logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 47 Terima Kasih, Arif

Pov Icha.
Setelah pertemuan dengan Kak Faisal di toko buku, dan menerima tawaran untuk menyanyikan puisi ciptaannya, rutinitasku menjadi sedikit berwarna. Apalagi, konten YouTube bertema lagu cinta buatan Kak Faisal, menarik viewers sama banyak dari lagu-lagu sebelumnya. Tidak apa-apa semakin capek, hasil tidak pernah mengkhianati proses, kok.
Arif, laki-laki pengusaha itu berubah drastis tanpa sebab. Pengertian, berkurang over protektif, bahkan semakin banyak waktu membantu vlog-ku. Entah, salah makan obat kali, ya!
Barangkali, Arif mulai sadar dan bisa menerima sebagai teman. Cinta memang tidak bisa dipaksa.
Semula aku berpikir begitu. Bahkan, perlahan bisa membuka hati yang dulu menegaskan 'cinta itu bullshit' menjadi 'cinta itu permulaan bahagia'
Mungkin tidak ada salahnya aku menerima Arif sebagai teman hidup yang nyata. Dia di sini, di sampingku, dan bisa tergapai. Bukan Kak Aldin ... sebatas impian pada langit-langit kamar. Arif sudah berubah menjadi lebih baik, aku yakin ke depan pasti baik sampai nikah.
Akan tetapi, semua yang hampir menjadi rasa sayang itu, hancur berkeping-keping bersama rasa malu yang kuterima kemarin siang. Iya, saat seorang wanita bernama Nania datang ke kantor ditemani Kak Arhan. Hanya untuk memaki, membenarkan berita bohong Revi di depan semua rekan kerja.
Tidak cukup sampai di situ, Nania membeberkan isi chatnya dengan Arif, rekaman telepon di mana laki-laki itu mengatakan aku pacarnya. Semua orang yang kudekati adalah sampah yang pasti dibuang kalau sudah habis manfaatnya. Syok, malu, sakit hati ... belum reda semua itu, Pak Bos sudah memecat dengan tidak hormat. Beliau pamannya Arif, jelas bela ponakan, dong!
Datang ke kantor Arif membawa segunung amarah, sudah. Namun, dia 'sebatas merasa bersalah. Entah terbuat dari apa hati dan keegoisan laki-laki itu, masa bodo atas semua kebencianku. Di kantor Arif memang terlihat kalut, tapi sampai hari ini permintaan maafnya selaras iming-iming pernikahan.
Aku muak, menyesal pernah jadi bagian kebaikannya!
"Woy, ngelamun terus!"
Lisa, gadis jail sekaligus baik yang memberikan pinjaman apartemen Papanya untuk tempat tinggalku sementara, datang seperti nenek sihir Rapunzel. Bukan makanan yang dia bawa, tapi tes kekuatan jantung. Iya ngagetin, habis itu terbahak-bahak nyebelin.
"Kurang asem! Datang udah kayak nenek sihir, tahu!" umpatku. Pura-pura marah. Iya kali mana bisa marah beneran. Kan, aku numpang tempat tinggal.
"Habis dari tadi dipanggil nggak nyaut. Pegangan pagar pembatas, kirain mau bunuh diri!" ledek Lisa sebelum kembali tertawa.
"Dasar toxic!" Aku langsung masuk apartemen, meninggalkan Lisa yang masih terbahak penuh kemenangan.
Rekan kerjaku yang ternyata Kakak kandung Safira itu, mengekor masuk. Diempaskan tubuhnya pada sofa di sebelah tempatku duduk. Sementara, aku pura-pura memeriksa file di laptop sisa pekerjaan kantor yang aku bawa pulang.
"Kamu masih mikirin Arif, Cha?" tanya Lisa kepo.
"Sedikit. Aku tu sebel banget! Dia yang salah, eh, sambil minta maaf ngajak nikah!" curhatku akhirnya.
"Tetep chat?"
Aku lantas menunjuk handphone yang tergeletak di meja, belum tersentuh dari pagi. "Tuh, baca chat dia. Handphone aku nggak pakai pola!"
Dengan segala ke-kepo-an yang masih tersisa, Lisa segera mengambil handphoneku, fokus mengotak-atik layar beberapa saat. Lalu, Lisa meletakkan kembali benda pipih itu sambil tersenyum simpul. Ada yang aneh emangnya? Dasar nenek sihir Rapunzel!
"Ya udah nggak usah dipikirin lagi. Orang egois tu diberi hati sama enggak, mana ngerti," ucapnya.
"Terus kamu mesti gimana, Lis?"
"Bikin vlog aja, yuk. Kamu nyanyi gih biar adem!"
Ya sudah, aku bisa apa untuk menolak ide Lisa? Daripada stress memikirkan laki-laki aneh itu, mending nyanyi. Bisa dapat uang dari YouTube buat makan juga lumayan, daripada melamun makan hati. Kan, aku masih seleb. Semua yang aku lakukan harus menghasilkan uang dan perhatian fanbase, bukan nambah sakit hati.
Encer juga otak Lisa kadang-kadang, tapi rada aneh.
Dengan anggukan dan senyum cerah, aku bangkit dari tempat duduk. Mengambil gitar dan kamera di kamar. Sementara Lisa gerak cepat menata ruang tamu jadi tempat ternyaman sebuah konten lagu cinta. Tinggal digeser dikit-dikit, kok. Beres.
"Lagu ini aku persembahkan untuk seseorang. Seberat apa pun ujian mencintai kamu, aku pasti berhasil melewatinya. Tolong, biarkan rasa cinta ada dan mengalir bersama rasa sakit."
Mau bilang 'Kak Aldin, aku sayang kamu' nggak mungkin.
Petikan gitar terus mengiringi kata demi kata yang kunyanyikan, merambat halus seperti rencana dan keinginan jauh jauh hari. Aku ingin lagu ciptaan Kak Faisal yang kedua ini, bisa merasuk bahkan menusuk lembut pada sanubari penggemarku. Terutama ... seseorang di jauh sana. Kak Aldin, semoga kamu peka.
memutuskan hiatus mencintaimu
Seperti menanam ratusan biji di musim pancaroba
Kadang hujan menumbuhkan harapan
Lalu, kemarau merusak keinginan
Hasilnya sama saja
Kita tak pernah mendapat apa-apa
Tidak menjadi siapa siapa
Hanya saling peka
Ingin hiatus mencintaimu
Melupakan magis pesonamu
Di satu sisi ingin menyerah
Setengah hati sulit pasrah
Hasilnya tetap sama saja
Kita dua orang yang berteman
Berbagi cerita dan rasa pahit
Lalu, hiatus lagi
Kuembuskan napas lega saat berhasil menyelesaikan lagu itu, ternyata aku masih sepuitis dulu menyampaikan ungkapan hati. Cinta yang terlambat, tapi belum sempat terucap, telah terjawab sempurna oleh taraf egonya. Dan, dalam kepedihan itu, aku masih biisa berterima kasih pada keadaan. Judulnya Hiatus. Unik, kan? Aku juga awalnya tidak habis pikir dengan judul itu.
Sambil mengedit hasil rekaman video di laptop, gadis berkaos ungu muda bernama Lisa itu nyeletuk. "Lagunya pasti buat Arif!"
"Iya emang!" jawabku sebelum meneguk air minum dari kulkas. Jangan sampai ketahuan buat Kak Aldin, bisa ada pertanyaan susulan.
"Haduh, Icha!, Bisa-bisanya sih kamu bikin lagu buat cowok kayak Arif! Nggak ngerti deh sama jalan pikiran situ!" omel Lisa, tanpa menghentikan jari dari pekerjaan.
Iya emang Lisa nggak boleh ngerti, bisa diintrogasi seharian aku. Udahlah, iya in aja. Buat Arif ya Arif. Daripada mikir.
"Itu lagunya masih ciptaan Kak Faisal, kalimat aja yang aku setting buat Arif," terangku akhirnya. Tapi bohong!
"Oh, kirain kamu cinta sama Arif!" balas Lisa dengan ekspresi lega. "Awas aja, ya, Cha.kalau kamu sampai naksir balik ke Arif! Aku nggak Sudi punya temen kamu!"
Hadeeh, mulai!
Cinta, entahlah. Terlalu banyak hal hal pahit di dunia ini yang bersumber dari lima huruf itu. Dan Arif, laki-laki itu sudah masuk blacklist aslinya.
Tanpa menanggapi kata-kata Lisa yang kalau emosi tidak jauh beda dengan enak-enak kompleks rumahku di ibu kota dulu, aku mengambil handphone di dekatnya. Membuka akun sosial media Kak Aldin untuk melihat postingan yang belum tersimpan sejak aku tidak membuka aplikasi berlogo beberapa itu.
Puisi, prosais ... atau apalah nama tulisan manis berbahasa sastra itu, tidak terhitung lagi yang terangkum dalam file. Tanpa sepengetahuan siapa pun bahkan penulisnya sendiri, aku merangkumnya diam-diam. Sebagai pengobat rindu, kenangan sisa cinta tak terungkap. Begini aja cukup kok untuk pembuktian cinta aku sama Kak Aldin. Menjadi pengagum rahasia nggak apa-apa.
Tidak perlu semua orang tahu aku memendam perasaan pada Kak Aldin. Sebab, cinta itu bullshit penuh rasa sakit kalau diungkapin.
"Icha, udah. Ini lagu judulnya apa?" Pertanyaan Lisa membuyarkan fokus.
"Hiatus," jawabku singkat.

Comentário do Livro (663)

  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    7d

      0
  • avatar
    Sya Syi

    good

    09/03

      0
  • avatar
    LauraAweh

    sukakkkk bagus banget

    04/02

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes