logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Trauma Suamiku

Trauma Suamiku

Ainin


Bagian 01.

“Saya terima nikah dan kawinnya, Ayu kinanti binti Ardiraga Mahendra dengan maskawin tersebut, dibayar tunai,” ucap laki-laki di sampingku lancar, dia telah menikahiku. Menikahi gadis yang baru saja dikenalnya tadi pagi.
“Bagaimana para saksi, sah?” tanya Pak Penghulu sambil menatap sekelilingnya yang terdapat beberapa warga suruhan Fhatir untuk menjadi saksi.
“Sah!” jawab semua yang ada.
“Alhamdulillahirobbil alamin, barakallahu fikum, bismillahirrahmanirahim.” Pak penghulu langsung membaca doa, sementara aku hanya menangis dalam diam.
***
“Berapa utang yang lo punya?” tanya Fhatir sambil duduk di kursi dengan kaki dilipat. Dia menatapku dan ayahku dengan wajahnya yang sombong.
“Lima puluh juta. Jika Tuan bisa membayarnya, saya akan memberikan anak ini sebagai gantinya,” ucap ayahku sambil mendorong bahuku membuatku maju.
“Apa gunanya dia untuk gue? Dia bukan tipe gadis yang cocok buat gue. Apa gak ada yang lebih bagus dari gadis itu?”
Perkataannya menyakiti hatiku, dia mengira bahwa aku adalah gadis tak berharga. Dengan perkataannya saja aku sudah sakit, ditambah ayahku akan memberikanku padanya. Aku, anak kandungnya sendiri. Apa yang membuatmu tega, Ayah?
“Tidak ada, Tuan. Hanya gadis bodoh ini yang kupunya. Jika Tuan mau membayarkan utang saya, saya akan memberikannya dan tak akan pernah lagi menemuinya. Terserah mau Tuan apakan dia nanti, aku tak peduli,” kata ayahku lagi.
Laki-laki di depanku hanya diam dan tersenyum miring, dia termasuk pria yang sombong. Tatapan matanya padaku menyiratkan sebuah kebencian yang teramat dalam membuatku tak sanggup menatapnya. Hingga aku memilih menunduk dengan air mata yang tak mau berhenti mengalir.
“Oke, gue akan membayar utang lo, tapi dengan syarat jangan pernah ganggu hidup gue lagi. Jika lo berani datang, nyawa lo gak akan pernah bertahan lama. Ingat itu!” ucap pria itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan sambil menarik tanganku kasar pergi keluar rumah.
“Nanti anak buah gue akan urus semua utang lo. Gue akan pergi, ingat persyaratannya tadi,” tambahnya sambil kembali menarikku hingga aku hampir jatuh.
“Ayah, ayah. Tolong Kinan, Ayah,” pintaku sambil melihat ayahku dengan tatapan memohon. Dia hanya diam dan tersenyum padaku, aku tak menyangka bahwa ayahku sendiri tega memberikanku pada seorang Pria yang tak kukenal.
“Jalani saja hidupmu, Kinan. Dengan kamu pergi maka aku akan bebas untuk melakukan apa pun!” pekiknya sambil tertawa lalu dia masuk ke rumah dan membanting pintu.
   Aku menangis, hidupku hancur. Aku merasa tidak ada semangat lagi untuk menjalani kehidupan. Tanganku sakit karena ditarik paksa oleh pria ini. Berkali-kali aku meringis kesakitan dan memohon padanya, tapi dia seakan tuli dan tak mengindahkan ataupun mengurangi kuatnya cekatan tangannya dan permohonanku.
Aku tersungkur jatuh ke dalam mobil. Dia sengaja mendorongku dan menatapku sinis dengan tangan diletakkan di pinggang.
“Lo sekarang udah jadi milik gue, jadi gak perlu banyak menangis,” katanya kasar sambil menarik hijabku. Wajahnya tetap kasar, pandangannya tajam dan juga tersenyum sinis padaku, aku hanya bisa diam dan memohon padanya.
“Tuan, sakit, Tuan. Lepaskan ... saya mohon,” pintaku sambil memegang kepalaku yang sakit dengan hijab yang mencekik leher. Setelah puas menarik hijabku, dia melepaskan tangannya kasar hingga aku terlempar ke bawah kursi mobil.
“Tuan akan membawa saya ke mana?” tanyaku saat melihatnya memasuki mobil Lamborgini yang kududuki saat ini.
“Ke KUA, gue akan nikahin lo,” balasnya datar membuatku terkejut.
“Apa? Menikahi saya? Tidak, Tuan. Saya tidak mau, saya mohon turunkan saya,” pintaku setengah memohon, tapi dia hanya diam bergeming.
“Kenapa Tuan akan menikahi saya?” tanyaku lagi dan itulah yang kutanyakan padanya berkali-kali.
“Uang lima puluh juta itu gak sedikit. Masa iya gue gak dapat apa-apa,” ujarnya sinis, aku hanya menangis sesenggukan. Hingga akhirnya kami tiba di kantor KUA. Dia langsung turun dan membuka pintu mobil lalu menarikku dengan kasar hingga aku hampir jatuh ke dadanya. Hingga akhirnya dia menyeretku dan berjalan masuk ke KUA. Apakah ini nyata?
***
“Sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri. Selamat, ya.” Perkataan Pak Penghulu membuyarkan lamunanku. Terlihat Fhatir hanya tersenyum simpul mendengarnya, entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Aku takut padanya, Mama. Mama ada di mana? Tolong Kinan.
“Baiklah, sekarang silakan tanda tangani buku ini,” tambahnya sambil menyodorkan dua buku kecil berwarna cokelat dan hijau tua pada kami.
Kulihat Fhatir langsung mengambil bolpoin dari saku jas yang dipakainya. Lalu dia langsung mencoretkan tanda tangan pada buku yang bersampul hijau tua itu, setelah selesai dia menatapku sinis lalu memberikan bolpoin itu padaku.
Aku meraihnya dengan gemetar, apakah aku harus menandatangani buku nikah ini? Dia terus menatapku dengan tajam membuatku takut dan langsung menandatangani buku itu dengan tangan gemetar. Setelah selesai aku langsung menyerahkan bolpoin itu padanya. Dia sambil tersenyum miring padaku.
“Sekarang akad nikah kalian sudah selesai, pulanglah  ke rumah kalian dan semoga bahagia, langgeng, sakinnah mawaddah warohmah,” kata Pak Penghulu sambil tersenyum.
   Aku hanya diam hingga Fhatir menarik tanganku keluar dari kantor itu. Kantor yang menjadi saksi pernikahan yang tak kuinginkan ini, aku tak pernah membayangkan akan mengalami pernikahan seperti ini, impianku menikah dengan seorang yang mencintaiku hilang dan sirna seketika.
Dia masih menarikku hingga menuju mobil, tanpa menghiraukan orang yang mengucapkan selamat atas pernikahan ini. Hingga kami tiba di mobil dan dia langsung mendorongku ke dalamnya. Lalu mulai berjalan memutari mobil tanpa tersenyum sedikit pun. Dia tidak masuk, melainkan tampak seperti tengah menelepon seseorang.
“Kalian sekarang pergi ke rumah Pak Wira. Lunasi semua utang Ardiraga, setelah itu kabari aku.” Samar-samar aku dapat mendengar pembicaraannya sambil tersedu pelan. Mengingat aku adalah seorang istri yang baru saja dikenali orang yang aku tidak tahu baik atau jahat, tapi hatiku mengatakan bahwa dia orang kasar dan penuh dendam. Sedari tadi tidak ada kelemahlembutannya dalam berkata.
Suara pintu mobil yang dihempaskan olehnya membuyarkan lamunanku. Dia mulai memacu mobil keluar dari pekarangan dan melaju cepat membelah jalanan pagi yang tampak ramai.
“Tuan, saya mau dibawa ke mana?” tanyaku, tapi tak dijawab olehnya. Seakan dia tak mendengar pertanyaanku.
Entahlah hendak ke mana aku dibawanya, tapi rasanya aku akan menjalani sesuatu yang belum pernah kujalani. Apakah aku mampu menjalani kehidupanku sekarang? Sedangkan tiada rasa cinta untukku padanya. Bagaimana kehidupan ini akan kujalani?
***
Fhatir Maheswara Arada, itulah nama laki-laki yang sekarang telah resmi menjadi suamiku. Dia adalah seorang pria tampan dan berpendidikan. Perusahan besar di dua kota yang bergerak di bidang hiburan ada di dalam genggamannya. Wajahnya yang tampan dan keras serta pendidikannya yang cukup tinggilah yang mungkin membuatnya menjadi sosok yang tak punya sopan santun dan sombong. Dia seenaknya memanggilku dan ayah dengan sebutan lo. Apakah tidak ada panggilan yang lebih baik dari itu?
“Turun,” perintahnya saat membuka pintu dan menarik tanganku, membuatku yang tengah menangis mau tak mau harus menurutinya.
Aku memijakkan kaki di depan sebuah rumah megah bak istana. Rumah itu sangat besar dengan delapan pilar dari tiang berwarna emas sebagai penyangganya. Aku berputar melihat keseluruhan kawasan rumah yang besar dengan posisi hampir melingkari halaman. Warna putih dan bercampur emas, cat yang tertempel di dindingnya membuatku menelan salivaku dengan susah payah. Sangat indah dengan berbagai tanaman hias dan bunga-bunga yang bermekaran seakan menyambut kehadiranku.
“Lo mau tetap di situ atau masuk?” tanya laki-laki itu dengan berteriak, membuatku terkejut.  Kulihat dia sudah bersandar di pilar teras rumahnya. Dengan tangan dilipat di depan dada dan menatapku sinis.
“Maaf, Tuan,” ucapku lirih dengan gemetar aku melangkah mendekatinya yang masih menatapku sinis.
“Cepat! Lama banget lo jalan!” bentaknya sambil menarik tanganku kasar dan langsung masuk ke dalam ruangan. Saat masuk, pintu terbuka lebar dengan sendirinya. Aku melihat lima orang wanita berpakain sama berbaris rapi menyambutnya.
Tubuhku terjatuh di atas karpet yang tebal di bawah meja. Lalu dia berkacak pinggang di hadapanku.
“Sekarang lo adalah pelayan di rumah ini. Sama seperti mereka,” ucapnya sambil menunjuk ke lima wanita itu.
“Tapi, Tuan, saya ada—”
“Bi Minah!” panggilnya memotong ucapanku. Seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh ke arahnya.
“Iya, Tuan,” jawab wanita itu sambil melirikku sekilas.
“Bawa wanita ini ke dapur. Beri tahu padanya pekerjaan yang harus dia kerjakan, karena dia adalah pelayan baru di rumah ini!” perintahnya tegas.
“Baik, Tuan,” kata wanita itu sambil memegang tanganku agar bangkit.
“Tuan, tapi saya adalah ist—”
Satu tamparan melayang ke wajahku, hingga aku yang baru bangkit kembali jatuh menabrak kaki meja. Aku meringis, lalu menoleh pada laki-laki yang baru saja menamparku.
“Lo pelayan, aku adalah tuanmu. Lakukan apa yang kupetintahkan!” ucapnya di depan wajahku membuatku gemetar hampir pingsan. Sementara wanita dan para pelayan lain hanya diam memandangiku yang lemah tak berdaya ini.
“Cepat bawa dia,” katanya lagi membuat wanita itu menarik tanyaku berlalu dari hadapannya yang masih menahan emosi. Mungkin dia sudah gila!

Comentário do Livro (176)

  • avatar
    Rusmawati Ketty

    sedih.tpi terharu karna romantis

    6d

      0
  • avatar
    Sann Gaurifa

    sangat menarik alur cerita nya

    17d

      0
  • avatar
    susiloDavit

    bagus

    24d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes