logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

6

Saat Bang Yitno mengurusi hasil panenya, diam-diam aku ke rumah Bu Sumi. Bertanya pada warga dimana rumahnya.
" Mbak Sela, maaf mbak saya belum ada uang," kata Bu Sumi.
Aku enggan bertanya lebih jauh kepada Bu Sumi. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang ingin aku tanyakan.
" Bu, kenal Tina yang dulu mau dinikahi Bang Yitno ?"
" Wanita tidak benar itu mbak. Naudzubillah. Untung Mas Yitno tidak jadi menikah dengan dia. Sudah mau dinikahi juragan, haji bergelar sarjana pula masih neko-neko sampai hamil. Sekarang ngejar-ngejar Mas Yitno lagi. Urat malunya sudah putus kali,"
Aku bernafas lega. Apa yang diucapkan Bang Yitno sama dengan penuturan Bu Sumi.
" Sebenarnya saya kesini juga ingin menanyakan itu bu. Saya takut Bang Yitno berbohong,"
Bu Sumi tertawa kecil.
" Mbak Sela tidak perlu takut. Mas Yitno itu orang nya jujur. InsyaAllah mbak Sela berjodoh dengan laki-laki yang tepat."
Aku girang bukan main dengan ucapan Bu Sumi. Sepanjang perjalanan aku hanya senyum senyum sendiri mengingatnya,tanpa sadar Bang Yitno sudah menunggu kedatanganku di teras.
" Adik tidak apa-apa ? Pulang-pulang kok senyum-senyum sendiri ?"
" Aku sedang bahagia sekali bang,"
" Dapat durian runtuh dik ?"
" Sakit atuh bang. Kena durian runtuh. Aku bahagia sebab apa yang abang katakan kemarin itu benar," ucapku dengan wajah berseri-seri.
" Adik tadi tanya orang-orang sekampung ?"
" Rahasiaaaaaa," jawabku sambil ngeloyor pergi.
Saat aku memasuki rumah, tidak sengaja ekor mataku melihat kalender. Aku teringat akan permintaan Kak Dinda untuk berkumpul di rumah ayah.
" Bang.. Abang,"
Bang Yitno masuk rumah dengan terburu-buru.
" Ada apa dik ? Tadi baru saja senang, sekarang paniknya seperti melihat setan."
" Besok akhir pekan bang. Artinya besok kita ke rumah ayah ?"
" Iya terus kenapa kalau besok ke rumah ayah dik ?"
" Aku rindu sama ayah. Tapi aku tidak rela mereka menghina abang. Besok abang ganti penampilan ya. Jangan kayak gini,"
" Dik dik abang lebih percaya diri dengan penampilan begini. Abang tidak butuh penilaian orang dari luar."
" Tapi bang. Mereka menertawakan abang,"
" Biarlah dik. Yang penting abang tidak berbalas menghina. Kamu tau Allah itu mengabulkan do'a orang yang terdzolimi,"
" Kalau abang itu memang sengaja biar di dzolimi kok,"
" Bukan begitu dik. Yang penting abang tidak merugikan siapapun dengan tampilan seperti ini,"
Ya, Bang Yitno memang seseorang yang berkomitmen tinggi. Alias susah dibilangi. Hingga kadang aku memilih diam daripada sekedar beradu argumen denganya. Penjelasanya memang masuk akal. Tetapi kurang biaa diterima si zaman sekarang.
" Aku petik sayur di belakang ya bang. Buat oleh - oleh ayah besok,"
" Tidak usah dik. Ayah kan hidup sendiri. Kebutuhan makanya juga tidak banyak. Malah merepotkan ayah kalau harus masak. Apalagi kalau sampai buauk. Mubadzir. Abang sudah ada hadiah buat ayah ?"
" Apa itu bang ?"
" Hadiah buat ayah bukan buat adik. Jadi yang berhak tau ya ayah,"
Aku cemberut, menggerutu tidak jelas. Semoga saja Bang Yitno tidak berbuat aneh-aneh. Agar kakak-kakak ku tidak semakin mengolok-ngolok dia.
*
Motor si pitung keluar tahun delapan puluhan telah dipanasi Bang Yitno.
" Bang beli mobil yuk. Kita iuran. Aku juga punya tabungan kok,"
" Dik, abang tidak berhak atas uangmu. Uang istri ya tetap uang istri. Lagipula kita belum butuh mobil dek. Kita masih berdua masih cukup kan naik montor. O iya dik tolong belikan rokok ya di warung. Siapa tau nanti ada yang ngerokok,"
Tanpa menjawab apa-apa aku bergegas ke warung. Selalu begitu, Bang Yitno terlalu sederhana menurutku.
" Mau kemana neng ? Rapi amat ?" tanya Bu Hesti pemilik warung.
" Mau ke rumah ayah bu di kota sana,"
" Kok cemberut ? Harusnya senang dong ketemu ayah ?"
" Gimana nggak cemberut bu. Kita kesana naik motor jadul nya Bang Yitno. Berapa jam sampainya coba,"
Bu Hesti tertawa kecil.
" Si Yitno itu memang terlewat sederhana mbak. Padahal dia bisa lho beli mobil. Truk nya saja ada lima,"
Aku melongo dibuatnya. Bisa lah dijual satu ditukar Honda Jazz. Orang kaya tapi tidak kelihatan sama sekali.
" Ayo berangkat bang. Aku sudah bawa bekal banyak,"
" Bekal apa dek ?"
" Bekal nanti kalau saudara-saudaraku menghina abang. Abang kan seorang haji, juragan, sarjana, lahamya luas. Truk nya ada lima. Bisalah dibuat perlawanan nanti."
Aku menyeringai. Dikira hanya mereka yang punya suami sukses ?
" Bu Sumi saya kesini tidak menagih uang. Itu kan sudah di iklaskan suami saya. Saya hanya ingin menjenguk anak Bu Sumi,"
Kasihan ternyata hidupnya. Memprihatinkan. Anaknya yang demam tergolek lemas di tikar lusuh.
" Sudah dibawa ke dokter bu ?" tanyaku
" Sudah mbak. Kata dokter ini gejala demam berdarah. Tetapi tidak perlu dirawat di rumah sakit."
" Oh iya maaf, suami ibu kemana ?"
" Suami saya meninggal saat saya sedang hamil mbak. Kalau bukan karena kebaikan keluarga Mas Yitno, mungkin saya tidak bisa bertahan hidup hingga sekarang,"
Aku menautkan alis. Kebaikan yang mana. Perasaan Bang Yitno hanya sekali memberi uang.
" Mbak Sela pasti bingung. Jadi saya itu bekerja di sawahnya Mas Yitno yang ditanami padi. Ya mencabut rumput, kadang juga memupuk. Apapun pekerjaanya saya lakukan mbak. Dulu saat kedua orang tua Mas Yitno masih hidup, beliau juga sering membantu saya walau keadaan mereka juga pas-pasan kala itu,"
" Bukanya, lahan Bang Yitno ditanami sayur bu ?"
" Itu yang selatan mbak. Yang utara jauh lebih luas. Mas Yitno kan juragan atuh,"
Bang Yitno bukan main. Kepakan sayapnya cukup tinggi terlepas dari mana ia berasal dan penampilanya.
" Gusti Allah Maha Baik ya mbak. Kebaikan orang tua Mas Yitno di ganti dengan kesuksesan anak-anak mereka berkali - kali lipat,"
Bukanya yang sukses hanya Bang Yitno. Ke

Comentário do Livro (696)

  • avatar
    Al azzamiFatih

    baik

    7d

      0
  • avatar
    Edwar Syalom Sangka

    menarik

    7d

      0
  • avatar
    Izzah afkarinaIzzah afkarina

    baik

    10d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes