logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

5

Aku harus bertanya pada siapa tentang pria aneh yang kini bergelar suamiku ini ? Bahkan aku juga tidak tau keluarga dan saudara-saudaranya.
Malam ini, aku mengendap keluar kamar. Di ruang tengah ada sebuah lemari. Mungkin disana aku bisa menemukan riwayat hidup suamiku. Karena lemari di kamar hanya berisi baju. Lama aku mencari, hampir isi dari setengah lemari telah aku keluarkan. Tetapi aku belum menemukan apa yang aku cari. Setelah rasa menyerah menghampiri dan pasrah tentang kehidupan kedepanya, tanganku menyentuh sesuatu dipinggir lemari yang sepertinya sengaja disembunyikan. WISUDA SARJANA.
Penasaran aku membukanya. Ijazah siapa di lemarinya ini. Atau jangan-jangan ijazah mantan istrinya ? Apa Mas Yitno itu duda ?
Daripada penasaran, aku buka saja dalamnya. Betapa aku tercengang. Nama yang tertera di ijazah itu Suyitno. Sarjana Pertanian.
Ulah apalagi yang disembunyikan. Dia haji juga sarjana, juragan. Belum selesai aku cemberut serasa dibohongi tiba tiba dari balik lemari, dia mengagetkanku.
" Cari apa dik ?" tanya Bang Yitno mengagetkanku. Aku kelabakan dibuatnya. Tapi aku harus terlihat tenang.
" Cari kebenaran bang,"
"Cari kebenaran kok di lemari. Memang begitu ya cara orang kota ?"
Aku mendengkus kesal.
" Kenapa harus ditutupin sih bang ?"
" Malu atuh kalau nggak ditutupin dik," jawabnya cengengesan.
" Baaangggg," gertak ku.
" Kenapa lagi sih dik ?"
" Abang itu haji juga sarjana. Kenapa tidak bilang,"
" Adik juga tidak tanya kok. Abang tidak suka dilebih lebihkan dik. Kadang orang tulus itu kita dapat saat dia mengetahui kita rendah tetapi dia masih mau membersamai. Kalau abang bilang ke semua orang, ke teman-teman kalau abang sudah haji, sarjana pula. Mereka mendekati abang bisa karena hanya modus. Adik paham ?"
Aku mengangguk. Disaat yang lain berlomba-lomba memamerkan keberhasilan dan pencapaianya. Justru suamiku punya cara pandang tersendiri. Ada kehangatan menjalar dalam jiwa. Ayah, lelaki yang engkau hadirkan penuh misteri tetapi dia baik hati.
*
" Dik, abang ke sawah dulu ya. Adik berani ?"
" Gini-gini aku atlit pencak silat bang. Beranilah. Tumben sekali abang ke sawah ?"
" Iya. Sayur disamping pohon pete kemarin siap dipanen."
" Sayur ? Berarti lahan sebelah kebun pete kemarin juga punya abang ?"
Dia mengangguk.
Aku tak habis pikir, bahwa ayahku yang seorang pensiunan TNI berpangkat tinggi pun tidak memiliki lahan seluas milik Bang Yitno.
" Bang, abang kok bisa lahanya banyak begitu ?"
" Mau tau ceritanya dik ? Pahit dek."
" Kok pahit ? Bukanya enak ya punya lahan banyak itu,"
" Iya. Perjuanganya pahit tetapi hasilnya manis. Sedari kecil, abang itu menggembala sapi. Kalau sudah besar abang jual, untungnya buat beli tanah. Kan tanah tidak mengalami penyusutan. Nilainya justru bertambah setiap tahun. Tanah di tanami, lalu menghasilkan. Untung juga kan ? Dan itu terjadi hingga abang dewasa,"
Aku semakin kagum saja dengan Bang Yitno. Dewasa nya ia berpikir, sudah tertanam sedari kecil.
" Ya sudah sarapan dulu yuk bang,"
Bang Yitno menurut. Kami duduk di depan televisi. Dia tidak punya meja makan. Terlalu formal katanya. Lebih santai di depan tv.
" Kok roti dek ?"
" Iya. Kemarin bang sayur bawa ini, aku beli. Sekali-kali nyoba sarapanya orang kota bang,"
" Abang bisa pingsan di sawah dek kalau hanya sarapan roti. Lagipula orang kota yang sarapan roti tidak melakukan pekerjaan berat jadi mereka kuat,"
"Lah memang abang juga melakukan pekerjaan berat ? Abang kan cuma lihat. Ada yang memanen sendiri."
" Abang tetap bantu dek. Rasanya kasihan gitu lihat orang lain kerja keras sementara abang cuma lihat."
Kadang aku geleng kepala dengan pikiranya yang luar biasa unik itu. Tetapi tetap bersisi positif.
Setelah ku buatkan nasi goreng, Bang Yitno lalu berangkat ke sawah. Aku menyapu teras depan yang kotor terbawa angin.
Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depan rumah. Seorang perempuan paruh baya dan perempuan yang ku taksir seumuran denganku turun dari motornya.
" Ini istrinya Yitno ?" tanyanya sinis.
Aku mengangguk dan tersenyum.
" Suami kamu itu penipu dan pembohong," ujar wanita itu yang membuat aku cukup terkesiap.
Ibu itu menyerangku tiba-tiba. Aku yang tidak tahu masalahnya, bingung harus menjawab apa. Karena mengenalnya pun aku juga tidak.
" Bu, silahkan masuk ke dalam dulu. Kita bicara baik-baik. Jujur saya tidak mengerti maksud ibu. Sekalian menunggu Bang Yitno pulang." ajakku dengan pelan.
Akhirnya anak dan ibu tersebut mau masuk.
" Begini ya mbak. Saya kesini bukan ingin ketemu Yitno. Tetapi saya mau melampiaskan kekesalan saya. Dia berjanji akan menikahi putri saya. Dan sabar menunggu hingga kuliah nya di Semarang selesai. Tetapi nyatanya ia malah menikah dengan kamu. Kamu sadar tidak menikah dengan calon suami orang ?"
Degg... Bagai di hantam petir di atas kepala. Aku yang baru saja bahagia menikah dengan Bang Yitno, harus memakan kenyataan sedemikian pahitnya. Apa aku ini juga pantas disebut pelakor ? Padahal aku hanyalah korban.
*
" Dik, kenapa kopernya dikeluarkan ?"
Bang Yitno kaget melihatku yang telah duduk di ruang tamu serta membawa koper.
" Dulu abang memintaku kelada ayah dengan cara baik-baik.Sekarang pulangkan aku juga dengan cara baik-baik bang," ucapku sesenggukan.
" Dik, kamu kenapa ? Kalaau abang ada salah abang minta maaf.Tapi tolong jangan begini."
" Tepati janji abang. Janji adalah hutang. Yang sampai akhirat pun juga akan ditagih. Nikahi Tina. Dan kembalikan aku pada ayahku,"
Bang Yitno justru tertawa kecil.
" Dua orang gila tadi habis kesini ya dik ?"
Aku menoleh tajam. Ia menyebutnya orang gila. Apakah tadi yang ku persilahkan masuk juga orang gila ?"
" Maksud abang ?"
" Dulu memamg abang berniat menikahi Tina. Abang bersedia menunggu dia hingga tamat kuliah. Tetapi justru dia berpacaran dengan orang lain dik. Karena menganggap abang itu jadul, abang ndeso, abang kuno
Bahkan orang tua. nya juga terang-terangan menolak abang. Yasudah abang mundur. Lalu dia hamil, sedangkan laki-lakinya tidak bertanggung jawab. Orang tuanya justru meminta abang menikahinya. Abang nggak mau lah. Menanggung perbuatan orang lain,"
" Itu alasan abang juga buru-buru menikah ?"
" Iya itu salah satu alasanya."
" Berarti aku hanya pelarian ?" tanyaku semakin cemberut.
" Jauh sebelum abang hendak menikahi Tina, abang sudah menyukai kamu dik,"
" Kok bisa ? Kita kan belum pernah bertemu,"
" Kita dulu itu satu kampus. Aku senior mu. Tetapi aku hanya bisa mengagumi mu dari jauh,"
" Senior ? Rasa-rasanya aku tidak pernah bertemu abang,"
" Pernah dik. Tetapi tidak terekam di ingatan kamu. Orang ndeso kayak aku apa bisa terselip di pikiran putri TNI sepertimu dik,"
" Abang serius dengan ucapan abang barusan ?"
" Tanyakan seluruh orang kampung. Mereka sudah tau masalah ini,"
Jangan kira aku tidak akan cari tahu bang. Aku berani cari tau kebenaranya. Sebelum aku terjerumus lebih dalam.

Comentário do Livro (696)

  • avatar
    Al azzamiFatih

    baik

    7d

      0
  • avatar
    Edwar Syalom Sangka

    menarik

    7d

      0
  • avatar
    Izzah afkarinaIzzah afkarina

    baik

    11d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes