logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Pestamu adalah dukaku

~~~***~~~
Ayu memejamkan matanya meresapi lirik lagu dangdut yang mengalun pelan dari ponselnya. Airmatanya menetes, merembes bulu-bulu matanya. Ingin rasanya ia terus menutup matanya dan melupakan hari yang membuatnya lara ini. Yeah, ini adalah hari bersejarah untuk Irfan dan Desi karena ini adalah hari pernikahan mereka.
Tak ada seorangpun yang ingin nasib percintaannya kandas di tengah jalan, apalagi terganjal restu calon mertua. Semua ingin hubungannya lancar, baik dengan pasangannya maupun dengan calon mertua. Ayu pun ingin hubungannya langgeng sampai pernikahan. Sayang, pertikaian diantara kedua orangtua mereka memupus mimpinya.
Pernikahan Irfan dan Desi digelar dengan sangat meriah. Pedagang es krim, bakso atau somay yang disewa untuk memanjakan lidah para tamu undangan, sudah berjejer dari pagi. Tenda yang terpasang pun nyaris mencapai 5 meter, memenuhi badan jalan. Panggung dangdut dengan para biduanitanya yang sexy, semakin menambah semarak suasana. Suara mereka yang merdu bahkan terdengar sampai ke desa tetangga. Betapa meriahnya pesta pernikahan mereka. Desi pasti bahagia sekali menjadi istri juragan kambing.
Ayu menyeka hidungnya yang terus berair meratapi nasib percintaannya yang malang. Entah sudah berapa tisu yang terpakai dan ia kumpulkan di atas meja. Selang beberapa menit ia menangis, suara lagu dangdut lain yang tak kalah kencang, berasal dari tempat hajatan mengalahkan suara musik di ponselnya. Seakan ingin mentertawakan nasibnya yang juga tak kalah ngenes.
Ayu melempar headphonenya ke tembok mengeluarkan bunyi 'krak karena benturan tersebut. Sorot mata gadis itu berubah tajam. Ia sudah tak tahan lagi. ia tidak bisa terus begini. Secepatnya ia harus melupakan Irfan yang kini sudah menjadi suami sah mantan sahabatnya.
Kakinya beranjak menuju lemari dan mengeluarkan sebuah kotak lantas melemparnya ke lantai. Kotak yang berisi semua barang-barang pemberian Irfan itu berhamburan ke lantai. Tekadnya sudah bulat. Ia akan membakar semua kenangan manis diantara mereka sampai tak bersisa.
Ada gelang yang dibelikan Irfan saat mereka naik paralayang dulu, baju diving saat mereka arung jeram di cai gede, sepatu kets couple saat ngetrack di Giri mukti, obat biru saat ia terluka saat memetik palawija, bahkan sampo khusus memandikan kambing kesayangannya pun ada. Ada kaos couple hitam yang dibeli di pasar malam, topi, kalung dan acesories lainnya. Foto-foto kebersamaan mereka pun masih tersimpan rapi disitu. Melihat sekilas pun, Ayu bisa merasakan ketulusan cinta Irfan disana. Tidak pura-pura seperti yang Desi tuduhkan.
Tubuhnya bergetar. Melihat semua kenangan ini, sesak di dadanya semakin menjadi-jadi. Bagaimana ia bisa melupakan Irfan sedang kenangan manis diantara mereka seperti udara yang ia hirup. Ia tidak bisa hidup tanpa Irfan. HIkss...
Ia tak punya pilihan. Semua ini harus diakhiri. Ayu beranjak mengeluarkan sebuah botol obat yang selalu ia simpan di lacinya. Obat yang ia kira takkan pernah ia minum lagi. Nyatanya, setelah Irfan meninggalkannya ia masih tetap meminum obat berbahaya ini. Airmatanya kembali menetes. Selamat tinggal a Irfan!
Ditelannya dua butir obat itu dengan bantuan segelas air minum yang selalu tersdia di atas mejanya. Baru saja Ayu selesai meminum obat itu, Emaknya berteriak memanggilnya.
"Neng ... Neng!"
Ayu terkesiap. Bisa bahaya kalau emaknya melihat betapa kacaunya dirinya. Buru-buru Ayu mendorong kotak memori itu ke bawah ranjang, memasukkan semua tisu bekas ke plastik lalu menyembunyikannya di dalam laci. Setelahnya, ia membanting tubuhnya ke atas kasur dan berpura-pura tertidur. Semua ia lakukan secepat kilat dan berharap emaknya tak menaruh curiga. Tak lama pintunya terbuka.
Krieett...
Emak memanggilnya lagi sambil berjalan ke arah Ayu yang sedang selimutan tidur di kasur.
"Mau kondangan ke si Irfan, gak?" Tanya Emaknya sambil menarik bantal yang menutupi wajah Ayu.
Ia berdecak melihat kacaunya muka Ayu. Matanya merah dan bengkak, hidung meler, bantal yang basah dan bekas air mata yang mengering dipipinya. Ckckck ... patah hati sekali anakku !
"Ya nggak lah, Mak. Males amat liat kawinan mereka. Mendingan tidur."
"Cuci muka sana. Jelek banget mukanya nangis terus."
"Siapa yang nangis sih sih, biasa aja."
Emaknya berdecak mendengar kebohongan anak semata wayang kesayangannya.
"Emak bukan anak kemarin sore yang bisa kamu bohongin. Bengkak itu matamu kelihatan jelas."
Ayu mengusap wajahnya. Kenapa sih Emaknya selalu tahu kalau ia berbohong?
"Tunjukin dong kalau kamu bisa hidup tanpa si Irfan, kayak gak ada cowok lain aja. Lagian Emak mah sampai kapan juga gak mau besanan sama dia. Sebel sama orangtuanya. Panasan, gak mau kalah sama orang lain, huh," Cerocos Emaknya panjang lebar membuat Ayu bungkam.
Ayu memang tahu keburukan sipat orangtua Irfan yang tidak mau kalah oleh siapapun, baik itu dalam hal materi atau status sosial. Tapi Irfan tidak seperti mereka. Irfan itu laki-laki pekerja keras, tidak gampang panasan, chuek, dan paling penting, ia yang paling tulus cintanya dibandingkan pacarnya yang lain. Yah, meskipun sipatnya terlalu posesif dan selalu mengekangnya.
"Tapi a Irfan mah gak gitu, Mak. A Ifan mah baik. Ke Neng ngejaga banget. Buktinya ga pernah macem-macem selama pacaran." Ayu meringis, ia lupa Irfan nyaris melecehkannya saat ia menolak diajak kawin lari.
"Sebaik apa pun anaknya, kalau sudah nikah mah, pasti orangtua ada ikut campurnya. Sampe sekarang bapakmu sama bapak dia rebutan air di sawah tiap musim katiga, rebutan pembeli domba, rebutan pengen keliatan bagus depan orang. Bencinya juga udah ngakar sampe ulu hati. Kalau ga malu sama orang, Emak males kondangan. Mending minum kopi sambil makan bakwan di rumah. Benci kamunya jadi omongan orang orang gara-gara kamu ditinggal kawin. Disangka cewek gak bener. Kasian Ayu.. ditinggal mantannya nikah, mana nikahnya sama teman dekatnya. Pengen emak remes aja tuh mulut yang ngomongin kamu."
Tes ... air mata Ayu kembali menetes seakan tak ada habisnya. Padahal ia sudah menangis semalaman. Nyatanya, stok airmatanya masih banyak saja.
Emaknya benar. Tentu saja ia tahu tatapan menghakimi atau mengasihani orang-orang semenjak tahu kekasihnya menikah dengan orang lain. Padahal mereka berpacaran selama 5 tahun, bolak-balik antar jemput Ayu tiap hari. Tapi menikahnya dengan orang lain. Makanya jangan kelamaan jagain jodoh orang, Neng !
"Mak, Ayu mau ngerantau ke kota. Siapa tahu kalau jauh, Ayu bisa lupa. Boleh ya?" kata Ayu parau.
"Iya. Mending di kota dulu aja, nenangin pikiran dulu. Ntar ikut si Sri, adek Emak di Jakarta. Tapi sambil kerja jangan cuman maen doang."
"Iya atuh, Emak. Masa Ayu maen doang, malu sama yang ditumpangin."
"Ya udah. Sekarang mah Neng tidur aja biar lega, Emak juga ngantuk, mau tidur." Suara Emaknya serak, seperti menahan tangis. Emak berpura-pura menguap dan mengucek matanya.
Ayu bangkit dari tidurannya dan memeluk emaknya, terharu.
"Mak, Ayu janji ini bakal jadi airmata terakhir. Ayu gak bakalan nangisin a Irfan lagi. Dan Ayu bakal kasih Emak calon menantu yang lebih baik dari a Irfan." Ayu merasa dadanya sesak melihat wajah sedih emaknya.
"Harus atuh, Neng. Neng itu kan cantik, kembang desa kampung ini. Banyak yang naksir sama Neng. Neng aja suka gak nyadar. Kemaren si Joko, anak pak Mud, nanyain Neng ama siapa sekarang? Emak bilang aja lagi sendiri, gak lagi sama siapa-siapa."
Ayu mendengus, kesal." Awas kalau Emak nyodor-nyodorin Neng kaya gitu lagi. Neng belum pengen nikah. Masih pengen bebas ah."
Emak tertawa," iya nggak atuh. Udah tidur sono. Emak juga mau tidur siang. Ngantuk." Kata emanya sambil beranjak keluar, sesekali tangannya menyusut matanya yang meneteskan airmata membuat Ayu terharu dengan besarnya kasih sayang orangtuanya yang takkan pernah bisa ia balas sampai kapanpun. Neng sayang banget sama Emak!
Ayu memejamkan matanya, mencoba kembali tidur. Nyatanya tidak segampang itu. Suara musik hajatan yang mungkin sengaja di volume sangat kencang untu membakar emosinya membuatnya terjaga. Ia menangis tertahan merenungi nasibnya. Seandainya Irfan bukan terlahir sebagai anak keluarga Suherman, mungkin sekarang ia-lah yang berada di pelaminan bersamanya dan mereka bisa bahagia selamanya.
Keluarga Dicky Suherman, ayah Irfan dan keluarga Maman Sulaeman, ayahnya bermusuhan sejak mereka mulai menggeluti dunia usaha ternak domba dan sawah. Mereka seakan saling bersaing menunjukan pada warga bahwa mereka paling hebat, paling kaya dan paling berpengaruh di kampung leuwi jurig itu.
Sejak masih berteman sampai akhirnya pacaran pun, tak pernah sekali pun kedua orangtua mereka merespon bahkan cenderung mengabaikan dan menolak kebersamaan mereka. Itu lah sebabnya mereka pacaran backstreet dan berapa kali putus nyambung karena mereka menyadari, tak ada harapan untuk masa depan mereka. Tapi cinta membutakan segalanya. Selalu saja mereka kembali lagi bersama meski akhirnya masa itu berakhir sudah. Karena kini Irfan resmi menikah dengan Desi, mantan sahabat dekatnya yang bisa setega itu menikungnya.
"Mungkin emang harus ngadu nasib di kota aja biar gak gila karena inget kamu terus."
Ayu memejamkan matanya saat kantuk hebat mulai menyerangnya. Sepertinya obat tidurnya sudah mulai bereakasi. Selamat tinggal Aa! Semoga kamu bahagia.
Tak ada yang tahu di pelaminan sana, Irfan berkali-kali menekan dadanya yang sakit karena tak menyangka sesakit ini rasanya meninggalkan Ayu. Senyumnya hambar tak seperti senyum bahagia Desi yang menguar ke tamu undangan membuat semua orang mengira mereka pasangan yang sedang berbahagia.
Namun tak lama, bibirnya membentuk seringai kecil saat sebuah rencana terlintas di benaknya.
~~~***~~~

Comentário do Livro (6)

  • avatar
    RahmawatiFitri

    keren ka ceritanya minta lanjutin

    01/08

      0
  • avatar
    MiftaMifta

    keren banget

    09/02

      0
  • avatar
    FitrianiWina

    ceritanya kerennn😍

    12/03/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes