logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

2

Rumah yang menurutku sederhana namun layak. Aku kira rumah orang desa berdinding anyaman bambu beralaskan tanah. Tetapi rumah Bang Yitno sudah tembok dan keramik. Walau tidak semewah rumah-rumah di kota. Tetapi rumah ini tergolong bagus untuk ukuran desa. Tampak lantainya bersih juga mengkilap. Terlihat Bang Yitno telaten membersihkanya.
" Dek, besok ada syukuran pernikahan kita,"
" Oh iya ? Abang pesan makanan apa untuk acaranya ?"
" Disini tidak ada acara pesan begitu dik. Paling snack nya yang pesan. Makananya buat sendiri,"
Aku tercengang. Mana bisa aku masak sendiri dalam jumlah besar. Lagipula ku lihat magicom hanya satu berukuran sedang. Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk menanak nasi ?
" Jangan takut dik. Besok ada ibu-ibu yang membantu," Bang Yitno seakan mengerti kegelisahanku.
Kak Mayang pernah bilang bahwa ibu - ibu desa itu suka bicara pedas. Aku bergidik takut.
" Dik, ini beras yang dimasak besok,"
Bang Yitno mengajak ku ke sebuah ruangan yang hampir dipenuhi dengan berkarung-karung beras. Kalau dimakan berdua cukup lah untuk lima tahun.
" Kenapa abang beli beras sebanyak ini ?"
" Dik, ini hasil sawah abang,"
Aku berpikir hasil sebanyak ini, tentu Bang Yitno tidak menjual nya. Lalu apa dikata keluarga hanya perlu makan ? Bukankah juga perlu kebutuhan lain seperti sabun, pasta gigi. Tapi biarlah aku tak enak hati tanya bermacam- macam.
" Dik, kalau kamu mau ambil bumbu, di belakang ya,"
" Iya bang,"
Aku segera pergi ke dapur. Ku lihat wadah bumbu yang ditata rapi. Tapi semuanya sudah habis tak bersisa. Lupa atau bagaimana Bang Yitno ini.
" Bang.. Abang," teriak ku.
Bang Yitno bergegas menghampiriku.
" Ada apa dik ?"
" Mana bumbunya ? Tidak ada satupun bumbu yang ada,"
Dia justru tertawa kecil.
" Di belakang dik. Di kebun belakang,"
Aku digandengnya ke belakang rumah. Ku lihat hamparan tanaman cabai, tomat, aneka umbi-umbian dan sayur. Segar dipandang mata. Artinya tidak perlu bekerja, setidaknya kami bisa makan. Tetapi apakah memang begitu kenyataanya ?
***
Keesokan harinya berbondong-bondong ibu-ibu datang ke rumah seraya memperkenalkan diri.
" Yitno ternyata pintar ya mencari istri. Cantik,"
" Anak muda zaman sekarang. Mana ada yang kayak kita dulu. Bedakan pakai tepung beras juga dibilang cantik,"
Semua yang ada terkekeh. Disini semua murah senyum. Tidak ada yang membicarakan orang lain. Yang ada hanya melontar canda.
" Neng, berasnya mana. Sini biar yang mbok masak,"
" Mbok tapi maaf magicomnya hanya satu,"
Si mbok tersenyum memperlihatkan giginya yang sudah hilang termakan usia.
" Ya masak di kayu atuh neng. Kalau masak di magicom ya tidak kunjung selesai."
Aku merasa malu dibuatnya. Seumur umur belum pernah aku melihat orang memasak di atas tungku api yang menyala.
Aku memdekati mereka. Ikut membantu apa yang kurang.
" Neng di dalam aja atuh. Tuan rumah apalagi pengantin baru kok turut di dapur,"
Aku tersenyum kikuk. Tak enak hati. Tetapi ibu-ibu itu tetap memaksa ku untuk ke dalam.
" Asalamualaikum,". Terdengar suara salam dari luar. Seorang pria muda berdiri di depan pintu.
" Mbak, ini ada undangan buat suaminya,"
" Terimakasih ya," ucapku sembari menerimanya.
Aku mengernyitkan dahi membaca nama yang tertera di undangan itu. H. Yitno. Bukankah nama Bang Yitno itu hanya Suyitno. Lalu apa singkatan huruf H di depan ini ? Harianto, Haryadi atau Hartono. Atau justru jangan-jangan Haji Yitno ? Apa Bang Yitno Haji ? Ah kenapa laki-laki selalu menuai penasaran.
" Ada apa neng kok sepertinya bingung ?" tanya si mbok yang kebetulan melihatku saat mengambil beras.
" Ini mbok. Nama Bang Yitno itu depanya apa ya. Di undangan kok ada tulisan H. Yitno,"
" Namanya ya tetap Suyitno atuh. Itu Haji Yitno. Memang kadang Yitno tidak mau dipanggil Pak Haji,"
Aku geleng-geleng kepala. Benar heran kenapa juga tidak bilang aku. Apa untung nya disembunyikan. Apalagi dengan keluarga besar ku. Suami kakak-kakak ku belum ada yang bergelar haji. Kenapa Bang Yitno diam saja saat dihina.
Aku memendamnya hingga acara syukuran kami selesai. Bukain main makanan yang disuguhkan. Banyak macamnya, perniknya melebihi orang kota. Walaupun hanya syukuran. Snack yang berisi bermacam-macam kue. Serta nasi kotak menjadi buah tangan untuk mereka yang hadir.
" Aku senang kalau ada hajatan di rumah Kang Yitno. Makananya banyak," celetuk salah satu pemuda yang kebetulan aku mendengarnya. Berarti memang Bang Yitno selalu royal jika ada hajatan begini. Ia hanya menjadi petani tetapi sepertinya ia banyak harta.
*
Selesai acara aku memberondong Bang Yitno dengan segudang pertanyaan.
" Bang, Abang sudah Haji ya kok tidak beri tau aku ?" tanyaku dengan memasang muka cemberut.
" Lha kamu nggak nanya dik. Lagipula abang tidak suka di koar-koarkan. Tidak perlu manusia tau yang penting Allah yang tau,"
" Sudah lama bang Haji nya ?"
" Sepuluh tahun yang lalu. Kenapa kamu juga ingin dik ?"
Alih-alih menjawab pertanyaanya. Aku serasa semakin kesal di buatnya. Ia laki-laki yang menyisakan banyak teka-teki. Tetapi di balik itu semua ada sikap rendah hati yang dia sembunyikan.
" Abang itu ada pekerjaan lain ya ? Hingga bisa naik haji ?"
" Pekerjaan lain apa maksudnya dik ? Pekerja kantoran gitu ? Abang petani dik. Setiap hari di rumah,"
" Atau jangan-jangan orang tua Abang meninggalkan warisan yang banyak ?"
" Iya. Tanah yang kubangun rumah ini dek. Bapak ku tidak punya sawah semeterpun. Kalau warisan orang tua ku banyak, tentu saudara-saudara abang tidak kocar-kacir merantau di luar kota.
" Abang punya saudara ?"
" Ada dua orang merantau di pulau seberang. Kakak ku yang pertama jualan sabun. Yang kedua kerja di stasiun,"
Aku menunduk. Memang Bang Yitno bukan berasal dari orang berada. Kata-kata kakak ku semakin terngiang ngiang di telinga. Apakah memang aku akan hidup miskin ? Lalu kenapa ayah membiarkan putri bungsunya yang beliau cukupi dari kecil hingga tidak kekurangan sedikitpun dibiarkan menikah dengan pria aneh ini ?
*
Keesokan paginya. Bang Yitno hanya duduk-duduk di teras sembari menyeruput kopi. Katanya petani, kenapa tidak ke sawah. Terlihat santai sekali hidupnya.
" Bang," panggilku dengan cemberut.
" Kenapa sih dek ? Kok cemberut terus,"
" Udah hampir siang bang. Abang tidak bekerja ?"
" Kan sudah abang bilang. Abang bukan pekerja kantoran. Abang hanya petani."
" Iya-iya tau. Apa Abang tidak ke sawah ?"
" Nanti dulu dek. Kalau sempat,"
" Abang," ucapku semakin geram.
" Apa lagi dek ?"
" Jangan malas bang. Kalau abang malas, kita mau makan apa ?"
" Beras masih banyak dek. Sayur mayur beserta bumbu di belakang rumah melimpah ruah. Tidak usah khawatir,"
Dikira beli sabun juga pakai sayur mungkin...

Comentário do Livro (696)

  • avatar
    Al azzamiFatih

    baik

    7d

      0
  • avatar
    Edwar Syalom Sangka

    menarik

    7d

      0
  • avatar
    Izzah afkarinaIzzah afkarina

    baik

    11d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes