logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Beban Hidup Bertambah Satu

"Manuk e manuk e cucakrowo... cucakrowo dowo buntute....Buntute sing akeh wulune..... Digoyang ser-ser aduh enak e....."
_____________
Jarum jam menunjuk angka sebelas saat kakiku menapak di lantai kamar.
Hari ini ada agenda rapat yang membahas tentang razia yang akan dilaksanakan besok dalam jangka waktu beberapa hari ke depan.
Penentuan titik lokasi yang akan dikenakan razia, penjadwalan waktu razia, dan pembagian tim yang akan turun ke lapangan.
Aku mendapat penugasan sore hari, berlokasi di jalan Widowati, depan pom bensin. Lokasi yang biasanya memang menjadi langganan razia.
Dijam seperti itu, bertepatan dengan waktu pulang anak sekolah, tidak bisa dipungkiri bahwa razia yang dilakukan nyatanya memang ditujukan untuk para murid yang belum memenuhi syarat untuk membawa kendaraan bermotor.
Mayoritas mereka belum memiliki surat izin mengemudi.
Aku merasa kasihan juga sih, jika mereka harus kena tilang. Tapi ya mau gimana lagi, pelanggaran harus dikenai sanksi.
Aku juga menyadari, jika mereka masih belum cukup umur, untuk mendapatkan surat mengemudi.
Pernah merenungkan juga, bagaimana nasib mereka jika terpaksa harus menunggu mendapatkan SIM sementara mereka perlu berkendara untuk pulang pergi sekolah.
Di Trenggalek, tidak ada banyak bus sekolah, jika adapun, jalur yang dilewati tidak mencakup semua sekolah.
Kendaraan umum seperti angkot, bajai tidak ada disini. Ada bus luar kota yang sebagian jalurnya melewati sekolah-sekolah, hanya saja jam keberangkatannya tidak sesuai dengan waktu berangkat dan pulang sekolah.
Ada sebagian mereka yang memilih naik sepeda, menghindari terkena razia, dan juga mungkin menghemat biaya. Hanya saja keadaan itu hanya berlaku bagi mereka yang jarak rumah dan sekolahnya dekat.
Naik becak, becak adanya hanya dipengkolan, biasanya ada di tempat umum.
Naik ojek, adanya dipengkolan juga. Ojek online, bisa menjadi pilihan dengan syarat menyesuaikan dengan kondisi dompet.
Bayangkan saja jika mereka pulang pergi naik ojek, berapa biaya yang harus mereka bayarkan setiap harinya?
Diantar, dan dijemput orang tua, -yang memang seharusnya menjadi penanggungjawab anaknya dalam rangka mencari ilmu-, berlaku bagi sebagian mereka yang memang terlahir dalam keadaan berkecukupan.
Dimana orang tua mereka, tidak sibuk dengan pekerjaan, atau memang memiliki tukang antar jemput khusus.
Bagi mereka yang hidup dengan ekonomi terbatas, pilihan itu bukan hal yang baik. Mengingat orang tua mereka mayoritas berprofesi sebagai petani, yang mengharuskan berangkat sebelum matahari terbit, ataupun profesi yang lain, yang sangat tidak memungkinkan untuk bisa mengantar dan menjemput.
Jika dipaksakan untuk melakukan itu, bagaimana para orang tua mendapatkan penghasilan, yang sebagian dari penghasilan itu digunakan untuk biaya pendidikan jika waktu bekerja mereka disibukkan untuk mengantar jemput anaknya.
Tanpa menunggu malam terlalu larut, aku memutuskan untuk mandi. Dikedinginan malam harus rela mengguyur tubuh dengan air yang dinginnya bahkan melebihi suhu.
Kamar mandiku tidak ada shower, kran air panas, atau malah bath up seperti kamar mandi apartemennya manusia ibukota.
Seperti umumnya kamar mandi yang dimiliki masyarakat disini. Hanya bak penampungan air, kran yang kugunakan untuk berwudhu, dan kloset jongkok yang berada diruangan lain yang disebut dengan WC.
Aku yakin bahwa 99% rumah yang ada di Trenggalek, kamar mandinya akan berbentuk seperti ini, bahkan termasuk rumah orang kaya sekalipun, yang dari luar terlihat seperti istana.
Mungkin yang membedakan hanya ukurannya.
Mandi dengan air hangat, pasti akan sangat nikmat. Hanya sebuah keinginan yang terlintas tanpa ada tindakan yang kuwujudkan. Aku terlalu malas untuk menunggui air yang kumasak panas.
Teringat Abi di rumah, Umi akan senang hati menyiapkan air panas untuknya, setiap pagi saat akan mandi.
Suhu di desaku yang berada di dataran tinggi, lebih dingin daripada suhu di kota.
Kadangkala, saat aku berada disana lebih memilih melewatkan mandi pagi, yang akhirnya akan kugabung dengan mandi sore.
Perlakuan yang selalu membuatku iri, dan akhirnya menyadari jika hal itu hanya akan berakhir dengan senyuman kecut, mengingat bahwa aku masih dan tetap jomblo.
Ya sudahlah, kunikmati saja nasib menjadi laki-laki lajang yang tinggal sendirian.
Teringat juga akan kedatangan Umi yang menanyakan tentang perempuan yang dicarikannya untukku. Betapa pedulinya dia, atau mungkin resah juga jika anak laki-lakinya yang masih lajang ini, menjadi bahan perghibahan ibu-ibu di desa.
Di usiaku ini, jika di ibukota akan menjadi hal wajar, karena laki laki mementingkan mapan dulu sebelum membina rumah tangga, maka di sini akan menjadi bualan bagi mereka yang masih diliputi dengan pemikiran kuno.
Di sini, laki-laki berusia hampir menyentuh angka tiga puluh, mereka menyebutnya "Joko Tuwek", artinya perjaka tua, yang tidak kunjung menikah.
Tapi, jika mereka menyebutku dengan sebutan itu sembari memandang wajahku -yang jelas tampan ini-, apakah bisa berubah, setidaknya gambaran tua tidak melulu soal keriput dan jiwa yang lemah.
Berkat Umi, aku menyadari bahwa mencari istri akan menjadi tugas terberatku, mulai saat ini.
===
Mataku terbuka saat mendengar ketukan pintu yang beruntun, disertai suara yang memanggil namaku dengan keras, lebih terdengar seperti teriakan.
Pelan-pelan mengumpulkan kesadaranku, aku bangkit mulai berjalan ke arah pintu.
"Dipanggilin seribu kali kok gak nyaut-nyaut kamu Le....." Tubuhku refleks menyisih dari ambang pintu tatkala perempuan yang teriak-teriak tadi, melesak masuk rumah.
Masih dengan mengucek mataku, melihat bahwa ada sosok yang berjalan di belakang Umi, nyengir dengan polos saat dia melewatiku, menarik koper besar dengan sedikit kesusahan.
Aku berdecak pelan, tidak habis fikir, mengapa anak laki-laki baru gede itu -yang tentunya memiliki kekuatan yang ekstra sesuai dengan umurnya yang belia-, malah terlihat loyo tidak sesuai dengan jiwa mudanya.
"Allahuakbar.... kebiasan kamu pas nerima tamu ya kayak gini Le?"
Aku yang masih berdiri di depan pintu, bingung menanggapi pertanyaan Umi. 'Kayak gini' bagaimana yang dimaksud Umi?
Efek baru bangun tidur mungkin, otakku belum siap mencerna kata yang ambigu.
"Kamu kalo nerima tamu, cuma pake boxer aja kayak gitu?"
Refleks aku meniti tubuhku, mendapati hanya sehelai boxer ketat yang pendeknya jauh diatas lutut, menutupi tubuh bagian bawahku. Rawan sekali memakai boxer ini di pagi hari, yang aku yakin akan membuat 'milikku' menonjol saat sedang bangun setiap pagi.
Tapi untungnya, dia tidak bangun pagi ini.
Ini sebuah ketidaksengajaan, kedatangan Umi yang persis seperti pegawai bank 'thithil' yang menagih hutang, -mendadak dan tidak diinginkan-, membuatku lupa diri.
Tapi menurutku ini bukan masalah besar kok, laki-laki bertelanjang dada kan hal yang wajar. Kecuali jika aku telanjang bulat, itu yang kurang ajar.
"Gak tau gimana malunya kamu Le..kalo tamumu itu cewek, untung ini yang datang Umi..."
Dan sejatinya, selama dua tahun aku disini, belum pernah menerima tamu perempuan.
Kan Umi sendiri yang melarangku membawa masuk perempuan yang datang sendirian. Berpegang teguh dengan ajaran agama yang keluarga kami anut.
Aku mengakui, jika keluargaku bisa dibilang kolot. Yang mana membawa masuk satu perempuan bukan mahram ke rumah, adalah hal yang hina.
Dan itu yang selalu Abi tekankan kepada kami, agar tidak terjadi zina dan fitnah.
Padahal, masyarakat disini sama sekali tidak memperdulikan itu. Tamu perempuan bukan mahram, bukan sesuatu yang tabu lagi di era sekarang.
"Burungmu itu lo, nanti kalo terbang gimana?"
Aku hanya menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal.
Sifat asli Umi akhirnya keluar. Umi yang suka ceplos-ceplos bahkan tidak segan mengeluarkan kata 'saru' jika dilontarkan pada khalayak ramai.
Tapi, didikan Umi dari Abi, tentang sopan santun, membuat keceplosannya itu hanya akan berlaku dihadapan anak-anaknya saja. Dihadapan orang lain, Umi akan lemah lembut, sopan, menunjukkan jika dirinya pantas menjadi pendamping Abi.
Aku melangkah meninggalkan Umi ke kamar, memakai kembali kaos dan sarungku yang tadi malam kulepas sebelum tidur di ranjang.
Aku menghampiri Umi yang kini sudah duduk di sofa, usai memakai baju, mencium tangannya, dan Umi akan melakukan kebiasaannya.
Nyaris menghenyakkan pantatku disebelah Umi, anak laki-laki yang ikut Umi ini, mengulurkan tangannya.
"Salim mas..." katanya, yang lagi-lagi disertai cengiran polos, yang polosnya mengalahkan kain mori.
Aku mengulurkan tangan, yang disambut dengan kecupan dipunggung tanganku, yang segera kutarik dengan cepat.
Dia, Ibra adikku satu-satunya, si bungsu di keluarga kami. Adikku itu lalu duduk di sofa tunggal yang berada di depan sofa panjang yang aku dan Umi duduki.
"Umi mau nginap?" Tebakku setelah melihat koper yang bersender di pojokan.
Kuakui, Umi di bulan ini sering mengunjungiku. Setelah beberapa minggu lalu, kedatangannya yang membahas tentang calon mantu , kini datang lagi bersama Ibra dan juga sebuah koper besar.
Apa pembahasannya denganku waktu itu belum membuat Umi puas, hingga memutuskan menginap yang tentunya akan ada lebih banyak waktu bersamaku, membahas kembali calon mantu yang sebenarnya sudah kurespon panjang lebar.
"Bukan Umi, Ibra itu..."
Jawaban Umi membuatku berkernyit, langsung menatap Ibra di depanku, yang mengapa lagi-lagi dan lagi nyengir, dengan cengiran yang sama yang kali ini sepolos tembok istana negara.
Menuntut jawaban langsung dari seorang Ibrahim Irsyad, yang nyatanya ABG itu tidak mengeluarkan suara, membuatku terpaksa mengalihkan pandang ke Umi, yang kini siap menjawab segala ke kepoanku.
"Umi titipin Ibra ke kamu ya Le....
Biar dia tinggal sama kamu disini. Dia prakerin di kantor dekat Alun-Alun itu loo...Gak tau juga ngapain milih kantor yang jauh padahal dideket rumah juga ada, " Pada kalimat terakhirnya, Umi melirik Ibra. Seolah ingin tau alasan mengapa adikku ini memilih meninggalkan desa.
Kukira, Ibra hanya akan merespon dengan cengiran sepolos air Aqua, tapi kali ini cengiran itu tidak ada, yang ada berikutnya adalah suara.
"Aku kan udah bilang sama Umi, mau cari suasana baru. Cari pengalaman baru, pengen tau rasanya hidup di kota. Emang Mas aja yang bisa ngerasain tinggal di pusat kota?"
Kan kalo sudah begitu adikku lebih baik diam saja.
Ibra itu anak masa puber, usianya mungkin 16 atau 17 tahun, pokoknya usia anak sekolah kelas sebelas. Maaf jika aku sendiri lupa usia adikku. Karena sejatinya tidak ada perayaan ulang tahun di keluargaku.
Memilih pendidikan SMK, yang berbeda sendiri dari pendidikan SMA yang dipilih anak Umi yang lain.
"Kalo SMK habis lulus bisa langsung kerja Mas, kan enak gak usah ngrepotin Abi..."
Alasannya seperti itu, padahal jika dia memilih kuliah, tidak akan sama sekali merepotkan Abi seperti yang dia katakan.
Ucapan dari anak SMP, yang menantikan kelulusan, enteng tanpa beban, tidak menyadari bahwa apa yang dikatakannya saat itu berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
"Yang sarjana aja masih banyak yang pengangguran Dek, apalagi yang hanya berbekal ijazah SMK...tapi ya tergantung sama nasib masing masing sih...."
Responku dalam hati kala itu, karena aku tidak ingin mencampuri fikiran polosnya seorang anak SMP yang masih punya waktu panjang untuk memikirkan kembali ucapannya.
Waktu itu, kukira Ibra masuk jurusan teknik seperti anak laki-laki pada umumnya. Ya, setidaknya jika bukan teknik mesin, bisa juga teknik jaringan.
Lagi-lagi, apa yang diputuskannya waktu itu jauh dari tebakanku.
Ibra memilih masuk jurusan administrasi perkantoran, yang dimana mayoritas murid yang masuk kesana adalah perempuan.
Dan nyatanya, satu kelas yang dihuninya hanya ada sepuluh laki-laki termasuk dirinya, dari tiga puluh enam murid, yang itu artinya sisanya adalah perempuan.
Merasa was-was juga, jika teman-temannya yang mayoritas perempuan itu ikut mengotori jiwa kelakiannya.
Maksudku, jadi banci mungkin. Jadi manja-manja lembek gitu.
Dan Alhamdulillahnya hingga sekarang, Ibra masih laki-laki tulen.
"Kamu masuk kesana gak ada niatan buat tepe-tepe ke cewek kan Bra..."
"Enggak kok Mas, kalo nyatanya mereka 'terkintil-kintil' sama aku, kan itu berarti aku ganteng...."
Ibra dengan kepedean yang tingginya melebihi Monas Jakarta.
"Aku masuk kesana karena tulus dari hati kok Mas. Aku maunya nanti habis lulus, bisa kerja di kantor. Dingin dibawah AC, gak usah wira-wiri panas-panasan, tampilan bersih dan wangi, tinggal duduk mantengin komputer doang dapat duit...."
Aku mendengus kasar saat mendengar perkataan Ibra kala itu. Lagi-lagi terlampaui nalar. Tapi maklumlah, dia tidak tau kenyataan dari sebuah angan-angan.
Kantor mana yang dilengkapi fasilitas AC , memperkerjakan karyawan tanpa gelar sarjana? Jika ada, sungguh malang nasib para sarjana yang kalah nasib dengan anak SMK seperti Ibra.
Hebat sekali adikku itu.
"Beda cerita kalo aku ngambil jurusan teknik mesin kaya teman-temanku. Pasti nanti habis lulus kerjanya di bengkel, kotor-kotoran, mainannya oli,"
Aku tau Ibra membela dengan keputusan yang diambil kala itu. Yang menurutnya sudah benar, yang akan menyuksesnya dirinya dimasa depan, dengan menjadi seorang pekerja kantoran tanpa gelar sarjana.
"Mending tinggal sama kamu aja Le....daripada Umi kos kan sendiri, yang malah nanti bikin dia nakal, keluyuran gak jelas, karena gak ada yang ngawasin. Lagian kantornya deket juga dari sini,"
Aku hanya merespon dengan anggukan. Tidak ada yang perlu diluruskan karena ucapan Umi sepenuhnya benar.
Diusia remaja Ibra yang belum menemukan jati diri yang sebenarnya, yang kadangkala masih goyah dengan pendiriannya, aku mendukung sepenuhnya tindakan Umi.
"Kamarnya ada dua kan?"
"Iya Mi, tapi yang satu Adam jadiin gudang...."

Comentário do Livro (481)

  • avatar
    AnisaAzka

    wihhhh hebat banget masyaallah

    24d

      0
  • avatar
    ElllPerdiii wel

    sangat lucu

    27/07

      0
  • avatar
    ImandaViola

    Bagus banget novela dan bacaan nya seru banget sumpah bakalan sering sering baca dong

    22/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes