logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

BAB 5 Persiapan Arin

Arin berjalan menyusuri ruangan demi ruangan kantor itu hingga sampai di pintu gerbang utama. Sesampai di pos security dia minta izin untuk keluar dari rumah sekaligus perusahaan tuan Acung.
Sesampai di seberang jalan tak lupa dia mampir ke warung mpok Maryam untuk sekedar mengucapkan terima kasih dan membeli makanan dan minuman.
Karena jam makan siang, terlihat begitu ramai warung mpok Maryam hingga Arin mengurungkan niatnya untuk menemuinya. Dia memilih kembali menyeberang jalan dan menunggu angkot oren untuk pulang ke rumah paman dan bibinya yang sudah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri.
Kiri-kiri, Bang...teriaknya setelah terlihat olehnya gang setapak menuju rumah paman dan bibinya.
‘’Ini ongkosnya Bang, terima kasih,’’ucapnya sembari menyodorkan uang sejumlah delapan ribu rupiah.
‘’Terima kasih kembali, Neng,’’ucap kernet ramah. Arin balas mengangguk dan tersenyum ramah.
Arin turun dari angkot, menyusuri jalan setapak menuju rumah bibinya dengan riang gembira. Dia merasa bersyukur besok mulai bekerja dengan fasilitas yang lumayan banyak. Tak sabar dia ingin memberitahukan kabar bahagia ini kepada bibi, paman dan tentu saja ibu dan adik-adiknya di desa.
Sesampai di depan pintu terlihat bibi Isah sedang menyapu teras.
‘’Assalamu’alaikum Bibi,’’sapanya ramah.
‘’Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,..sudah pulang kamu,Rin..kelihatannya ceria amat ini?’’ balas bibinya.
Bibi Isah melihat sikap Arin yang nampak ceria, dia bisa menduga-duga apa yang didapatnya hari ini sehingga dia begitu. Walaupun dalam hati bi Isah tetap merasakan khawatir. Desas-desus tentang penyebab meninggalnya si Ndun semakin santer terdengar. Ketika tadi pagi dia pergi ke pasar di desa sebelah untuk belanja kebutuhan dapur, hampir setiap orang yang dikenalnya membicarakan tentang peristiwa tragis yang menimpa si Ndun, karyawan bagian administrasi yang tergolong karyawan baru.
Belum genap satu bulan si Ndun bekerja di perusahaan tuan Acung, hingga dia suatu pagi ditemukan tergeletak di dapur dekat kamar nomor 13 yang ada di sana. Berdasarkan visum Dokter yang dihubungi pihak kepolisian terungkap meninggalnya si Ndun karena serangan jantung padahal menurut keterangan hampir seluruh anggota keluarganya, Ndun sebelumnya baik-baik saja selalu menerapkan berbagai macam cara hidup sehat dan tidak terdeteksi memiliki riwayat sakit jantung.
Sejak kabar meninggalnya si Ndun tersebar di seantero kota, santer terdengar berita kalau meninggalnya karena melihat penampakan hantu menyeramkan peliharaan tuan Acung. Banyak warga sekitar sana yang diam-diam ternyata menyimpan cerita seram mengenai penampakan makhluk tak kasat mata di kompleks mess perusahaan tuan Acung.Tidak hanya satu dua orang yang bercerita kalau dia pernah mendengar suara-suara aneh dari balik jendela kamar nomor 13 yang kebetulan bersebelahan dengan jalan setapak di kompleks perumahan.Bahkan ada warga yang melihat seperti ada perempuan berambut panjang dengan mata merah menyala terlihat menatap tajam kepadanya yang kebetulan jelang Maghrib melintas di jalan sebelah kamar itu.
Jelas saja kabar itu semakin membuat bi Isah cemas memikirkan kemenakannya yang akan bekerja di bagian Administrasi menggantikan si Ndun.Namun ketakutannya berusaha dia tepis jauh-jauh. Pikiran-pikiran buruk berusaha dia hilangkan setelah paman Badrun suaminya memberinya nasehat panjang lebar.
Senja mulai menjelang, malam bergulir pelan. Binatang malam mulai terdengar sahut menyahut menyambut datangnya malam. Di langit terlihat mendung mulai menggelayut, sesaat kemudian hujan rintik-rintik turun membasahi bumi.
Selesai melaksanakan kewajiban 3 rakaatnya berzikir dan berdoa, Arin kemudian melepas mukena dan melipat rapi sajadahnya. Gegas dia ambil koper yang setahunan ini tergeletak begitu saja di sudut kamarnya.
Reeet...terdengar suara roda koper itu berdecit ketika dia mendorongnya mendekati lemari pakainnya. Hati-hati dia membukanya, mengambil beberapa lembar pakaian dan keperluan wanita lainnya di lemari, meletakkannya di kasur dan mulai menatanya kembali ke koper yang terlihat sudah terbuka olehnya.
‘’Kamu benar-benar yakin mau bekerja di perusahaan tuan Acung, Rin?’’ tanya bi Isah kepada Arin yang terlihat bersiap-siap memasukkan beberpa lembar pakaian dan keperluan lainnya di tas koper miliknya.
‘’Iya Bi..ini yang kutunggu-tunggu sejak lama..Arin pengin kerja, biar dapat duit, bisa buat bantu-bantu,’’sahutnya ceria.
‘’Tapi kamu tetap tidak boleh pulang setiap harinya?’’ tanya bi Isah lebih lanjut.
‘’Iya, Bi..Arin cuman dapat jatah libur sebulan sekali, itupun cuman Sabtu Minggu, Seninnya sudah harus balik ke sana sesuai sift kerjanya,’’penuh semangat Arin memberikan penjelasan.
‘’Tidak apa-apa ya Bi...toh sekarang sudah zaman canggih, tidak ketemu langsung kan bisa teleponan atawa video call’an. Izinin Arin untuk kerja ya Bi,’’katanya lebih lanjut.
‘’Tapi kamu sudah telepon ke ibu dan adik-adik ngabarin besok kamu sudah mulai kerja di perusahaan tuan Acung, kan? Nada kekhawatiran mulai nampak dari ucapan bibinya.
‘’Ini nanti niatnya Bi, setelah Arin selesai siap-siap,’’jawab Arin yang masih terlihat sibuk menata kebutuhannya di koper.
‘’Paman ke mana, Bi?’’ tanyanya sejurus kemudian.
‘’Pamanmu ke masjid desa sebelah Rin, hari ini ada jadwal ngisi pengajian di sana..tadi sebenarnya mau ikut, tapi Bibi lihat kamu mau siap-siap besok berangkat kerja jadi urung.’’
‘’Waaah maafin ya Bi, gara-gara Arin Bibi jadi tidak bisa ikut ngaji sama Paman,’’katanya penuh sesal.
‘’Tidak apa-apa Rin, kan masih bisa lain kali,’’sahut Bibinya penuh kasih sayang.
Yaaa di samping pekerjaan utamanya sebagai security di Dinas Kesehatan di kotanya, paman Arin sering diberi tugas oleh Takmir untuk mengisi pengajian di masjid sekitar desa Sukadamai. Meski tergolong hidup sederhana, namun ternyata ilmu Agama yang dimiliki sungguh luar biasa. Beliau lulusan pondok pesantren terbesar di Jawa. Hingga tak heran paman Badrun menjadi salah satu tokoh Agama yang disegani di daerahnya.
Kehidupan rumah tangga paman dan bibinya tergolong harmonis. Hampir satu tahun lamanya Arin menumpang hidup di sana, belum pernah sekalipun terlihat pertengkaran di antara keduanya. Pun dengan anak semata wayang mereka, Nia Putri Kinasih. Mereka terbiasa saling sayang penuh perhatian antara satu dengan lainnya. Komunikasi senantiasa lancar, bila ada selisih pendapat selalu mereka selesaikan dengan jalan musyawarah. Hingga tak heran ketentraman dan kedamaian senantiasa nampak di keluarga tersebut.
Malam menjelang, terdengar suara Adzan Isya’ berkumandang.
‘’Yuuuk Rin, kita berjamaah salat Isya’ dulu..kamu juga belum makan malam kan?’’ suara Bibinya memecah kesunyian.
‘’Ya Bi...sebentar lagi ini kelar...Bibi ambil wudu dulu nanti Arin nyusul,’’ gegas Arin menyelesaikan pekerjaannya.
‘’Ya Rin, Bibi ambil wudu dulu yaaa..segera nyusul ke ruang salat..kita berjamaah lanjut doa bersama,’’sahut Bibinya seraya beranjak keluar dari kamar Arin.
Selesai melaksanakan salat Isya berjamaah, berzikir dan berdoa mereka beranjak dari tempat salat, Arin makan malam sembari ditemani bibinya. Bik Isah seperti merasa berat untuk melepas Arin bekerja di perusahaan tuan Acung. Tak sekejap pun dia beranjak dari sisi Arin hingga terdengar seseorang mengucapkan salam
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...terdengar suara seorang laki-laki di luar rumah yang ternyata paman Badrun yang baru saja pulang dari masjid.
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh...hampir serempak mereka menjawab salam itu.
Nampak dari balik pintu paman Badrun melangkah hingga berhenti di ruang makan tempat Arin dan istrinya berada.
‘’Looo sudah jam segini baru makan, Rin...tadi tidak bareng sama bibi dan Nia makan sekalian?’’ sapa pamannya.
‘’Iya nich Bang, katanya belum lapar,’’timpal bibinya.
‘’Jangan telat makan Rin, nanti keterusan jadi sakit looo,’’kata pamannya mengingatkan.
‘’Iya paman, tadi Arin keasyikan menata baju-baju yang mau dibawa ke tempat kerja,’’kata Arin lebih lanjut.
‘’Oooh kamu jadi mau kerja di perusahaan tuan Acung?’’
‘’Sudah benar-benar mantap, begitu?’’tanya pamannya.
“Tadinya biar Arin mikir-mikir lagi, gitu Bang...jangan langsung mantep mau kerja di sono,’’kata bibinya dengan nada khawatir.
“Laaa emangnya kenapa Bi, Arin harus pikir-pikir lagi?’’ tanyanya penuh penasaran.
‘’Lagian Arin kan masih bisa pulang ke sini sebulan sekali,’’sahutnya penuh kemantapan.
‘’Kalau memang kamu sudah mantap mau kerja di perusahaan tuang Acung, kami sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu Rin, hati-hati di sana...tetap perteguh iman jangan pernah goyah oleh apapun juga. Di manapun berada kamu harus tetap ingat Yang Maha Kuasa, selalu berdoa dan tetap waspada,’’petuah pamannya panjang lebar.
‘’Insyaa Allah Arin akan tetap ingat pesan paman bibi, terima kasih sudah penuh perhatian selama ini,’’sahut Arin penuh haru.
‘’Kak Arin jadi mau kerja di tempat tuan Acung..ngga takut apa?’’tanya Nia sepupunya yang tiba-tiba muncul dari kamarnya dan menghampiri ikut duduk di ruang makan.
‘’Iya De, besok inih mau berangkat ke sana pagi-pagi, doakan Kakak juga ya..’’
‘’O keee deh Kakak...selalu hati-hati di sana ya..kalau sudah gaijian jangan lupa traktir Arin makan-makan di Cafe n Resto sono noooh,’’katanya sembari memonyongkan mulutnya lucu.
“Huuus...jangan diganggu Kakakmu, Nia..doakan yang terbaik saja, jangan minta yang macem-macem,’’bibinya menyela.
‘’Iyyaaa deh...cuman bercanda kok...heheheee...’’sahut Nia kenes.
Serasa mau berpisah jauh dan untuk waktu yang lama mereka ngobrol sampai jarum jam di dinding menunjukkan pukul 21:45 menit.
‘’Eeeh sudah malam Anak-anak...segera pergi tidur...katanya Arin besok mau berangkat pagi?’’ bibinya mengingatkan.

Comentário do Livro (147)

  • avatar
    AzisAbdul

    wow

    8d

      0
  • avatar
    FauziahNada

    menarik

    03/08

      0
  • avatar
    Ayam RacerKentut

    woow

    28/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes