logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bagian 06.

Sang bagaskara semakin meninggi, meninggalkan timur menuju ke tengah barat. Di sebuah kafe mewah, seorang wanita tengah berjalan dengan menundukkan kepala ke arah tas yang dirogohnya. Tampaknya dia tengah mencari sesuatu di dalamnya. Hingga ...
“Aw, I’m sorry. Aku tak sengaja tadi,” ucapnya sambil mendongak, menatap seseorang yang di tabraknya.
“Dona, kau kah itu?” pekiknya pada Dona yang terlihat diam sambil berpikir.
“Ya, aku Dona. Siapa kau? Aku seperti mengenalmu, tapi aku lupa di mana,” ucap Dona membuat wanita itu berdecak kesal.
“Masa kau lupa padaku, aku Andini. Kakak madumu, kau ingat?” tanya wanita yang ternyata istri pertama dari Ardiraga.
“Oh iya, Mbak Andini. Ya Allah, apa kabar, Mbak?” tanya Dona histeris dan langsung memeluk wanita cantik di depannya.
“Seperti yang kau lihat, aku alhamdulillah baik,” balas wanita yang bernama Andini itu.
“Alhamdulillah, ayo kita duduk di sana, Mbak. Sudah lama lho kita tidak bertemu,” ajak Dona sambil menggandeng tangan Andini yang hanya pasrah dan menurut.
“Kau tampak berubah, Dona. Tambah cantik dan anggun. Apakah kau sudah menjadi wanita karier yang sukses sekarang?” tanya Andini sambil tersenyum bersahabat.
“Mbak ada-ada saja. Aku tetap sama seperti dulu, hanya saja aku sudah diangkat anak oleh majikanku karena anak dan istrinya meninggal bersamaan saat liburan. Ayah angkatku yang bernama Anderson William terpukul atas kejadian itu, dia hampir gila, tapi aku berusaha menenangkan dan merawatnya. Melihatku merawatnya dengan susah payah, akhirnya dia sadar dan mulai menyadari kesalahannya yang tidak terima pada takdir. Aku diangkat sebagai anak dan diminta memegang saham perusahannya hingga sekarang,” kata Dona panjang lebar. Andini terlihat bahagia atas penjelasan Dona. Dia mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Dona pelan.
“Kau memang luar biasa, Dona. Aku bangga padamu,” puji Andini.
“Mbak, jangan puji aku terlalu tinggi. Oh iya, mbak kapan sampai ke Indo bukannya di London enak?” tanya Dona.
“Seenak-enaknya di negeri orang. Lebih enak di negeri sendiri. Lagi pula aku merindukan Fhatir, putraku, kau ingat ‘kan padanya?” tanya Andini.
“Tentu, Mbak. Fhatir juga anakku. Bagaimana kabarnya sekarang?” Dona balik bertanya sambil tersenyum.
“Ya, Fhatir sudah dewasa dan mapan. Dia adalah anakku yang sangat pintar, dua perusahan besar sudah ada dalam genggamannya. Oh iya aku melupakan seseorang, di mana Ayu Kinanti? Dia pasti sudah besar juga, ‘kan? Bagaimana kalau kita jodohkannya dengan Fhatir?” Andini menatap wajah Dona yang berubah sendu.
“Ayu Kinanti hilang, Mbak. Ardiraga telah memberikannya pada seorang pengusaha muda sebagai penebus utang. Bertahun-tahun aku mencarinya, tapi tidak pernah bertemu. Lima puluh anggota pencari yang aku sebarkan ke seluruh negeri tak ada yang berhasil menemukannya,” ucap Dona sambil kembali menangis.
“Astaghfirullah, Ardiraga yang melakukannya? Aku tak menyangka, bukankah dia dulu sangat menyayangi Kinan?” tanya Andini shock, tak menyangka bahwa mantan suaminya tega melakukan itu.
“Aku juga tak menyangka, Mbak. Aku sudah memaksanya memberi tahu siapa pengusaha itu, tapi dia tak mau menjawab. Karena geram aku meminta anak buahku membawanya ke kantor polisi. Jangan salahkan aku, Mbak. Jika mbak di posisiku pasti mbak akan melakukan hal yang sama,” kata Dona.
“Sabar ya, Dona. Aku akan membantu mencarinya. Kita pasti dapat menemukan siapa pengusaha itu. Bagaimana kalau kita pergi ke rumah anakku, siapa tahu dia dapat membantu?” tanya Andiningrum, tapi Dona menggeleng dan bangkit.
“Aku tidak bisa, Mbak. Hari ini aku ada meeting dengan investor besar siang ini,” ujar Dona.
“Baiklah, aku menyesal sekali kau tidak ikut, tapi Bagaimanapun itu tanggung jawabmu. Aku lama di Indo. Nanti jangan lupa berkunjung ke rumah Fhatir ya,” kata Andini sambil memeluk Dona.
“Insya Allah, Mbak. Aku akan datang,” balas Dona. Mereka pun berpamitan dan berpisah di tempat itu. Dona kembali ke kantor dan Andini menuju rumah Fhatir. Sepertinya rindu tak dapat ditahan hingga dia ingin tiba dengan cepat.
***
Aku berjalan mondar-mandir di kamar. Kejadian tadi malam membuatku tak tenang. Ingin sekali minta maaf, tapi rasa sakit masa lalu kembali menerjangku hingga aku tetap bersikeras takkan pernah meminta maaf padanya.
Pintu berderit menandakan seorang tengah masuk ke dalamnya. Also, siapa lagi kalau bukan dia. Dia menatapku sebelum melangkah masuk.
“Ada apa?” tanyaku padanya.
“Gue mau bilang, Kinan sakit sekarang. Badannya panas, pucat dan tak sanggup bangkit. Lo lihat dia sana,” perintahnya.
“Kenapa gue? Dan lo, kenapa perhatian banget sama pelayan itu? Jangan-jangan lo suka ya sama dia,” tuduhku membuat Also melotot.
“Gue masih waras, gue gak mungkin suka sama ipar gue sendiri. Lo tahu, dia sakit karena lo. Apa gak ada lagi rasa kasih sayang dalam diri lo? Dia itu memang pelayan, tapi jangan lupa dia juga istri lo di mata hukum dan juga agama! Kurang apa, Kinan? Dia termasuk gadis baik, cantik, penurut dan juga mandiri. Kalau lo ceraikan dia, secepatnya gue akan gantikan posisi lo dan akan membuat dia merasakan apa itu bahagia,” kata Also tanpa sopan santun, padahal aku adalah abangnya.
“Ya udah, lo bawa aja dia ke rumah sakit. Susah amat sih!” balasku acuh walau terasa pada hatiku yang paling dalam, aku kasihan padanya, tapi lagi-lagi ego mengalahkan.
“Lo yang harus bawa dia ke RS, lo suaminya, ‘kan. Kalau lo gak bawa dia, gue akan laporkan lo ke polisi atas tindak penganiayaan!” ancam Also tajam membuatku tak punya pilihan lain. Bagaimanapun Also melihat semua yang kulakukan pada Kinan.
“Oke, tapi lo yang gendong,” ucapku, dia kembali menggeleng.
“Lo gila ya? Dia istri lo. Gimana perasaan lo kalau dia digendong sama laki-laki lain? Lo memang gak waras,” tukas Also tajam, seakan ingin menerkamku.
“Jadi gue yang gendong? Gak mau, gue akan suruh Minah,” balasku tetap menolak.
“Minah? Apa lo mau mereka curiga, kenapa lo bawa Kinan ke RS. Biasanya lo biarkan dulu mereka hingga hampir mati!” sengitnya.
Sial!
Aku pun mengalah dan berjalan menuju kamarnya, saat itu semua pelayan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing hingga tak ada yang melihatku masuk ke kamar Kinan. Sedangkan Also, dia entah ada di mana sekarang. Menyebalkan!
Kubuka pintu kamarnya lalu berjalan masuk. Terasa desir hangat dalam diri saat melihatnya terbaring tanpa hijab di atas ranjang. Aku melihat matanya terpejam, mungkin dia lemah hingga tak mampu membuka mata. Wajahnya pucat dengan tubuh bergetar.
Panasnya! Lo demam? Gue harus bawa dia ke rumah sakit, sebelum tambah parah, batinku panik, tak pernah aku merasa sepanik ini pada wanita yang sakit.
Kurengkuh tubuh langsingnya dalam dekapanku. Membuatnya sedikit menggeliat saat aku mulai membawanya dalam gendongan.
“Also. Kau akan membawaku ke mana? Nanti Tuan marah, cepat turunkan aku,” lirihnya membuatku tercekat. Dia berkata dalam keadaan tak membuka mata. Membuatnya tak sadar bahwa akulah yang membawanya, bukan also.
“Kau sakit, Kinan. Aku akan membawamu ke rumah sakit,” ucapku dengan bergetar. Kenapa dengan diriku? Kenapa suaraku bergetar?
“Also, aku tak mau Tuan marah. Aku baik-baik saja. Tidak perlu ke rumah sakit, aku juga tak punya biaya untuk berobat,” katanya lagi membuatku teriris, entah mengapa aku sakit mendengar perkataannya. Kupercepat langkah menuju luar rumah, mendudukkannya di kursi mobil dan aku langsung menancap gas menuju rumah sakit.
Sebelum masuk ke mobil, Kulihat Also di atas loteng tengah tersenyum padaku. Entah apa yang dipikirkannya.

Comentário do Livro (176)

  • avatar
    Rusmawati Ketty

    sedih.tpi terharu karna romantis

    6d

      0
  • avatar
    Sann Gaurifa

    sangat menarik alur cerita nya

    17d

      0
  • avatar
    susiloDavit

    bagus

    24d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes