logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Siapa yang Menantangmu Mas?

Aku terdiam sambil berpikir keras. Aku masih belum bisa menerima potongan semena-mena itu. Bagiku seratus ribu sangat berarti. Lagian, bu Broto membeli cincin pernikahanku jauh di bawah harga toko.
Tapi, kalo kujual ke toko, kuitansi pembeliannya belum ketemu. Mau tanya mas Jono, nanti malah ribut dan ketahuan menjual cincin.
“Gimana, jadi nggak? Habis ini aku mau ke salon sudah ditunggu pelanggan mau rias pengantin.”
“Baiklah, Tante.” Kuserahkan cincin itu ke bu Broto dengan berat hati.
“Nih, tak kasih buku tabungannya. Nanti dikira tante suka nilep uang sembarangan.”
Kena juga aku oleh sindiran bu Broto. Aku mencoba bersikap seakan semuanya baik-baik saja.
“Nggak kok, Tan. Bagiku itu justru membantu. Mana ada orang minjem tanpa agunan, Iya Kan Tante? Makasih Tante udah dibantu.”
Bu Broto hanya tersenyum tipis. Namun bagiku seperti menyeringai.
Sesaat kusadari apa yang baru kuucapkan jauh dari apa yang kuinginkan. Namun apa boleh buat, namanya orang kepepet, terkadang harus mengenyahkan idealisme meski hanya sesaat saja. Ternyata menjadi pura-pura bahagia itu menyiksa juga, semoga tidak keterusan saja ya? Selorohku dalam hati.
Kutinggalkan rumah bu Broto ketika pintu garasi mobil mulai terbuka. Kulihat ada lelaki muda tampan yang menyalakan mobil Juke dalam garasi. Baru kali ini aku percaya dengan selentingan warga kampung.
Ternyata benar, bu Broto punya hubungan dengan lelaki lebih muda.
Meskipun sudah diketahui warga, bu Broto nyaman aja menjalani hubungan itu. Ketika suatu hari pak RT menanyakannya, bu Broto mengaku sudah menikah siri. Namun yang membuat heran warga kampung, saat anak tunggalnya pulang kuliah dari luar kota, suami sirinya itu tiba-tiba menghilang entah kemana. Dan anehnya,kembali lagi saat anak tunggalnya berangkat kuliah lagi.
Ups ... kok aku jadi kepikiran bu Broto ya? Astagfirullah, aku meninggalkan Rara sedirian di rumah. Kukayuh cepat sepedaku ke rumah.
Tak berapa lama telah sampai di jalan gang rumahku. Jantungku terasa mau copot ketika kulihat motor mas Jono terparkir di depan rumah.
Semoga tidak ada pertengkaran lagi pagi ini. Tapi aku nggak bisa membohongi diri sendiri. Pasti ada sesuatu yang buruk menimpa mas Jono.
Jantungku semakin berdetak lebih keras dan lebih kencang dari biasanya. Mungkinkah mas Jono terkena PHK, sama seperti lima tetangga rumah yang sudah duluan? Atau mas Jono memilih resign karena sudah tidak kerasan dengan bos barunya yang sering marah-marah tanpa sebab?
Sepeda kutaruh di teras rumah. Aman, batinku. Tak kudengar suara Rara menangis. Mas Jono juga tidak berteriak atau mengumpat kasar seperti biasanya ketika tidak mendapatiku di rumah.
Aku merasa heran, sepi di ruang tamu. Oh, mungkin Rara lagi main game pake hape mas Jono. Namun betapa terkejutnya aku ketika kutengok kamar tidur. Rara diam terduduk di pojok dinding dengan kepala berdarah di bagian belakangnya.
Sementara kulihat mas Jono sibuk memunguti serpihan hape yang pecah berserakan.
“Astagfirullah! Rara kenapa? Bangun Nak!”
Mas, apa yang telah kau lakukan pada Rara, Mas Jawab!” aku berteriak seperti kesetanan. Darahku seakan mendidih sampai ke ubun-ubun. Segera kudekap Rara dan memeriksa seluruh badannya yang terasa basah dan hangat.
“Ayo jawab Mas!”
“Aku nggak ngapa-ngapain!”
“Terus kenapa Rara pingsan?”
“Tadi tanpa sengaja aku mengibaskan lengan karena Rara mau rebut hape.”
“Tega benar sama anak, gara-gara hape anak sendiri digampar.”
“Hei, jaga ucapanmu ya? Terus kalo hape rusak siapa yang tanggung hah? Semua laporan pekerjaanku ada di situ. Kalo sampai data-datanya hilang, awas ya?”
“Loh, kok malah ngancam, begitu! Dikira aku takut Mas?”
“Kamu berani nantang, ya?”
Mas Jono mulai terlihat emosi. Saat Mas Jono hendak menamparku tetiba bel rumah berbunyi
“Maaf mbak Suci, ada apa ya? Kok tadi saya dengar Rara menjerit dan menangis!”
“Aku nggak tahu kejadiannya, Lin. Tiba-tiba kudapati Rara pingsan.”
“Kalo boleh tahu, Rara kenapa ya Mas?”
Mas Jono yang mendadak ditanya Lina, mati kutu. Jujur, sejatinya Mas Jono akan mengusir Lina karena telah lancang mencampuri urusan orang lain. Namun, niatnya urung ketika dilihatnya beberapa tetangga ibu-ibu juga ikut masuk.
Merasa dirinya tersudutkan oleh keadaan, Mas Jono memilih melarikan diri. Mas Jono menyalakan motornya dan memacu entah ke mana. Mungkin yang ada di benaknya, minimal bisa menghindar diri dari interogasi keamanan kampung dan pak RT.
Mungkin dalam beberapa hari lagi Mas Jono akan kembali. Entahlah, aku tak tahu dan pasrah dengan kelakuan Mas Jono.
Lina dengan cepat menelpon rekan sejawatnya untuk mengirim ambulan ke rumah.
“Sabar ya, Mbak!” Lina coba menjaga kesadaranku.
Aku hanya bisa terus beristigfar. Kudekap Rara semakin erat.
“Ya Allah jangan ambil Rara secepat ini! Ampunilah dosaku ya Allah! Aku berjanji untuk bisa menjaga Rara lebih baik lagi ya Allah. Berilah kesempatan sekali lagi ya Allah! Bangun sayang, ibu sayang sama Rara,” bisikku pelan ke telinga Rara.
Dari kejauhan kudengar sirine mobil ambulan semakin mendekat. Lina menarik tanganku untuk segera berjalan ke teras rumah. Namun, aku tetap diam kaku. Seakan tenagaku telah hilang. Kurasakan keringat dingin keluar deras membasahi bajuku.
“Lin, tolong!” pintaku.
Lina pun mengambil alih Rara dari tanganku.
Tiba-tiba mataku berkunang-kunang dan semuanya menjadi bayang-bayang yang berputar, berpendar-pendar.
“Eh … awas, itu bu Suci!” samar-samar kudengar teriakan ibu-ibu yang semakin hilang ditelan kesenyapan dan kegelapan.
*****
Aku merasakan hembusan angin di atas kepalaku. Kucoba membuka mataku.
Kulihat Lina dengan pelan mengipasi kepalaku dengan stop map kertas. Udara di bangsal memang terasa panas, tidak ada AC. Hanya ada kipas angin satu yang terpasang tepat di atas pintu masuk bangsal.
“Alhamdulillah, sudah sadar, Mbak?”
“Rara gimana, Lin?”
Lina diam sesaat. Ditariknya nafas panjang.
“Rara, belum siuman Mbak.”
“Astagfirullah, ampunilah khilafku aku ya Allah!”
Aku berusaha bangun dari tidurku. Namun tetiba kepalaku pusing berkunang-kunang lagi.
“Lebih baik istirahat dulu, Mbak. Biar cepat kuat dan sehat lagi.”
Aku menuruti perkataan Lina. Aku tidak boleh memaksakan diri. Badanku masih lemas dan kepalaku masih terasa pening. Dan, aku baru ingat sejak siang kemarin perutku belum terisi nasi, hanya mie rebus sisa Rara yang kuhabiskan sebagai makan malamku kemarin.
‘Makasih ya Lin.”
“Iya, Mbak sama-sama. Dulu waktu Lina masih sekolah sering dibantu mbak Suci. Lina nggak akan pernah lupakan kebaikan mbak Suci. Tapi maaf, ya Mbak. Lina pamit dulu, Insya Allah nanti sore Lina balik lagi, tugas shift malam.”
“Iya, Lin. Hati-hati di jalan.”
Aku bersyukur ada Lina yang cepat menolong Rara dan diriku. Lina adalah gadis yatim piatu, sama dengan diriku.
Kami besar di sebuah yayasan panti piatu keagamaan.
Selepas SMK, aku melamar kerja di bakeri terbesar di kotaku. Di tempat inilah kali pertama aku mengenal bu Rini, ibu dari mas Jono.
Waktu itu, bu Rini memesan kue ulang tahun mendadak. Toko tidak sanggup memenuhi permintaan bu Rini, hingga akhirnya aku yang menyanggupinya. Kue ulang tahun itu diberikan kepada mas Jono di usianya yang ke dua puluh dua.
Sejak saat itu, bu Rini sering pesan roti langsung ke nomor ponselku.
Empat tahun aku bekerja di bakeri. Setiap gajian, aku selalu menyisihkan buat Lina.
Akulah yang mendorong Lina masuk sekolah keperawatan. Aku bisa meyakinkan dirinya mampu karena memang dasar anaknya cerdas.

Comentário do Livro (70)

  • avatar
    RiswantiRini

    ceritanya menarik seru dan ending nya bikin penasaran. bagus lah.. jd pengen cepet ada kelanjutannya

    19/05/2022

      0
  • avatar
    helmizaid

    good

    10d

      0
  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    28d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes