logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bagian 03.

“Ya Allah, kenapa nasib hamba sepahit ini? Dosa apa yang pernah hamba lakukan hingga cobaan selalu datang menghampiri hamba?” Tangisku sambil meratap, aku sudah berada di sebuah kamar petak. Malam pun telah datang, setelah melakukan semua tugasku dengan menahan air mata. Akhirnya aku tak dapat menahannya lagi, aku menangisi hidupku yang sekarang tak tahu bagaimana.
Cobaan selalu datang menghampiri, mulai dari mama pergi meninggalkanku. Aku tinggal dengan ayah yang sama sekali tak memedulikanku. Dia sibuk dengan dunianya, mabuk-mabukan, main judi dan juga perempuan. Mama pergi meninggalkanku saat aku masih kecil karena bosan dan sakit hati melihat sifat ayahku yang tak pernah berubah.
“Mama, mama ada di mana? Kinan kangen, tolong Kinan, Ma,” lirihku sambil memandangnya di layar ponsel. Aku menyimpan fotonya di dalam galeri ponsel bututku dan selalu melihatnya saat aku tengah rindu.
“Mbak, makan dulu. Kulihat dari tadi mbak belum makan,” ucap seorang pelayan dari kelima wanita tadi membuyarkan lamunanku dengan menyodorkan piring berisi makanan.
“Aku tak ingin makan,” tolakku sambil mendorong piring itu dan menghapus air mata.
“Jangan begitu, Mbak. Kalau mbak gak makan nanti sakit. Kalau kita sakit, tidak ada yang peduli. Aku dulu pernah sakit, hingga aku hampir mati barulah diberikan obat. Mbak makan, ya, “ pintanya lagi membuatku tak dapat menolak, segera aku meraih piring itu dan mulai makan.
“Maaf sudah merepotkan,” ucapku padanya yang duduk di sampingku.
“Tidak apa, Mbak. Siapa namamu?” tanyanya ramah.
“Nama saya Ayu Kinanti panggil saja Kinan. Kalau kamu?” Aku balik bertanya sambil tersenyum menyembunyikan rasa sakit di dalam hatiku.
“Alvira. Nama mbak bagus ya,” pujinya sambil tersenyum.
“Terima kasih, saya boleh bertanya?” Dia hanya mengangguk. Aku menghela napas sebelum berkata.
“Apakah semua pelayan wanita di rumah ini, dulu menandatangani surat perjanjian?” tanyaku yang dibalas anggukan olehnya.
“Iya, bahkan lebih dari itu, Kinan,” balasnya lesu.
“Maksudmu?” tanyaku menghentikan aksi makanku, rasanya seleraku hilang hari ini.
“Kami bukan hanya menandatangani surat perjanjian, tapi kami juga diminta untuk membayar utang. Berapa jumlah utang keluarga kami, segitulah yang harus kami bayar. Ditambah lagi kami disiksa dengan tak diberi makan selama tiga hari. Kau ta—” Alvira tak melanjutkan kata-katanya karena air matanya menetes. Aku yang melihatnya menangis langsung meletakkan piring dan memeluknya.
“Sabar, Alvira. Ini cobaan buat kita. Maafkan aku yang sudah membuatmu sedih,” ucapku sambil ikut menangis.
Alvira melepaskan pelukannya dan menghapus air mata. Dia cantik sekali, rambutnya lurus disanggul ke atas dan pakaian yang sedikit sopan walaupun tak menggunakan hijab.
“Kenapa tuan bisa sejahat itu? Apakah dia—”
“Kinan!” Terdengar panggilan dari luar kamar membuat kami tersentak kaget. 
“Kinan, Tuan memanggilmu. Cepatlah datang sebelum dia marah,” pinta Alvira panik, aku hanya menghela napas dan bangkit menuju keluar kamar mendatangi arah suara.
***
Di tempat lain ...
“Bagaimana? Apakah kalian sudah mengetahui keberadaan Kinan?” tanya seorang wanita pada kelima laki-laki berseragam hitam safari.
“Maaf, Nyonya. Kami belum mengetahuinya. Entah ke mana Ardiraga membawanya pergi,” jawab seorang laki-laki itu.
“Telusuri semua kota, temukan Kinan di mana pun dia berada! Aku ingin segera bertemu dengannya,” titah wanita itu tegas.
“Baik, Nyonya. Saya akan mengerahkan anak buah saya untuk mencari Nona Kinan. Permisi.”
Mereka keluar meninggalkan wanita itu. Saat mereka sudah pergi, tangan wanita paruh baya itu terulur membuka laci dan meraih sebuah bingkai foto yang berisi foto seorang balita.
“Di mana kamu, Nak? Mama sudah lama mencarimu, setiap hari anak buah mama mencari kamu. Maafkan mama karena tak membawamu ikut serta saat mama pergi,” ucapnya sambil mengusap foto balita yang tengah tersenyum itu.
“Dona, sedang apa sayang?” tanya sebuah suara mengagetkan wanita yang bernama Dona itu. Terlihat seorang laki-laki tua datang menghampirinya.
“Oh, Papi. Tidak ada. Dona hanya se—”
“Sedang menangisi anakmu yang sudah kau tinggalkan selama 18 tahun?” potong Laki-laki itu sambil tersenyum.
“Dona merindukannya, Pi. Aku menyesal tak membawanya serta. Aku hanya takut dia tambah menderita karena aku tidak punya tempat tinggal dulu,” ucap Dona sambil menangis.
“Sabarlah, Dona. Pasti Kinan akan segera ditemukan. Lima puluh orang anak buah yang kita perintahkan untuk mencarinya. Kamu hanya perlu berdoa dan bersabar. Dia anakmu, pasti suatu saat nanti dia akan dapat bertemu denganmu,” kata laki-laki itu sambil merengkuh Dona agar tenang.
“Itu takkan mudah, Pi. Kita tak punya foto wajahnya yang sekarang. Akan sulit menemukan seseorang tanpa tahu pasti bagaimana wajahnya,” balasnya sambil menenggelamkan wajahnya pada tubuh laki-laki itu dan menumpahkan segala kesedihannya. Laki-laki itu hanya diam dan mengusap kepala Dona. Dia ikut merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya saat ini.
***
Aku berjalan ke arah kamarnya, karena sedari tadi dia memanggilku dan suaranya berasal dari sebuah kamar.
Tok-tok-tok!
“Masuk!”
Aku membuka pintu pelan dan melihat Fhatir tengah duduk di pinggir ranjang. Apa yang akan dia lakukan padaku?
Tolong aku, Ya Allah, batinku dengan panik.
“A-ada apa, Tuan?” tanyaku masih di dekat pintu. Dia hanya diam dan menatapku sinis, Entahlah mungkin itu hobinya.
“Kau tahu ini malam apa?” tanyanya sambil bangkit dan berjalan ke arahku.
“Ini malam kamis, Tuan. Ada apa Tuan memanggil saya?” tanyaku lagi.
“Bodoh. Ini adalah malam pertama kita. Kau lupa?” tanyanya membuatku gemetar ketakutan, apalagi dia bertambah dekat padaku dan memandangiku dengan tatapan jahat.
“Lalu, a-apa yang akan Tuan lakukan padaku?” tanyaku saat dia mulai memegang bahuku dan aku berusaha menepisnya dengan tangan yang bergetar.
“Tentu saja bersenang-senang denganmu.  Ayo ikut.” Dia mencengkeram lenganku lalu menarikku kasar.
“Tuan, sakit. Saya mohon lepaskan,” pintaku sambil meringis saat dia menyeretku masuk ke kamar mandi.
Aku terhuyung ke dalam bak air dan hampir masuk karena dia mendorongku. Bersyukur aku masih dapat menopang tubuhku ke bibir bak dan berbalik. Saat aku melihatnya dia tengah menyalakan shower yang berada tepat di atasku, hingga aku basah kuyup dengan napas tersengal-sengal karena dia menahan tubuhku agar tetap ditengah shower.
“Tuan ... le-lepaskan. Matikan airnya, Tuan. Saya moh-on,” ucapku tersendat-sendat karena napasku hampir habis.
“Apa tambah lagi? Baiklah aku akan menaikkan tekanan airnya,” balasnya sambil mengencangkan tekanan air hingga aku makin kuyup dan lemas karena kehabisan napas.
Setelah puas menyiksaku, dia menyeretku keluar dari kamar mandi. Dia membawaku ke arah balkon dan kembali mendorong tubuhku hingga jatuh ke lantai.
“Lo tidur di sini malam ini. Hukuman gue belum seberapa, entah kenapa gue lagi gak mood buat nyiksa lo,” katanya sambil memijit pelipisnya.
“Kena-pa Tuan melakukan ini padaku?” tanyaku masih tersengal dengan tubuh terduduk di lantai balkon yang sangat dingin malam ini.
“Karena gue benci sama lo. Gara-gara keluarga lo, hidup gue hancur. Sekarang lo yang akan menggantikan semua rasa sakit yang pernah gue alami,” balasnya. Sungguh, aku tak mengerti akan perkataannya.
“Saya tak tahu apa yang Tuan katakan. Kenapa Tuan menyiksa wanita? Apakah Tuan sudah tak mempunyai hati?” kataku dengan berusaha agar terlihat tegas, tapi kudengar dia hanya tertawa.
“Siksa? Wanita memang pantas disiksa. Wanita selalu menghancurkan kehidupan laki-laki yang sudah berkeluarga. Lo pantas mendapatkan siksaan bahkan seharusnya lebih kejam dari ini!”
“Kenapa saya, Tuan. Coba Anda bayangkan ibu Anda yang tengah disiksa oleh laki-laki. Bagaimana perasaan Tuan?” tanyaku sambil berusaha bangkit, tapi gagal karena dia mendorongku kembali jatuh.
“Lo gak perlu kasih tahu gue, mama sudah terlalu sering disiksa dulu. Jadi sekarang beralih padamu, wanita tak berguna! Lo tidur di sini. Kalau lo mau kabur silakan, tapi nyawa Ardiraga takkan pernah bertahan lama. Ingat itu!”
Suara pintu yang dia hempaskan mengejutkanku, segera aku bangkit dan berjalan menuju pintu.
“Tuan, buka. Saya minta maaf kalau saya pernah berbuat salah. Tuan tolong buka pintunya,” kataku memohon sambil mengetuk pintunya lemah. Aku masih sulit bernapas karena diguyur air olehnya. Ditambah penyakit asma yang kuderita selama tiga tahun ini.
“Tidur saja di situ. Lo harus merasakan apa yang pernah dirasakan mama!” ucapnya dari dalam.
“Tidak bisa, Tuan. Di sini dingin, saya gak kuat. Saya mohon buka,” pintaku lagi, tapi tak ada jawaban. Entah ada di mana dia sekarang. Tubuhku semakin sesak hingga tubuhku limbung dan aku melihat semuanya gelap.

Comentário do Livro (176)

  • avatar
    Rusmawati Ketty

    sedih.tpi terharu karna romantis

    6d

      0
  • avatar
    Sann Gaurifa

    sangat menarik alur cerita nya

    17d

      0
  • avatar
    susiloDavit

    bagus

    24d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes