logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Fotokan Aku Bersama Ibu

Kakinya terasa nyeri ketika Cahaya terbangun pagi ini. Ia menggeser tubuh hingga bersandar pada tembok kamar. Pandangannya menyapu sepasang kaki yang dibungkus celana training panjang warna navy. Kaki kanannya terlihat lebih besar dari biasanya.
Ia berteriak nyaring memanggil sang ibu. Membuat Nawan tergopoh-gopoh memasuki kamar. Cahaya menunjuk kakinya sambil menahan nyeri.
“Ibu kira kenapa," sahut Nawan sebal setelah mengetahui apa yang dijeritkan oleh putrinya.
“Tapi sakit, Bu.“ Rengekan itu hanya membuatnya makin mencibir.
“Cengeng," desisnya tanpa peduli perasaan Cahaya.
Nawan meninggalkan sang putri, lalu kembali sambil mengunyah sesuatu. Ia menarik kaki Cahaya, melepehkan sesuatu dari mulutnya lalu memborehkan ke kaki anaknya yang membengkak.
“Apa itu?! “ Cahaya berteriak jijik.
“Beras kencur,“ Nawan menjelaskan dengan mulut masih sibuk mengunyah.
"Ini bagus untuk bengkak-bengkak."
Selesai memborehkan beras kencur, ibunya meninggalkan Cahaya, lalu kembali dengan semangkuk bubur ayam. Cahaya menghabiskannya, lalu meminum obat, kemudian tertidur lagi sampai siang.
Begitu bangun, ia merasakan bengkak di kakinya sedikit mengempes.
Hm, manjur juga beras kencur lepehan ibunya itu.
***
Cahaya bernyanyi riang sambil merapikan warung. Ia duduk sambil menyelonjorkan kaki di depan etalase. Menyusun sabun batangan, shampoo dan pasta gigi. Ibunya memang payah dalam hal membereskan sesuatu.
Cahaya menuliskan sesuatu di selembar kertas. Barang-barang dagangan yang sudah hampir habis.
Seseorang menghentikan sepedanya di depan warung. Cahaya bergegas bangun. Sedikit meringis ketika lengannya yang lecet menyenggol sekarung beras di samping etalase.
“Hai, Cahaya," sapa orang itu riang. Cahaya tersenyum semringah. Melirik sekilas pada kaca etalase yang memantulkan wajahnya, lalu merapikan rambut diam-diam.
“Kudengar kamu kecelakaan semalam." Lelaki itu menyeringai lucu.
“Hanya jatuh dari motor kok. Mengantuk karena pulang kemalaman." Mereka berdua tertawa. Cahaya mengalihkan wajah, jengah melihat senyum manis lelaki berambut gondrong itu. Salman ikut salah tingkah.
Salman adalah teman sekolah Cahaya. Ketika gadis itu melanjutkan kuliahnya, Salman langsung bekerja di salah satu pabrik dekat rumah mereka.
“Oh ya, cari apa, Man?“ Salman menaikkan kedua alis. Hampir melupakan tujuan semula.
“Banyak." Ia mengeluarkan selembar catatan dari saku celana gombrong. Cahaya tersenyum melihat tulisan tangan khas Salman. Goresan penanya masih belum berubah.
"Banyak sekali. Ada acara apa?" tanya Cahaya sambil menyiapkan barang-barang dalam daftar.
“Iya. Akikahan anak Kak Mawar.“ Gadis itu teringat seorang perempuan gemuk berwajah mirip Salman yang begitu cerewet.
Cahaya mengambil kalkulator dan secarik kertas. Mulai menghitung.
“Sama itu, Ya ...“ Cahaya mengangkat wajah.
“Itu." Salman menunjuk ke arah belakang Cahaya. Sebuah lemari berisi tumpukan barang dagangan.
“Apa? Ini?“ Cahaya menunjuk sekotak plester penutup luka--yang sebenarnya lebih sering dihabiskan olehnya.
“Bukan. Itu ...“ Cahaya terus menunjuk setiap barang, yang selalu diikuti gelengan kepala Salman. Hingga akhirnya lelaki itu mengangguk mantap.
“Oh, kondom.“ Cahaya membesarkan suaranya. Sengaja menggoda.
“Iya, itu. Yang warna hitam, Ya.“ Salman menutupi wajah, pura-pura menahan malu.
“Bukan buat aku lho, Ya. Ini buat Bapakku.“ Salman menjelaskan ketika Cahaya menyerahkan barang tersebut yang dibalas dengan seringai geli.
“Buat kamu juga tidak apa. Sudah tahu cara pakainya kan?“ Cahaya masih senang mengusili.
“Apalagi?“
“Sudah."
"Yakin?“ Gadis itu mengernyitkan alis, tapi matanya bersinar geli.
"Tidak mau coba yang rasa buah-buahan?" Ia tertawa ketika Salman mengangkat leher kaus hingga menutupi seluruh kepalanya.
“Terima kasih," seru Salman lega setelah barang dan uang berpindah tangan. Ia mencantelkan plastik belanjaan ke setang sepeda. Sebelum pergi ia menoleh pada Cahaya lalu tersenyum sambil melambai.
Dan gadis itu masih tersenyum hingga tubuh Salman menghilang di kelokan jalan. Meskipun pada akhirnya lengkungan di bibirnya perlahan pudar.
“Kak Aya.“ Suara pelan itu menyadarkan Cahaya. Ia mengerjapkan mata, mencari-cari asal suara. Gadis itu tersenyum pada seorang anak kecil berumur tiga tahun yang hanya mengenakan kaus singlet dan cangcut berwarna oranye gonjreng.
“Beliii.“
“Beli apa, Tita?“ Anak itu terdiam, tersenyum malu-malu.
“Mau beli apa?“ ulang Cahaya. Anak itu masih tersenyum malu-malu. Menampakkan deretan gigi yang hitam-reges.
“Lupa," sahutnya dengan suara melindap. Cahaya tersenyum geli.
“Tanya Mama lagi, ya.“ Tita mengangguk, lalu berbalik. Cahaya tersenyum melihat anak itu dari belakang. Celana dalam oranye gonjreng bergambar Barbie terlihat kebesaran di pantatnya yang mungil. Ia berjalan keteplak-keteplok, memakai sandal kebesaran--mungkin milik ibunya.
Tidak lama Nawan kembali dari pasar. Membawa dua kantong besar belanjaan. Cahaya segera membongkar belanjaan sang ibu lalu mulai menyusunnya.
Ponsel Cahaya berbunyi ketika ia tengah memilah-milah barang di kantong plastik.
“Kenapa, Rel?“ tanya Cahaya begitu tahu siapa yang meneleponnya.
“Aku sudah keluar dari rumah sakit, Ay.“
“Oh ya? Selamat ya.“ Cahaya terkikik sementara Varel berdecak sebal.
“Lalu apa kata dokter? Otak kamu sudah kembali ke tempat semula?“ Cahaya terbahak mendengar geraman di seberang.
"Kamu bagaimana, Ay?"
"Aku sehat-sehat saja. Kamu sudah memberitahu Tante Yasmin?" Varel mengerang ketika Cahaya mengingatkan tentang hal itu.
“Belum. Aku tidak akan cerita apa-apa. Kamu kan tahu, bisa panjang urusannya kalau Mama sampai tahu." Cahaya menyeringai.
“Ya sudah ya, Ay.“ Varel menutup pembicaraan tidak penting mereka.
“Oke, bye.“ Cahaya menaruh ponselnya sambil menggeleng. Dalam hati bertanya, untuk apa sih Varel menghubunginya? Buang-buang pulsa saja.
“Beliii ...“ Tita kembali lagi sambil mengangsurkan uang seribuan.
“Beli apa, Tita?" Cahaya meraih uang dan selembar kertas yang disodorkan bocah kecil tersebut, lalu membaca tulisan di kertas itu keras-keras, “Terasi dua bungkus.”
Dan Tita pun tersenyum malu-malu.
***
Cahaya tidak menggubris ketika seseorang ikut berjongkok di sebelahnya yang sedang membersihkan motor.
"Dekil sekali," desis Varel sambil memerhatikan motor Cahaya diikuti tatapan sebal gadis itu. Ia tidak menjawab, hanya komat-kamit tidak jelas lalu melanjutkan kegiatannya.
"Sebaiknya kamu beli motor baru, Ay." Cahaya melirik sebentar.
"Sebenarnya ini motor baru. Baru dicuci. Tapi kemarin itu, entah kapan, ada teman yang meminjam. Mungkin dia belum ahli membawa motor. Dibawanya motor saya ini mencium truk," ucapnya kalem,
"Dan pemiliknya mencium aspal,” sahut Varel lalu tertawa keras sementara Cahaya memanyunkan bibir. Berkomat-kamit tidak jelas lagi.
Lelaki itu menyentuh sebuah goresan panjang di badan motor tersebut.
"Lecet parah, Ay?"
"Dari pertama beli juga memang sudah lecet. Namanya juga motor bekas. Jangan dipikirkan," sahut Cahaya sambil terus membersihkan badan motornya.
“Maaf ya, Ay.“
Cahaya memerhatikan Varel. Matanya memicing curiga. Ini seperti bukan Varel yang biasanya. Jangan-jangan kecelakaan kemarin betul-betul membuat kewarasannya kembali. Gadis itu hanya mengangkat bahu menyadari kemungkinan tersebut.
"Kalau kamu memang merasa bersalah, kamu boleh mentraktirku makan."
Varel terdiam sebelum menjawab, "Baiklah,"
Jawaban singkat itu betul-betul membuat Cahaya yakin, ada yang bergeser di otak Varel. Ia tahu, meskipun lelaki ini kaya, tapi ia sedikit ..., pelit.
Buktinya, selama ini ia menebeng motor Cahaya--bahkan mungkin bisa dibilang menjadikannya ojek pribadi, tanpa berniat mengganti uang bensinnya.
"Sudahlah, Varel. Aku hanya bercanda kok."
Kemungkinan perubahan sikap Varel akibat kecelakaan itu membuat Cahaya sedikit takut. Bagaimana jika kecelakaan kemarin membuat Varel berubah menjadi seorang ..., psycho?
Lelaki itu hanya mengangkat bahu. Tapi ia memang berniat mentraktir Cahaya kapan-kapan. Selama ini gadis itu selalu pasrah bila dimanfaatkan. Bolehlah sesekali membayarinya makan.
Pembicaraan tentang mentraktir berhenti sampai di sana. Varel baru teringat dengan benda yang dibawanya. Ia memeriksa lensa kamera tersebut.
“Buat apa bawa itu?“ tanya Cahaya sambil menoleh sekilas.
“Guna kamera untuk apa?“
“Foto,“ jawaban Cahaya terdengar bodoh. Membuat Varel menyeringai.
“Nah, itu tahu," sahutnya enteng lalu mulai membidik gadis di sebelahnya yang masih sibuk dengan urusan motor.
Mula-mula Cahaya tidak memedulikannya. Tapi lama-lama ia jengah mendengar bunyi klak-klik dari kamera di tangan Varel.
“Varel, stop!“ Cahaya membentangkan kain lap motor hingga menutupi lensa kamera.
“Bukannya kamu senang difoto?
“Iya. Tapi aku belum mandi. Masih jelek. Masih belekan. Napasku juga masih bau. “ Varel tertawa.
“Di foto nanti bau napasmu tidak akan tercium." Varel kembali mengambil gambar Cahaya yang sedang membersihkan motor. Membuat gadis itu melotot kesal sambil mengerucutkan bibir. Varel tergelak. Angle foto tadi sangat pas.
Nawan keluar dari rumah, sambil membawa termos berisi air panas, menuju warung. Kadang kala ada orang yang membeli kopi sambil minta diseduhkan. Varel menyapanya sekilas.
“ Sudah sembuh, Rel?“
“Sudah, Bu,“ sahut Varel sambil lalu, tak ada sungkannya lagi pada perempuan itu. Tiba-tiba Cahaya mendapat ide cemerlang.
“Fotokan aku bersama ibu dong, Rel." Permintaan gadis itu membuat Varel mencibir.
“Kalau memfoto ibu, aku masih mau, tapi kalau kamu..., bayar dulu deh." Cahaya mendengus sebal. Ia tidak sempat membalas karena ibunya memanggil. Menyuruh mereka makan. Cahaya menatap lelaki di sebelahnya dengan malas.
“Segera menuju dapur, Bu.“ Varel menyahut antusias.
"Ayo, Ay. “ Ia merangkul pundak Cahaya tapi langsung menjauhkan wajahnya.
“Ternyata memang bau.“ Ucapan itu dibalas dengan pukulan tanpa ampun.
Selesai makan, Cahaya memutuskan segera mandi. Ia bosan mendengar ledekan Varel tentang bau tubuhnya. Meskipun Cahaya tahu, lelaki itu hanya sekedar menggoda.
Sambil membersihkan tubuh, gadis itu merenung. Ia tidak habis pikir dengan selera makan Varel. Lelaki itu hampir menghabiskan persediaan nasi dan lauk mereka hari ini.
Cahaya heran, mengapa sang ibu tidak pernah kapok mengajak Varel untuk makan bersama mereka. Ah, ibunya memang baik hati. Ia pasti tidak tega melihat kelakuan Varel yang seperti tidak bertemu nasi tiga bulan.
Gadis itu pun bersyukur, ibunya tidak memiliki anak dengan nafsu makan gila seperti Varel.
Mau tidak mau ia harus bersimpatik pada Tante Yasmin. Perempuan itu pasti bersuka cita ketika anak bungsunya memutuskan tinggal di apartemen, sehingga bisa mengurangi jatah beras mereka.
Lelaki yang tengah dipikirkan Cahaya hanya tersenyum ketika melihatnya keluar dari kamar mandi.
“Wah, cantik sekali.“ Cahaya tidak membalas. Ia menjemur handuk lalu duduk di sebelah Varel. Lelaki itu sedang duduk sambil meluruskan kaki.
Cahaya heran, dengan nafsu makan yang segila itu, Varel masih memiliki postur tubuh yang lumayan. Ia mungkin tidak memiliki perut sixpack macam lelaki macho lainnya. Tapi dengan tubuh tegap, bahu lebar, dada bidang, dan perut yang tidak buncit, yang Cahaya tebak dari balik kaus yang dikenakan, orang tidak akan menyangka nafsu makan Varel yang bar-bar.
Cahaya sungguh prihatin pada gadis-gadis yang antri mencari perhatian Varel. Seandainya mereka tahu sifat lelaki ini yang sebenarnya ...
Suara tahak Varel menyadarkan Cahaya. Lelaki itu menyandarkan punggung ke tembok. Membuat Cahaya makin prihatin pada para gadis polos penggemar Varel.
"Boleh tidak, Ay, aku menumpang hidup di sini? Cukup beri makan aku tiga kali sehari." Varel memejamkan mata sambil mengipasi diri dengan kipas bambu. Seakan menikmati hidup.
Tapi ia menjerit ketika Cahaya memukul pahanya keras-keras.
“Kamu bilang mau fotokan aku bersama Ibu.“ Cahaya mengibaskan tangannya. Ikut meringis kesakitan.
"Kamu perempuan aneh paling kasar yang pernah aku temui." Varel mengusap pahanya sambil bersungut-sungut. Membuat gadis itu menyeringai aneh.
“Maaf, Rel. Itu gerak refleks. Kalau di dekat kamu bawaannya ingin mukul, nabok, nendang, nampol… “ Cahaya tertawa melihat raut kesal di hadapannya.
“Ayolah.“ Gadis itu menarik Varel yang terlihat enggan.
***
Nawan langsung sibuk berdandan begitu anaknya memberitahu. Perempuan itu bahkan mengganti bajunya dengan baju yang paling bagus.
Cahaya tertawa melihat dandanan ibunya. Tapi ia langsung meronta begitu Nawan menariknya untuk di make up juga. Varel menyemangati penuh semangat. Tapi lelaki itu tertegun setelah melihat hasil akhirnya. Bahkan sejenak melupakan napas ketika gadis itu berdiri di hadapannya sambil menggerutu.
Cahaya bertolak pinggang sambil memanyunkan bibir mungilnya yang berlipstik manis. Ia menunjukkan kepalan tangannya. Mencoba mengancam lelaki itu jika berniat mencela. Tapi Varel tidak berkomentar apa-apa. Malah cenderung berubah pendiam selama sesi pemotretan itu.
Entah kemasukan jin apa lagi lelaki satu itu. Cahaya bertanya-tanya dalam hati.
***

Comentário do Livro (42)

  • avatar
    BotakGopal

    trimakaih

    6d

      0
  • avatar
    YaomiYaomi

    good

    8d

      0
  • avatar
    GUNAWANHENDRA

    bgus

    22d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes