logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 92 L'Automne Du Coeur/XCI

Richard's
Kabar yang mengejutkan. Amat sangat mengejutkan. Bahkan Brigitte sampai menangis tersedu saat mendengarnya. Mira hanya menangis sebentar, dia bahkan tak mau kupeluk untuk kutenangkan.
Aku hanya berdiri di samping ranjangnya melihatnya tersedu. Dan saat dia selesai dengan tangisnya, dia memberikan ponselku dan memintaku untuk pergi dari kamarnya.
"Tugasmu sudah kau lakukan. Sekarang keluarlah. Aku janji tak akan melakukan sesuatu yang bodoh. Kemarilah lagi untuk menjemput saat makan malam tiba." kalimatnya yang dingin dan tak terjangkau itu yang memberi tahuku betapa hancur hatinya.
Dia berusaha amat keras untuk tegar agar tak merepotkan orang - orang. Tapi tugas kami untuk menjaganya, dan bukan sebaliknya. Jadi aku lakukan sebisaku yang kupikir bisa menghiburnya, mengembalikan kembali moodnya.
Tapi dalam prosesnya aku malah menyakitinya. Aku tidak terbiasa ditolak. Dan mendadak gadis ini datang, masuk ke dalam hidupku dan memporak porandakan pila yang sudah aku punya sejak dulu. Dia adalah orang pertama yang menolakku. Dan masih sampai sekarang di saat - saat tertentu. Tadi, misalnya. Dan ditolak bukanlah hal yang menyenangkan.
"Aku hanya punya ini. Semoga kalian tidak keberatan."
Gadis yang rumahnya kami datangi beberapa saat lalu datang kembali setelah pamit ke belakang beberapa waktu lalu. Dia membawa tiga gelas coklat hangat dan beberapa camilan sebagai suguhan.
Sementara itu, gadis yang dibawanya tadi sedang meringkuk di sudut sofa dengan, menutupi tubuhnya dengan selimut. Udara hari ini tak terlalu dingin sebenarnya, tapi Mira memiliki alergi dingin. Setidaknya, sekarang dia tak merasa sesak lagi saat berada di luar. Dia masih terisak kecil. Membuatku merasa jahat dan bersalah.
“Kau tak membalas pesanku sama sekali. Setiap kali aku aku lewat di depan rumahmu, penjaga banyak sekali! Aku mencoba menemuimu beberapa waktu lalu tapi mereka memberitahuku kau sedang tak ada di rumah. Kau ke mana saja?! Kau juga cuti kuliah tanpa bilang apa pun padaku!” Berondong gadis mungil berambut lurus sebahu itu.
Ditanya macam - macam sekaligus seperti itu, Mira hanya menatap dengan pandangan memicing sebelum menoleh kepadaku. Pandangannya datar. Tapi aku tau maksudnya. Dia ingin aku yang memberikan jawaban atas pertanyaan bertubi - tubi itu.
Dia tak bisa menjawabnya sendiri karena sampai saat ini pun, dia masih belum mengerti sepenuhnya apa yang menimpanya. Semua identitas baru, dan hal - lah lainnya. Dia masih teramat bingung. Dan tentu saja, dia tak ingin salah menerangkan, karena setidaknya sekarang dia tahu dia harus menjaga mulut untuk menjaga Ayahnya.
“Dia ikut bersamaku ke kampung halamanku.”
“Tanpa ponsel dan apa pun?”
“Aa… di sana agak susah sinyal. Jadi kami jarang membuka alat komunikasi apa pun.”
“Astaga bagaimana mungkin kalian hidup tanpa ponsel dan internet?! Apakah kau tau bahwa kau dan Ayahmu sedang menjadi topik hangat di seluruh negeri?! Mereka semua membicarakanmu. Beberapa orang mendatangiku belakangan di kampus karena mereka tau aku dekat denganmu.”
“Apa yang kau katakan padanya?” Mira bertanya dengan was - was mendahuluiku.
“Apa lagi? Aku tak mengatakan apa pun! Lagi pula aku memang tak tau apa pun! Aku tak ingin membual tahu segalanya saat kenyataannya tak begitu. Jadi aku terus saja menghindari mereka.”
“Maafkan aku, Sonia.”
“Sudahlah, tak apa. Aku tau ini juga pasti tak mudah bagimu. Menjadi seorang putri! Tentu impian semua orang! Tapi aku tak bodoh, menjadi putri tak seindah yang diceritakan dalam dongeng - dongeng…. ah, tunggu sebentar. Ini Mamaku. Aku harus mengangkat ini dulu.”
***
Aku melihat Sonia pergi menjauh sambil berbicara di telpon dengan Mamanya. Orang tuanya sedang di luar, begitu tadi dia bilang.
Aku sedikit shock dan juga merasa bersalah pada apa yang terjadi pada Sonia karenaku. Aku tak pernah berpikir efeknya akan ke mana - mana seperti ini. Aku kira, hanya aku dan keluargaku; Papa, Corrine, Tante Milguetta, dan Granny yang akan terimbas. Aku tak pernah menyangka bahkan Sonia akan menerima imbasnya.
Aku mengalihkan tatapanku pada Sonia, dan mataku bersirobok dengan mata tajam Richard yang sepertinya memperhatikanku sejak tadi.
“Apakah kita perlu mengatur penjaga untuknya?” Tanyaku pelan dengan nada sedikit putus asa.
“Dan membuat dia semakin terekspos?”
Aku mendesah berat dan menundukkan kepalaku. Menekuri jari - jariku yang pucat dan saling terkait di atas pangkuanku.
“Aku tak pernah menyangka akan ada orang lain yang terkena imbasnya akan hal ini. Sekarang jika berpikir kembali…. bagaimana denganmu? Orang tuamu? Brigitte? Cedric dan keluarganya? Apakah mereka juga kesulitan karena hal ini?”
Semakin kupikirkan, aku semakin merasa sesak. Kurasakan air mataku kembali menggenangi bagian bawah mataku. Aku menekuk kedua kakiku, membawanya ke dadaku sebelum aku menelungkupkan wajahku di atasnya dan menangis pelan.
Semuanya jadi serba tak terkendali seperti ini. Daddy, Granny Louisa, lalu sekarang Sonia. Rasanya ini seperti kebakaran hutan di musim panas. Merembet ke mana - mana dan tak terkendali. Aku takut, aku khawatir.
“Hei, sudahlah.” Aku mendengar suara Richard di dekatku sementara tangannya yang besar dan hangat mengelus puncak kepalaku. “Jangan khawatir. Aku akan membereskannya. Percayalah padaku.” Dia berusaha menenangkanku seperti biasanya.
Saat begini, aku akan merasa tenang, dan percaya dengan apa pun yang dia katakan. Tapi saat ini, ketakutanku hanya terlalu besar, sehingga aku masih tetap gelisah.
“Ini jauh lebih menakutkan dari yang pernah aku duga Richard. Setelah ini lalu apa? Aku takut…”

Comentário do Livro (56)

  • avatar
    yuliantiyesii

    hangus bngt ya😊😊

    08/08

      0
  • avatar
    SamNaf

    ok mantap

    11/01

      0
  • avatar
    rahmawatinanik

    baguss

    14/12

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes