logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 11 Terjebak Rasa

Aku hanya mencebik, menanggapi ucapan Kak Aldin. Laki-laki tidak bisa ditebak sikapnya itu bisa semakin membuat moodku kacau, kalau dibiarkan.
"Kakak pulang hati-hati!" ujarku akhirnya.
Tidak bisa mengucapkan kata-kata lebih banyak, apalagi bilang aneh-aneh. Iya kali, dia kan pacar orang.
"Oke!" balas Kak Aldin.
Untuk sesaat, aku dan Kak Aldin berpandangan. Mata penuh cinta yang penuh perhatian, penuh kesan, dan sulit diartikan. Kalau boleh menceritakan lebih jauh, ada warna pelangi di sana, indah tanpa bantuan softlens. Hah, kalau saja situasi mendukung serta aku bisa jadi pacarnya, mungkin ....
"Kok, ngelamun?" Pertanyaan dan genggaman tangan yang tiba-tiba, membuyarkan ke-halu-an absourdku.
"Enggak, aku cuma ..."
"Cuma?" ulangnya.
Ya ampun, boleh mendadak gugup nggak kalau suasananya romantis begini? Atau, pingsan aja deh biar bapernya sampai ke hati.
"Masih marah sama yang tadi?"
Buru-buru aku meralat. "Bukan. Bukan gitu, Kak. Aku udah nggak apa-apa."
"Lalu?"
Aduh, lalu ngapain juga bingung!
"Nggak enak aja sama Kakak. Soalnya udah ngrepo--"
"Ssst, udah. Gimanapun kondisinya, kamu itu tetep adiknya aku yang butuh bantuan. Oke!"
Tahu rasanya jatuh dari rollercoaster? Kalau belum, coba buktikan sekarang. Sakit, sesak, bahkan pasokan oksigen seperti dihentikan. Aku yang tadinya ingin mengatakan kalau hati sedang berbunga-bunga karena Kak Aldin, langsung mengurungkan niat.
Kak Aldin terlanjur menganggapku adik, tetap anak kecil yang hanya pantas diajak ribut, tidak lebih dari itu. Jadi, percuma saja kan bilang diam-diam mengaguminya. Yang ada dianggap satu ledekan untuk bahan ribut lagi dan lagi.
Memang, serba salah!
"Kakak pulang, ya!" pamitnya lagi.
"Iya, hati-hati." balasku.
"Inget, Cha. Kamu jangan sampai mengulangi balas dendam kayak tadi, itu hal absurd yang bisa merusak nama baik kamu sebagai seleb. Oke!"
"Iya, janji."
"Awas sampai ketahuan ngilangin lagi!"
Setelah berpamitan dan mengucapkan nasehat panjang lebar, Kak Aldin langsung masuk mobil, memacunya perlahan ke luar gerbang rumahku. Aku hanya memandang kendaraan roda empat itu dengan perasaan entah. Barangkali setelah ini tidur pun sambil nangis. Kesal, marah, baper ... terjadinya bersamaan.
°°°°
'kalau saja laki-laki boleh cengeng, saya pasti menangis untuk dia. Menangis karena cemas, tiba-tiba nggak ada kabar. Cinta itu membiarkan seseorang tersakiti'
Tulisan itu diposting Kak Aldin beberapa menit yang lalu, sebagai caption lukisan seorang gadis. Cantik, feminim, dan tentu saja bukan aku. Banyak yang memberi react penuh cinta, berkomentar penasaran itu siapa.
Jika saja cinta begitu penting untuk ditangisi, aku akan melakukan hal yang sama ke kamu juga, Kak. Membalas satu per satu komentar sambil menegaskan perasaan cemburu tidak berujung.
Kak Aldin, aku nggak kuat lihat kamu seperti ini sebenarnya. Bahagia karena Nadea, sedikit-sedikit Dea, lantas ditinggalkan diam-diam karena gadis itu keberatan dengan sindiran Mamanya Kakak. Namun, aku juga nggak bisa jauhin Kakak, meski terlalu sakit.
[Belum mulai rutinitas, Cha?]
Chat yang tidak kutunggu muncul pagi ini, membuat aku buru-buru menyeka air mata.
[Belum]
[Tumben postingan Kakak dikasih react love? Suka ya sama lukisannya?]
[Biasa aja]
Kak, nggak tahu aja kalau aku sakit hati! Gagal memperbaiki mood gara-gara Kakak!
[Kamu mau dilukis?]
[Enggak]
Enggak mau nolak, kalau bisa bilang.
[Cha, Kakak bingung sama Dea]
Curhat dimulai. Aku kuat kok membaca keluhan selanjutnya, meski harus menulis balasan dengan tangan gemetar sambil menahan sesak. Serius, aku bisa demi kamu, Kak.
[Kenapa?]
[Dari tiga hari lalu Dea nggak ada kabar. Terakhir, Dea marah karena hal sepele. Kata temannya, kondisi Dea drop kena covid. Kakak cemas, Cha. Pengen banget samperin ke rumahnya saat ini juga]
Ya ampun, aku harus membalas apa? Nggak nyadar juga ya kalau anak kecil yang selalu diajak ribut jauh lebih sakit. Kalau tahu endingnya adalah sesi curhat tentang Nadea, mana mau aku balesin chat.
[Kakak yang sabar, doain aja semoga Dea lekas membaik]
Lagi, setetes air mata jatuh tanpa permisi, buru-buru aku menghapusnya. Lalu, bangun dari tempat tidur.
Tidak ingin lama-lama membaca curhatnya Kak Aldin, buru-buru kubalas pesan itu. Tentu dengan nasehat yang tidak ikhlas. Daripada kepikiran laki-laki puitis itu, terus kena serangan jantung, lebih baik udahan aja kan ya chatingan. Aku masih harus mandi, olahraga pagi, makan, atau apa deh yang bikin diri sendiri senang.
Ting!
[Terima kasih, Cha!]
Eh, masih bales lagi. Dasar pacar orang rasa kaleng krupuk! Nggak peka!
Kuabaikan pesan di aplikasi hijau itu, gegas membuka buku catatan lagu yang berada di meja. Aku juga ingin curhat, ingin diperhatikan sebagai seseorang yang penuh cinta, tapi dia terlanjur jadi pacarnya orang! Hah, kira-kira lagu apa ya yang menggambarkan suasana patah hati, terus Kak Aldin segera peka?
Mencoba mengingat cuplikan lagu apa saja yang pernah kutulis sekaligus letaknya, yang hilir mudik di otak justru Kak Aldin. Senyumnya, kesan romantis sama dia, beberapa kali momen ribut. Dih, nyebelin banget, sih! Kenapa juga harus ketemu orang aneh kayak dia!
Baru saja pulpen menulis dua huruf, dering hape membuyarkan fokus. Tertera nama Aldin Barata di logo telepon warna hijau itu. Berisik banget!
Dia lagi dia lagi, nggak bisa kalau aku tenang apa?
"Halo, Kak." ucapku setelah menekan tombol hijau di layar.
"Halo, Icha. Sibuk banget, nggak?"
"Ya jelas sibuk, Kakak berisik banget, sih!"
Terlanjur kesal, aku bilang saja sekalian. Kak Aldin tertawa, kemudian buru-buru minta maaf.
"Maaf deh maaf, Kakak seneng pakai banget!"
Tumben? Dahiku mengernyit heran. Kan, belum lama tadi gabut. Curhat mencemaskan keadaan Nadea yang los kontak tiba-tiba. Kok, sekarang ....
"Kenapa lagi, Kak?"
"Dea ngabarin Kakak. Dea ...."
Segera kumatikan sambungan telepon, sebelum Kak Aldin menyelesaikan kalimatnya. Tidak mau tanggung, hape ku-nonaktifkan sekaligus. Serius, bukan ini kabar yang mau aku dengar?
Ternyata Kak Aldin tidak putus asa. Tiga puluh menit setelah handphone kumatikan total, mobilnya berhenti di depan rumahku. Dengan modus membelikan makanan untuk sarapan bersamaku, laki-laki itu kembali bercerita tentang Nadea. Lebih antusias, seperti baru saja mendapatkan tawaran iklan produk terkenal.
Aku menghela napas, kesal tentu saja. Mau tidak ditanggapi orangnya ada depan mata, ditanggapi mana dia peka keadaan hatiku yang bertambah sakit. Ternyata begini jatuh cinta kepada seseorang yang salah. Pait, pait, pait!
"Emangnya Kak Aldin sama Dea sempat ada masalah apa?" tanyaku. Pura-pura peduli.
"Iya, nggak ada, Cha. Tiba-tiba ngilang, terus tadi balik hubungin Kakak lagi!" balasnya. Meneguk sedikit air putih.
"Ditanya, dong, Kak! Masa nggak berani?"
"Nggak enak, Cha. Dea sikapnya sulit ditebak akhir-akhir ini!"
Sama kayak yang cerita, tu!

Comentário do Livro (665)

  • avatar
    ZᴇʀᴏKɪɴɢ

    nice app

    15h

      0
  • avatar
    RayraChrisyra

    lucuu bingitt

    1d

      0
  • avatar
    Lilis Liss

    baukk

    12d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes