logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 9 Ngerinya Hutan Baluran

Pasir putih, semula kami membayangkan pasirnya berwarna putih, lautnya berwarna putih, ikannya berkulit putih, perahu-perahu yang terombang-ambing di bibir pantai dicat warna putih, begitu pula losmen-losmen atau penginapan di sekitarnya diwarnai putih menyesuaikan namanya. Ternyata semua itu hanya nama.
Banyak pantai-pantai di pulau Jawa yang memiliki pasir berwarna putih, toh tidak dinamakan pasir putih. Pasir Putih mungkin memang dulunya pasirnya putih seputih kapas. Namun, yang jelas-jelas membuat kami penasaran, katanya, air laut di sini rasanya tidak asin melainkan tawar. Mungkinkah ada air laut rasanya tawar?
Bisa jadi itu hanya akal-akalan warga setempat supaya orang penasaran dan kemudian mengunjungi Pasir Putih.
Sepengetahuanku di mana-mana air laut rasanya asin. Kalau ada air laut rasanya tawar, berarti Tuhannya sudah ganti. Bukan Allah lagi melainkan allih.
Sayang sewaktu melewati Pasir Putih kami hanya terpekur. Pemandangan laut Pasir Putih yang kata orang indah tidak dapat kami nikmati seperti PLTU Paiton mengingat hari sudah larut. Jangankan berhenti untuk sekedar menyulut rokok, melihat lautnya di malam hari saja tidak kentara. Yang terdengar hanya desir ombak membelah karang dan lampu kelip perahu nelayan tampak dari kejauhan.
Bukan itu saja, suasana malam sepanjang jalan Situbondo benar-benar membuat nyali kami ciut. Sejak keluar dari Paiton perasaan kami dihinggapi takut dan was-was. Sebab di kawasan Pasir Putih, penerangan jalan sangat ngirit. Belum lagi jarak antara rumah penduduk yang satu dengan lain berjauhan.
Kami bukan takut dihadang penjahat, mengingat kami tidak membawa bekal berlebih. Yang betul-betul membuat kami ketakutan bagaimana seandainya ban motor meletus di tengah jalan. Kalau itu yang terjadi apa yang mesti kami perbuat?
Tanpa Yoga bertanya pun, tiada pilihan selain bermalam di jalan bila sewaktu-waktu ban bocor.
Di sini tambal ban memang ada, cuma jaraknya berkilo-kilometer. Masih beruntung kami dapat menemui satu tambal ban, selebihnya kami buta seluk beluk Situbondo. Belum lagi kami harus menghindari jalanan Pasir Putih bergelombang dan berlubang yang sewaktu-waktu dapat membahayakan keselamatan ban kami.
Selama mengendarai motor, baik aku dan Yoga tidak mengucap sepatah kata. Jelas saat itu kami benar-benar dihinggapi rasa takut tingkat tinggi. Makanya untuk menghilangkan perasaan takut, aku mencoba bersembunyi di balik helm sembari bersiul, sesekali saja bersenandung. Sedang Yoga, aku sendiri tak tahu apa yang ada di pikirannya. Bagaimana dia menaklukkan perasaan takutnya. Yang jelas setelah keluar dari Paiton kami lebih banyak membisu. Sesampai di Pasir Putih sesuatu terjadi.
“Stop!” Mendadak dia memintaku berhenti.
“Kenapa Yog?” Seolah kami tahu perasaan masing-masing. Yoga berusaha mengusir kegelisahanku.
“Gantian Al, biar aku yang joki!” Serunya.
Kebetulan badanku sudah pegal dan mataku sangat lelah memperhatikan jalanan yang tiada habis. Kami berhenti sejenak di depan sebuah penginapan.
Hari makin larut. Kalau saja kami punya cukup uang pasti akan mampir ke penginapan daripada meneruskan perjalanan mengerikan ini.
Penginapan di depan kami seolah mengejek dengan bayangan kasur, bantal, dan guling yang empuk, serta hidangan ikan laut yang segar. Buru-buru kutepis perasaan tidak nyata tersebut. Lebih baik memikirkan perjalanan ini ketimbang membayangkan sesuatu yang mustahil.
Kali ini giliran Yoga yang nyetir. Tak beda jauh ketika duduk di belakang, pun dia masih mengunci mulutnya rapat-rapat. Sementara aku cukup bangga dengan menjadi navigator amatiran. Kadang aku berusaha memecah kesunyian malam dengan sesi tanya jawab yang tak jelas jluntrungannya.
Lagi-lagi Yoga menyahuti sekenanya seolah pertanyaan tersebut tak patut dijawab. Memasuki Penarukan sebelum kota Situbondo kami memutuskan mengisi bahan bakar. Laju motor sedikit dikurangi sambil mata melotot tengok kanan kiri mencari SPBU.
Selama lima belas menit kami tak menemukan SPBU. Jarum speedometer menunjukkan bensin dari feul (penuh) mendekati empy (habis).
Kami pun berhenti di sebuah warung yang jauh dari rumah-rumah penduduk. Warung tersebut menyediakan bensin eceran. Yoga sedikit ngomel:
Huh, bensin eceran.
Dia khawatir bensin eceran telah dicampuri minyak gas yang dapat merusak mesin motor. Betapa telitinya temanku ini. Tapi kemudian kukatakan bahwa kita tidak mungkin mencari SPBU di tempat sepi seperti ini. Apalagi kita tak tahu berapa jauh jarak SPBU dari sini (tempat kami berhenti). Bagaimana seandainya tiba-tiba kehabisan bensin di tengah jalan?
Sebagai navigator kata-kataku cukup mengena. Kami berhenti di warung tersebut. Tempatnya sepi. Pun jalanan malam hari masih tak segan menunjukkan kebengisannya. Hanya satu dua kendaraan roda empat yang melintas. Selebihnya kendaraan besar, seperti truk, trailer, dan bus pariwisata. Motor, jangan harap berani lewat sini. Jangankan orang asing, warga setempat saja tak berani keluar malam hari.
Aku malah sempat berpikir apa mungkin kami sudah gila menembus Situbondo di malam hari tanpa memikirkan akibatnya. Mentang-mentang arek Suroboyo dengan cap Bonek (bondo nekat) berani menempuh perjalanan Surabaya–Denpasar.
Untuk sementara pikiran itu kami buang jauh-jauh. Yoga duduk di depan warung. Dia berusaha menghilangkan kegelisahan dengan memencet tombol hape, SMS sana sini. Aku sendiri larut dengan kegelisahanku di dalam warung sembari menikmati kopi yang disuguhkan pemilik warung.
“Pak, emang berapa lama lagi dari sini ke Ketapang?” Tanyaku.
Jawaban lelaki tua pemilik warung sangat tidak mengenakkan hati. Dia bilang jaraknya masih separuh perjalanan bila dari Surabaya ke Ketapang.
Sontoloyo, apa dia tidak tahu kesusahan yang sedang kami hadapi.
Tidak puas dengan jawaban lelaki tua tersebut, kubertanya ke perempuan muda di sebelahnya yang ternyata anaknya. Jawaban perempuan itu tak beda jauh dengan bapaknya. Katanya jarak ke Ketapang masih 40 kilometer.
Ya Allah, sampai kapan perjalanan ini akan berakhir. Begitu jauh perjalanan yang kami tempuh sementara hari sudah larut. Jika perjalanan diteruskan kami tidak bisa membayangkan apa yang bakal menimpa nanti.
Daripada stres memikirkan jawaban kedua orang tersebut, lebih baik aku memikirkan yang lain.
Kayla, kekasihku bagaimana kabarmu di sana. Belum selesai angan-anganku menembus Kayla, tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk.
Kayla mengirim SMS.
“Sayang, bagaimana kabarmu di sana?”
Kubalas kalau kami sudah sampai Penarukan. Kami sekarang berhenti di sebuah warung setelah mengisi bensin 1 liter, selain itu kami sedang menikmati kopi untuk menghilangkan rasa kantuk.
Kayla membalas lagi.
“Kata papa kamu disuruh hati-hati. Soalnya papa pernah naik mobil melewati sebuah hutan. Tiba-tiba di tengah jalan papa dicegat beberapa orang tak dikenal mengenakan cadar. Papa dirampok. Beruntung saat itu papa bilang hanyalah supir dan memiliki keluarga di rumah. Para perampok itu keder dan mempersilahkan papa meneruskan perjalanan. Tapi sebelumnya papa harus meninggalkan upeti. Semua uang papa ludes dikuras perampok, jam tangan rolex diambil paksa termasuk barang-barang berharga lain di mobil. Jadi kamu yang hati-hati ya sayang.”
Dasar Kayla tak paham kondisi kami. Kenapa dia malah mengirim pesan menakutkan semacam itu. Bukannya mencairkan suasana justru makin menambah suasana runyam.
Tentu saja SMS Kayla tidak kusampaikan ke Yoga. Kalau temanku itu sampai tahu bisa-bisa dia mogok. Belum lagi satu masalah ketakutan ban bocor selesai, muncul lagi masalah baru.
Sebaiknya SMS Kayla segera kuhapus. Jika nanti terjadi sesuatu di tengah jalan kami memilih pasrah. Saat ini yang kami pikirkan adalah bagaimana tiba di Denpasar tepat waktu. Sebab orang-orang di sana pasti sudah menunggu.
Setelah menghabiskan dua batang rokok, kami melanjutkan perjalanan. Yoga masih duduk di depan dengan jaket parasit serta helm standar, dan aku sebagai navigatornya.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Entah berapa lama lagi kami tiba di Ketapang. Namun sebelum itu kami harus melewati hutan Baluran yang terkenal mengerikan.
Setelah berhenti di SPBU kami melanjutkan perjalanan menuju kota Situbondo. Jalanan di perkampungan sepi dan lengang. Rumah-rumah penduduk sudah tutup. Hanya tampak lampu-lampu petromak menerangi penghuni rumah. Kelihatannya para penghuninya memilih berlindung di rumah ketimbang merasakan dinginnya udara malam. Sementara kondisi cuaca saat itu sangat tidak mendukung.
Sewaktu beranjak dari warung kopi, kami tiba-tiba dihantam gerimis air dari langit. Yang membuatku geram, ternyata Yoga tidak membawa jas hujan. Dia bilang yang ada di jok motor cuma buku-buku.
Brengsek, lagi-lagi buku, di ranselnya terdapat buku, di jok motor juga buku. Sepintas amarahku memuncak. Jauh-jauh melakukan perjalanan ternyata dia tak menyiapkan perbekalan memadai. Aku tak bisa membayangkan bagaimana seandainya hujan turun dengan lebat, apa kita mesti berteduh di tengah jalan? Ini masalah baru bagi kami. Beruntung yang datang cuma gerimis sehingga kami tak perlu berhenti.
Makin lama udara malam kian dingin. Beberapa kali aku harus meniup telapak tangan. Setelah setengah jam akhirnya kami sampai di kota Situbondo. Berikutnya kami memasuki Taman Nasional Baluran. Baik Yoga maupun aku tidak paham rute hutan Baluran. Setelah melewati tikungan menanjak kami pun bertemu dengan pintu gerbang hutan Baluran.
Taman Nasional Baluran berbatasan antara Situbondo dan Banyuwangi. Lokasinya terletak di Batangan, Wonorejo. Luas wilayahnya sekitar 25.000 ha. Bila menempuh perjalanan dari Banyuwangi–Batangan jaraknya 35 kilometer, sebaliknya dari Situbondo–Batangan berjarak 60 kilometer.
Taman Nasional Baluran merupakan perwakilan ekosistem hutan yang spesifik kering di Pulau Jawa, terdiri dari tipe vegetasi savana, hutan mangrove, hutan musim, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan rawa dan hutan yang selalu hijau sepanjang tahun.
Selain itu, di sini juga terdapat sumur tua yang menjadi legenda masyarakat sekitar. Legenda tersebut menceritakan bahwa kota Banyuwangi, Bali dan Baluran sama-sama menggali sumur. Konon, apabila sumur di masing-masing kota tersebut lebih dahulu mengeluarkan air dan mengibarkan bendera berarti kota tersebut akan merupakan sentral keramaian kebudayaan.
Beberapa obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi adalah Batangan. Melihat peninggalan sejarah dan situs berupa goa Jepang, makam putra Maulana Malik Ibrahim, atraksi tarian burung merak pada musim kawin antara bulan Oktober-November dan berkemah.
Namun demikian, semua keindahan tersebut terpaksa kami lewati begitu saja. Masalahnya rasa kantuk dan penat mulai menyerang kami. Sementara perut rasanya keroncongan. Malam itu cuaca belum mendukung kami. Masih gerimis. Aku tidak sanggup membayangkan kalau papa Kayla pernah dirampok di hutan ini.
Ah, sudahlah itu masa lalu. Semakin banyak aku memikirkan peristiwa itu semakin tidak jelas rasa takutku. Sementara Yoga tetap diam seribu bahasa. Seolah dia sudah masuk dengan dunianya sendiri. Entah takut atau kesurupan setan Baluran.
Dari ketika masuk pintu gerbang hingga keluar hutan tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Hari sudah menunjukkan pukul 00.00. Hutan Baluran yang kata orang indah dan menyenangkan, bagi kami mirip neraka kegelapan.
Selama perjalanan tak satu pun motor yang melintas. Jalanan sangat sepi, gelap dan menyeramkan. Hanya mobil pribadi yang berpapasan dengan kami. Dari belakang kadang beberapa mobil pribadi mengklakson kami dan kemudian melewati begitu saja.
Aku sempat membayangkan kiranya apa yang sedang dipikirkan pengemudi mobil bila melihat kami. Aku sekedar menebak: mereka pasti bilang kami gila mengendarai motor di malam hari dengan keluar masuk hutan.
Ketika baru setengah perjalanan, kami dikagetkan oleh beberapa orang berdiri di tengah jalan. Dengan penerangan seadanya mereka memberi aba-aba supaya melambatkan motor kami.
Apa ini perampok, pikirku. Mungkinkah mereka ini yang dulu merampok papa Kayla? Kalau memang benar mereka perampok, maka aku sudah bersiap-siap turun dari tempat duduk dan melepas helm teropongku. Jika sewaktu-waktu mereka berbuat kurang ajar, akan kupukulkan helm ini ke mereka. Aku tidak peduli apakah mereka membawa senjata tajam. Yang jelas kami sudah berusaha sekuat tenaga. Setelah dekat, ah ternyata mereka sedang memperbaiki jalanan yang rusak. Syukurlah!
Yoga kembali memacu motornya. Dia bagai orang kesurupan tak mempedulikan sekelilingnya. Sepanjang perjalanan di hutan Baluran yang kulihat hanya kegelapan. Pun jalanan berkelok-kelok dengan tanjakan naik turun yang cukup mencengangkan adrenalin.
Dari kejauhan kami melihat satu buah spanduk bertengger di tengah jalan bertuliskan: Hati-hati keluarga menunggu di rumah (Di bawahnya tertera Polres Situbondo).
Sialan, siapa pula yang membuat spanduk semacam ini. Apakah di sini kerap terjadi kecelakaan sehingga mereka menuliskan kata-kata semacam itu, apa mereka tidak tahu kesulitan yang kami hadapi?
Kenapa si pembuat harus melibatkan nama keluarga. Kenapa tidak menulis hati-hati di jalan banyak terjadi kecelakaan, seperti spanduk-spanduk umumnya. Orang yang menuliskan kata tersebut pastilah tidak waras, atau barangkali keluarganya pernah mengalami kecelakaan di tempat ini, atau mungkin dia ingin dianggap kreatif. Yang jelas kata-kata di spanduk tersebut telah membuat darah kami mendidih.
Apakah dengan kata-kata tersebut mengharuskan kami melambatkan motor?
Tidak, temanku tetap memacu motornya dengan kencang tanpa peduli sekitarnya. Bagi temanku nasehat jalanan tersebut hanya bualan orang gila. Setidaknya dia cuma ingin tiba di Ketapang. Begitulah yang kutangkap.
Ketika menuruni tanjakan berbelok, tiba-tiba Yoga melambatkan motor dan berkata, “Al, coba kamu lihat ban belakang. Apa bocor?”
Lagi-lagi masalah ban dingatkan. Padahal aku sudah lupa. Seketika perasaanku bergema di tengah kesunyian hutan Baluran. Bagaimana seandainya memang bocor. Apakah kami harus menginap di hutan.
Ketika menuruni tanjakan kami memang merasakan ban belakang sedikit oleng. Tapi hal ini bukan disebabkan ban bocor melainkan berat tubuh ditambah jalanan tidak rata. Tanpa melihat ban belakang dan berusaha untuk menenangkan Yoga kubilang begini, “Tenang, ga bocor kok!”
Sepertinya dia sedikit lega mendengar kata-kataku. Tetap saja aku merasa was-was. Jika memang ban bocor mungkin itu sudah nasib kami. Jika hutan tempat kami bermalam, maka biarlah.
Walhasil setelah beberapa menit ternyata motor masih berjalan lancar. Kata bocor kian menjauh. Tak berapa lama akhirnya kami keluar dari hutan Baluran.
Ah, leganya. Saat itu kami memasuki Desa Wongsorejo. Sebuah nama yang mirip dengan nama kakekku. Di sebuah SPBU kami berhenti sejenak sambil melepas ketegangan.
Suasana hati kami memecah. Yoga sudah mulai tertawa lepas. Bahkan dia turun dari motor dan melakukan senam ringan untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku.
Benar dugaanku sepanjang perjalanan tadi kami memang dihinggapi ketakutan tingkat tinggi. Kini, semua perasaan tersebut telah terkikis. Setelah menghabiskan satu batang rokok, perjalanan kami lanjutkan. Kali ini giliran aku yang pegang setir. Tak butuh waktu lama kami akhirnya tiba di pelabuhan Ketapang Banyuwangi.
[bersambung]

Comentário do Livro (454)

  • avatar
    GunartoYoyok

    saya suka critanya

    06/02

      0
  • avatar
    SuryaEvan

    Love you

    22/02/2023

      0
  • avatar
    Galawar Samudra. Suwakul

    Sangat bgus pembahasanya

    07/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes