini!" kilahku berusaha meyakinkan diri, tapi dari sorot mata Mas Herman tak kulihat kebohongan di sana.
"Herman benar, Aku saksi hidup saat kelahiran mu!" celetuk Ibu yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu.
"Apa maksud Ibu? Tolong beri tahu Fitri Bu!" ucapku memelas berharap Ibu mertua iba padaku
"Tetaplah di sini, dan cukupi semua kebutuhan Herman dari hasil kerja kerasmu. Terima takdirmu untuk selalu mengabdi pada Herman, Anakku!" perintah Ibu Mertua, yang sontak membuatku ternganga tak percaya.
"Tapi, sampai kapan Bu?" tanyaku dengan menahan isak, yang kupastikan sekejap saja akan berubah menjadi tangis.
"Seumur hidup pengabdian mu kurasa tak cukup untuk menebus rasa sakit yang kurasa karena ulah Ibumu!" tutur kata Ibu membuatku tersentak kaget.
"Kesalahan apa yang telah Ibuku perbuat hingga menyebabkan Ibu sakit hati?" tanyaku pelan.
"Cukup, tetap di sini dan mengabdi, maka Kamu dan kembaran mu akan baik-baik saja!" titah Ibu sambil berlalu meninggalkanku dengan ribuan tanya yang memenuhi benakku.
"Hahahaha, wanita bodoh dan mandul seperti mu sudah sepantasnya mendapatkan takdir hanya sebagai babu. Jadi jangan pernah bermimpi untuk lepas dari cengkraman ku!" ejeknya sambil tertawa terbahak.
Aku termangu, merenungi semua perkataan Ibu dan Mas Herman malam ini. Hingga malam telah larut pun Aku masih setia duduk di ruang tamu yang gelap. Mas Herman sudah terlelap sedari tadi meninggalkan Aku sendiri dengan segala macam fikiran yang memenuhi otakku.
Kenapa Nenek tak memberitahu ku, jika Aku terlahir kembar? Bahkan saat Bapak dan Ibu meninggal di tengah kobaran api yang membakar rumah Kami. Di mana saudara kembarku berada saat ini? Begitu banyak tanya, yang sama sekali tak ku temukan jawabannya.
Apa otakku begitu bodoh, hingga sama sekali tak menyadari akan sesuatu? Mas Herman yang sengaja menikahiku untuk membalas dendam sakit hati Ibu mertua pun, Aku tak menyadarinya.
Aku terus berfikir hingga tak kusadari entah sejak kapan diri ini mulai terlelap.
BYUUUR.
"A-apa yang Mas lakukan?!" pekikku kaget, saat air mengguyur sekujur tubuhku.
"Selain bodoh dan mandul, sekarang bertambah menjadi pemalas Kamu!" tegur Mas Herman.
🌿🌿🌿🌿🌿

Book Comment (170)

  • avatar
    SatriaAnak agung

    bagi sekali

    2d

    Β Β 0
  • avatar
    Zeson

    AAAA ENDINGNYA MEMBUAT KU KELEPEK-KLEPEKπŸ˜žπŸ˜žπŸ˜žπŸ‘ŒπŸ‘ŒπŸ‘Œ

    21d

    Β Β 0
  • avatar
    AinulSiti

    good

    16/08

    Β Β 0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters