logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bagian 02.

Setelah berjalan selama beberapa menit, melewati beberapa ruangan yang didesain indah dan juga berisi barang-barang branded di dalamnya. Aku tiba di dapur, dapur yang mewah dan lengkap dengan semua peralatannya. Namun, tiba-tiba saja wanita paruh baya itu mendorongku ke lantai hingga aku tersungkur. Aku mengira dia adalah wanita yang baik, tapi justru sama dengan laki-laki itu.
“Perempuan tak tahu diuntung! Masih baik Tuan membawamu kemari, daripada kau menjadi gembel di jalanan,” ucapnya di hadapanku. Aku hanya diam dan menangis. Kenapa aku terjebak dalam lingkungan yang penuh orang-orang yang kasar dan jahat? Kenapa?
“Gak tahu diri. Kalau Tuan marah, kami juga kena imbasnya. Kau memang wanita yang tak tahu diri!” ujar seorang pelayan yang berbaris tadi padaku. Mereka wanita, tapi kenapa sangat kasar padaku yang juga seorang wanita?
“Apa salah saya? Saya bukan seorang pembantu, saya punya keluarga.” Aku mencoba bangkit dengan sudah payah. Baru satu hari, tapi tubuhku terasa sakit semua.
“Kau tidak salah, cuma kalau sudah jadi pelayan jangan banyak tingkah. Kau bilang mempunyai keluarga? Cih, pasti keluargamu juga membuangmu sama seperti kami,” ucap yang satu sambil mendorong bahuku hingga aku tersandar di meja kompor.
“Ya iyalah, kalau gak dibuang. Mana mungkin dia ada di sini, Tuan ‘kan penyelamat keluarga dari utang, lalu meminta ganti uangnya dengan mengambil apa yang dia mau,” katanya lagi membuatku diam, benar apa yang mereka katakan. Aku adalah gadis yang sengaja ditukar dengan uang oleh ayah kandungku sendiri. Miris sekali kehidupanku, Ya Allah ... tolong aku.
“Sudah, daripada buang waktu. Lebih baik sekarang, kau membersihkan semua lantai yang ada di rumah ini. Yang bersih, karena Tuan tidak suka ada yang kotor. Cepat!” perintah wanita yang bernama Minah itu sambil menyodorkan sapu pel dan sebuah tong air padaku.
  Daripada aku lebih dihina, lebih baik aku menurutinya. Aku mengambil sapu itu dan membawanya ke tempat yang akan kubersihkan. Aku sudah biasa melakukan pekerjaan ini sewaktu di rumahku dulu.
Saat melintas dari dapur ke ruang tengah, kulihat Fhatir tengah duduk di kursi rotan dengan santai. Di temani seorang laki-laki yang lebih muda darinya, mereka bercengkerama. Saat aku melihatnya lagi,  hatiku terasa sakit. Dia adalah orang kedua yang telah menamparku setelah ayah.
Untuk apa dia menikahiku? Jika aku hanya akan menjadi pelayan seperti ini di rumahnya. Seharusnya dia tak perlu mengganti statusku, langsung saja menjadikan aku pelayan. Aku memegang dadaku, berusaha bersabar. Sepertinya dia hanya sedang marah tadi. Semoga saja dia cepat menyadari kekeliruannya padaku. Aku kembali berjalan menuju ruang tamu. Berharap nanti hubungan ini akan baik-baik saja.
***
Aku sudah ada di ruang utama saat ini. Menyapu lalu mengepel seluruh lantai dengan telaten. Ruangan yang cukup lebar membuatku harus mengeluarkan tenaga yang besar untuk membersihkannya.
Kalau semua pelayan wanita di rumah ini adalah orang yang dibuang saudaranya, apakah mereka juga adalah istri dari Fhatir? Suara hatiku tiba-tiba bertanya, membuat gerakanku terhenti.
“Kalau memang iya, lalu aku istrinya yang keberapa?”
Aku mulai menduga-duga. Pikiranku melayang pada kelima wanita yang tadi. Masih muda dan juga cantik-cantik. Apakah mungkin nasib mereka sama sepertiku? Saat tengah berpikir, aku mendengar suara langkah yang tengah berjalan ke arahku. Segera aku tersadar dan kembali melanjutkan pekerjaanku hingga aku melihat wanita yang mendorongku tadi, Minah.
“Nah begitu, dong. Kalau kau menurut pasti tak perlu disiksa seperti tadi,” ujarnya sambil memerhatikanku.
“Maaf, saya hanya terkejut tadi. Saya tidak akan pernah melawan lagi, Bu,” ucapku lembut sambil melihatnya sekilas dan kembali mengepel. Aku ingin dia menghargaiku dengan aku berkata lembut.
“Aku Minah kepala pelayan di rumah ini. Jadi semua pekerjaan di rumah ini aku yang mengatur. Jadi kau jangan pernah membantahku, ingat itu!” tegasnya.
“Baik, Bu. Saya tidak akan melawan dan membantah,” kataku, tapi entah siapa yang mengucapkan. Rasanya kata-kata itu keluar sendiri dari mulutku.
“Bagus, setelah ini kau bersihkan kamar, tapi ingat, jangan sentuh barang-barang yang ada di dalamnya. Aku akan memasak.” aku menghela napas sebelum mengangguk. Setelah itu dia berlalu menuju dapur, aku melihatnya sambil terus mengepel.
“Pantas saja, ternyata dia adalah kepala pelayan,” gumamku.
***
“Jadi Tuan Anderson William menerima kerja sama kita?” tanya Fhatir sambil membolak-balikkan sebuah berkas.
“Iya, Bang. Dia juga meminta Abang datang ke sana untuk tanda tangan surat perjanjian kerja sama,” balas laki-laki yang merupakan adik sepupunya.
“Oke, gue akan datang besok,” ucap Fhatir sambil tersenyum.
“Gimana soal laki-laki berengsek itu, Bang?” tanya laki-laki itu padanya.
“Tenang, gue udah hampir puas. Sekarang anaknya ada ditangan gue.” Fhatir tertawa penuh arti membuat laki-laki di depannya memerhatikannya dengan heran.
“Anaknya? Kalau anaknya berarti adik lo dong, Bang. Mau lo apakan dia?” tanya laki-laki itu serius.
“Gue akan buat dia menderita, sama seperti laki-laki berengsek itu membuat gue dan mama sengsara dulu,” kata Fhatir.
“Tapi dia gak salah, Bang, yang salah laki-laki itu bukan dia,” ujar sepupunya seperti membela seseorang itu.
“Also, lo gak perlu terlalu ikut campur urusan gue. Lo gak tahu gimana sakitnya perasaan gue dan mama saat tahu bahwa dia adalah anak dari laki-laki berengsek itu,” balas Fhatir dengan emosi yang meluap-luap. Sepertinya Fhatir, selain bersikap sombong dan kasar. Dia juga mempunyai masa lalu yang buruk, tapi entah apa itu.
“Gue tahu. Ya udah, gue mau tidur,” kata laki-laki itu yang ternyata bernama Also Hernando. Anak dari adik ibunya Fhatir yang tinggal serumah dengannya.
Fhatir hanya diam sambil menahan emosi. Also bangkit dan langsung berlalu dari hadapannya dengan santai. Seakan tak merasa bersalah pada Fhatir yang sudah dibuatnya emosi.
“Gue gak akan pernah maafkan kalian!” ucap Fhatir sambil menggebrak meja.
“Kinan!" Aku yang sedang menyapu di ruang tengah tersentak mendengar suaranya.
“Kinan, kemari lo!” pekiknya lagi membuatku berlari menuju tempatnya berada. Saat sampai, aku melihatnya tengah duduk dengan menaikkan kaki.
“Ada apa, Tuan?” tanyaku lirih, dia menoleh menatapku tajam. Bak elang yang hendak menerkam kambing.
“Sini mendekat, cepat tanda tangani berkas ini,” katanya menyodorkan map berwarna biru. Aku membuka dan langsung membacanya. Mataku terbelalak kala menangkap tulisan pernikahan kontrak. Seketika jantungku berhenti berdetak, ku lihat dia yang tampak menatapku santai.
“Apa artinya ini, Tuan?” tanyaku dengan gemetar, kakiku lemah seakan tak mampu menahan tubuhku lagi.
“Artinya, lo Ayu Kinanti adalah istriku di atas kertas. Lo harus menurutiku, menjadi pelayan di rumahku, mengerjakan semua pekerjaan yang diberikan oleh Minah dan merahasiakan pernikahan ini sampai kontrak yang tertulis di situ, yaitu sampai lima tahun ke depan. Tulisanya kecil atau tidak rapi? Hingga kau tidak bisa mengerti saat membacanya!” katanya menjelaskan panjang lebar membuatku semakin sakit.
“Tapi, Tuan. Ini tidak benar. Ini tidak ada di dalam hukum Islam, ini sal—”
“Aku tidak menggunakan hukum Islam, aku menggunakan hukum yang kubuat sendiri. Jadi sekarang cepat tanda tangan dan kembali bekerja!” ujarnya lagi membuat air mataku kembali mengalir mewakili perasaanku yang sangat sakit.
“Tapi kenapa begini hanya karena utang ayah saya. Saya tidak bisa melakukannya, Tuan,” ucapku sambil sesenggukan. Kenapa takdir hidupku seperti? Kenapa?
“Karena aku ingin membuatmu merasakan sakit seperti yang kurasakan dulu. Dulu aku sengsara, hidupku hancur dan begitu juga ibuku. Kau tahu, uang lima puluh juta bukan berarti apa-apa untukku, tapi membuatmu menderita sangat beruntung untukku,” balasnya membuatku tak mengerti.
“Tapi kenapa harus saya, Tuan? Saya tak mengetahui apa-apa tentang ini. Untuk apa Tuan menjadikan saya istri, tapi akhirnya hanya menjadi pelayan di rumahku. Kenapa, Tuan?”
“Lo gak perlu banyak tanya, sekarang tanda tangani kertas. Cepat!” ujarnya sambil membentak dan melemparkan bolpoin ke bawah kakiku.
Aku hanya diam dan menunduk, kuraih bolpoin yang dilemparkannya padaku. Aku menggenggamnya, lalu kembali menatap Fhatir yang tengah menatapku tajam seakan memintaku agar segera melakukannya. Aku menyeka air mataku lalu berusaha mencoretkan tanda tangan di atas kertas itu dengan susah payah.
Aku berusaha dan berdoa, semoga apa yang aku lakukan adalah yang terbaik. Setelah menandatanganinya aku langsung memberikan kertas itu yang disambut dengan raut wajah senang. Berbeda denganku yang sudah merasa hancur. Entah bagaimana statusku sekarang, aku tak tahu

Comentário do Livro (176)

  • avatar
    Rusmawati Ketty

    sedih.tpi terharu karna romantis

    6d

      0
  • avatar
    Sann Gaurifa

    sangat menarik alur cerita nya

    17d

      0
  • avatar
    susiloDavit

    bagus

    24d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes