logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 9 Teman Baru

Sansan masih terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Sansan kembali melihat Zidan yang menatapnya.
"Ya. Aku mencintaimu, Ren! Aku mencintaimu. Kenapa kamu tega selingkuhin aku, Ren? Kenapa kamu malah ...." Tiba-tiba Zidan memeluk badan Sansan membuat wanita itu terkejut.
Sansan memutar bola matanya malas, sakit hati mendengar peruturan Zidan yang ternyata bukan mencintainya, tetapi dihantui bayang-bayang mantan. Sansan mendengkus pelan, ia pun mendorong badan Zidan melepaskan pelukannya. Namun, Zidan kembali memeluk Sansan. 
Akhirnya, wanita itu pasrah saja. Pasrah dianggap mantan Zidan yang amat ia cintai. Sansan jadi penasaran dengan mantan Zidan.
"Sayang, di sini dingin. Kita ke kamar, yuk!" ajak Sansan, karena sudah mengantuk. Zidan mengangguk saja. Lalu, Sansan membopong badan Zidan ke lantai dua, masuk kamar di mana mereka pertama bertemu.
Sansan membantu Zidan berbaring di sana. Laki-laki itu menurut saja, ia sudah mabuk berat dan sulit tuk mengendalikan dirinya.
Selepas Zidan sudah tertidur, Sansan menatap wajah tampan suaminya itu. Ia kembali mendengkus dan berkacak pinggang.
"Apa gue harus menggoda dia terus, ya? Agar dia melupakan mantannya itu. Sepertinya gue akan lebih lincah menjadi Sansan daripada Zidny. Hum ... artinya, gue harus sering ajakin Zidan ke sini," ucap Sansan pelan berkata pada dirinya sendiri.
Sansan menguap pelan. Ia lalu ikut berbaring di samping Zidan. Sansan akan tidur dulu di sini sampai rasa kantuknya hilang, setelah itu baru ia pulang.
Tiga jam lebih sudah mereka terlelap. Tanpa sadar, Zidan sudah merengkuh badan Sansan ke pelukannya. Kepala Sansan tepat di dada bidang Zidan. Wanita itu tersentak, matanya langsung menatap dada suaminya itu, ia pun menoleh ke arah muka Zidan. Wajah damai nan menenangkan, embusan napas yang menyapu wajah Sansan membuat wanita itu tersenyum kecil.
'A-aku sudah bersuami! Aku sudah menjadi istri orang!' batinnya entah kenapa berteriak senang. 
Sansan kini menatap ke arah jam dinding. Matanya melebar melihat jam menunjukan pukul 03.10. Untung saja Zidan masih tertidur pulas, jika tidak, maka ia akan sulit untuk pulang.
Sansan dengan hati-hati melepaskan pangkuan Zidan. Setelah itu, ia memeriksa saku celana Zidan mengambil ponsel pria itu.
Untung saja HP Zidan tak memakai password, sehingga mudah bagi Sansan untuk melacaknya. Sansan mencari nama 'Ren' yang disebut oleh Zidan tadi.
Tampak di sana muncul nama 'Reni Sayangku Cintaku Lope-lope' membuat perut Sansan terasa mual ingin mengeluarkan segala isinya.
"Huek! Alay bener, sih, nih, orang!" ucap Sansan menatap Zidan.
"Oh, namanya Reni," ucap Sansan menganggukan kepalanya pelan. Ia lalu melacak kembali nomor-nomor yang sering dihubungi oleh Zidan. Terdapat nama 'Rifan Sebleng' di sana yang menarik perhatian Sansan. Ia pun melihat isi chatting Zidan dengan pria itu. 
Sansan terkejut melihat room chat WA Zidan dengan pria bernama Rifan itu yang hanyalah berisi ratusan stiker.
"Nih, orang, nggak ada kerjaan apa? Malah perang stiker gini. Tuh temannya juga sama aja. Adeuh, sengklek!" ucap Sansan yang semakin aneh melihat sikap lain suaminya itu. Sansan tersadar harus melakukan sesuatu. Ia pun menuliskan sebuah pesan untuk Rifan.
Setelah selesai mengirimkan pesan, ia pun menelepon Rifan, saat berdering, ia segera mematikan sambungan. Tak lama setelah itu, pesan yang dikirimkan Sansan dibaca oleh Rifan.
Sansan pun tersenyum puas. Ia lalu menghapus isi pesan itu agar tak tampak oleh Zidan nanti. Ia lalu memasukan kembali ponsel Zidan ke saku pria itu. 
Sansan pun akhirnya bangkit dan bersiap-siap untuk pulang, meninggalkan Zidan sendiri di sana. 
***
Dering ponsel Zidan mampu mengusik tidur pria itu. Zidan mengucek matanya, lalu mencari keberadaan ponsel yang terus berdering.
Pria itu pun mengangkat telepon, dengan mata yang kembali ia pejamkan.
"Hallo?" sahut Rifan di seberang telepon.
"Hmm, apa?" jawab Zidan.
"Woy, Zi! Lo di mana, sih? Tadi katanya minta jemput di club." 
Mata Zidan langsung terbelalak kaget. Ia pun akhirnya menatap ke sekeliling dan baru tersadar jika sedang tidak berada di kamarnya. 
"Hah?" tanya Zidan masih dilanda keterkejutan.
"Sekarang lo di mana? Bangunin gue subuh-subuh minta jemput, buat gue panik aja. Cepat bilang, di mana lo sekarang?" 
"Iya-iya. Gu--gue keluar sekarang." Zidan pun bangkit dan berjalan keluar kamar. Ia menuruni anak tangga dan turun ke bawah. 
Zidan dapat melihat Rifan yang sedang menempelkan ponsel di daun telinganya. 
"Gue di belakang lo," ucap Zidan mematikan teleponnya.
"Eh, astagfirullah! Ngagetin aja lo!" ucap Rifan terkejut.
"Siapa yang minta lo jemput gue ke sini, gue tadi tidur nggak ada megang HP," ucap Zidan.
"Lo pikir gue bohong? Nih, lihat, nih," ucap Rifan memperlihatkan isi pesan Zidan yang menyuruhnya segera ke club.
"Nggak, Fan. Gue ...." Zidan berpikir sebentar. Apakah yang mengirimkan pesan itu adalah wanita semalam? 
"Argh! Berani-beraninya dia ngotak-atik HP gue!" kesal Zidan.
Rifan menatap Zidan aneh yang tiba-tiba kesal dan tak mengacuhkannya lagi.
"Woy, terus gimana, nih, Bro? Lo udah ganggu jam tidur gue, mana nanti ada rapat jam tujuh pagi. Kalau gue ngantuk pas rapat, jangan salahin gue ya ...."
Rifan masih saja mengoceh, sehingga tak menyadari jika Zidan sudah berlalu dari sana. 
"Wiy, Zi! Malah ditinggalin," ucap Rifan berlari menyusul Zidan.
***
Pintu kamar terdengar dibuka. Sansan pun langsung memejamkan matanya. Ia yakin itu adalah Zidan yang baru pulang.
Untung saja Sansan pulang lebih dulu sebelum Zidan, jika tidak, bisa ketahuan. Sansan pun sudah mandi dan memakai baju panjangnya serta hijab yang menutupi kepala. 
Pria itu langsung merebahkan badannya di samping Sansan. Tak lama kemudian, dengkuran halus terdengar oleh Sansan.
'Huft, dasar! Bukannya bersih-bersih, ambil whudu dan siap-siap sholat subuh, malah molor lagi,' batin Sansan kesal.
***
Siang ini, Sansan menghabiskan waktu di salah satu restoran yang berada di pusat kota. Ia bosan jika terus-terusan di rumah. Apalagi Wanti dan Nuni yang selalu menggodanya menanyakan pasal bagaimana nikmatnya malam kedua.
Mata Sansan tak sengaja menatap seorang wanita yang sudah banjir air mata. Wanita itu duduk tak jauh darinya sehingga Sansan bisa melihat sudah berapa banyak tisu yang dihabiskan oleh wanita itu untuk menghapus air matanya dan juga mengelap ingusnya. 
Sansan tertarik untuk menghampiri wanita itu, perasaan iba kemanusiaan Sansan bergerak. Ia pun menarik kursi di hadapan wanita itu.
"Boleh numpang duduk sini?" tanya Sansan. Wanita itu hanya mengangguk, matanya bengkak dan hidungnya memerah. Sansan jadi penasaran, apa yang sedang ditangisi olehnya.
"Kamu kenapa?" tanya Sansan memberanikan diri untuk bertanya.
"Nggak pa-pa."
"Kalau mau cerita, jangan sungkan. Siapa tau aku bisa bantu," ucap Sansan. Wanita itu menatapnya sekilas.
"Ini sangat berat. Aku nggak mampu cerita ke sembarang orang, apalagi orang tak dikenal."
"Ya udah, kenalan dulu, yuk! Nama aku San--eh, Zidny," ucap Sansan. Lebih baik ia memperkenalkan diri bernama Zidny saja, karena penampilannya pun sedang berwujud sebagai Zidny yang orang kenal.
"Gu--aku ... Reren," ucapnya.
"Oh, Reren. Salam kenal," ucap Sansan tersenyum yang dibalas senyuman kecil oleh wanita itu.
Reren sebenarnya adalah Reni—mantan Zidan—tetapi, ia segaja menyembunyikan identitas aslinya sekarang. Reni terlalu besar kepala jika orang-orang tahu di mana keberadaannya.
"Jadi, kamu sebenarnya kenapa? Ada masalah apa?" tanya Sansan lembut.
"Aku ditinggalin sama pacarku dan ... aku batal nikah sama mantanku."
Alis Sansan bertaut tak mengerti ucapan Reni.
"Ah, gimana-gimana? Aku nggak paham, hehe," ucap Sansan cengengesan.
"Pertama, aku diputusin sama pacar aku, terus aku balikan sama mantanku dan kita akan menikah, tapi malah dibatalin."
"Siapa yang batalin?"
"Keluarga si cowoknya."
Tiba-tiba Sansan menepuk meja di hadapannya yang membuat Reni terkejut.
"Keterlaluan, tuh, keluarga si cowok. Apa alasannya main ngebatalin aja? Nggak mikirin perasaan kamu apa gimana, sih. Ah, jahat-jahat," ucap Sansan terbawa kesal. Reni pun menggaruk kepalanya pelan, terkejut dengan aksi Sansan.
"Alasannya apa, btw?" tanya Sansan penasaran.
"Aku nggak tahu pasti, yang pasti ... aku dibenci keluarga aku dan aku kabur dari rumah."
"Lo--eh, maksudnya, kamu ... kabur dari rumah. Terus, sekarang kamu tinggal di mana?" 
"Nggak tahu, semalam aku cuma bawa mobil keliling kota."
Sansan semakin merasa kasihan. Berat sekali masalah wanita itu.
"Hmm ... kalau kamu mau, kamu boleh, kok, tinggal di rumah lamaku," ucap Sansan dengan berbaik hati membicarakan rumah yang dulu dihununya bersama Nuni.
"Mak--maksudnya?"
"Ya, kamu boleh numpang tinggal di sana, karena kebetulan aku udah pindah rumah dan rumah itu kosong."
"Be--beneran? Kita baru kenal, loh, ka--kamu mau ...."
"Ah, udahlah. Nggak usah sungkan, ya. Walau kita baru kenal, tapi niatku baik, kok. Aku cuma mau berteman dengan kamu," ucap Sansan. Tiba-tiba Reni bangkit, lalu memeluk Sansan. Reni sangat bahagia! Ia pun menangis di pelukan Sansan.
"Terima kasih. Terima kasih, orang baik!" ucap Reni yang membuat Sansan tersenyum.
"Sama-sama. Ya udah, yuk, aku antar ke rumah," ucap Sansan.
"Ba--baik," jawab Reni senang.
Tiba-tiba telepon Sansan berdering. Siapa yang meneleponnya? Buru-buru Sansan mengambil ponselnya di dalam tas.
"Hallo?"
Siapa yang menelepon Sansan? 
***

Comentário do Livro (746)

  • avatar
    SaputriAprilia

    aduh ceritanya seru deh pake banget, plisss lanjut dong lagi,. bener" gue pantengin terus dah ini.

    22/12/2021

      0
  • avatar
    MaulaniAmalia

    Masya Allah😊

    12d

      0
  • avatar
    Mela Agustina

    bnyk plotwis nya bkin mewek tpi seruu bgtt🥹🤍

    22d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes