logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

7. Tentang Hari Itu

PoV Wulan
Pandanganku masih berkunang dan kepalaku masih pening bukan main saat pertama kali mata terbuka. Langit-langit ruangan serta dinding putih, yang pertama kali menyambut kesadaranku. Aku ingat, hal yang menjadi penyebab keberadaanku di sini. Ya, Di rumah sakit ini. Tempat yang sama, sebelum aku pergi seminar. Bahkan, aku juga ingat kejadian pada hari itu.
Benar, sebelum pergi ke luar kota untuk seminar beberapa hari lalu. Aku juga berada di sini. Namun, sayangnya saat itu, aku melupakan sesuatu. Sungguh, sesuatu yang sangat mengerikan dan membuatku sangat membenci Wisnu, suamiku.
"Lan. Kamu sudah sadar?" Wisnu dengan segera menggenggam tanganku. Tapi, aku beringsut menjauh.
"Bunda masih ...." 
Aku memotong cepat kalimat Wisnu berikutnya.
"Pergi,” lirihku.
"Tapi, kamu sendirian di sini," sahutnya lemah penuh harapan.
"Pergi! Pembunuh!" teriakku.
"Oke .... Oke, Abang keluar sekarang. Kamu tenang ya." Wisnu mengalah.
Kurasakan sesak yang bertumpuk. Tangan yang terkepal berkali-kali kuayunkan ke dada. Menyelusup rasa sesal, di sela isak tangis yang gak bisa lagi kutahan. Entah kenapa, aku bisa melupakan yang terjadi begitu saja. 
Tubuhku begitu lemah sekarang. Namun, aku meraung dengan hebat. Kubanting semua barang yang berada di atas nakas. Tak puas dengan itu saja, rambut panjangku yang tergerai, juga kujambak berulang kali.
 Dan kini, melintas kembali bayangan tentang hari itu. Lantai 14, kamar 338, balkon, Jalan taman yang ditumpahi darah. Ah, aku sungguh ingat semuanya.
Rasa tercekat di kerongkongan begitu sangat menyakitkan, meski sudah kutumpahkan semua dengan tangisan. Namun, rasa sakit itu masih bersarang. 
Bahkan di hari terakhir, aku gak sempat memeluknya. Oh, jangankan memeluk, menatap sebentar saja tidak. Bodohnya aku kenapa sampai lupa begitu.
Kulirik tangan kiri yang masih tertusuk jarum infus. Aku tak butuh ini. Detik berikutnya kutarik selang yang terhubung dan melepaskannya secara paksa.  Kuabaikan darah yang mengucur dari tangan. Aku harus ke makam sekarang. Ya. Benar. Aku harus menemuinya sekarang.
Meski dengan langkah terhuyung, aku masih memiliki tenaga. Dengan penuh emosi, Pintu kamar rumah sakit kudorong kasar hingga menimbulkan suara nyaring saat terbuka. Masa bodoh dengan tatapan orang-orang terhadapku.
Langkah kaki kupercepat.  Dua orang perawat sepertinya mengejarku sekarang. Tapi, sebelum aku mencoba berlari, seseorang menangkap dan menghentikanku dengan pelukan dari belakang.
"Kumohon Wulan .... Hentikan. Lihat darah dari tanganmu terus berceceran." Wisnu terdengar mengiba.
Aku bergeming dan berusaha melepaskan diri dari Wisnu. Sayangnya, dekapan wisnu lebih kuat dari perkiraanku. Jika sudah begini, aku tahu, aku tak akan bisa melakukan apa pun.
"Bawa aku menemui Windu sekarang," ucapku sambil terisak seraya menjatuhkan tubuh di lantai. Aku menyerah melawan.
"Oke. Tapi, kita urus darah ditanganmu dulu." Wisnu menyahuti dengan tegas.
***
Makam kecil dengan taburan bunga yang sudah mengering menyambutku. Tangannya yang mungil pasti melambai dari balik tanah sana sekarang.
"Windu .... Di dalam sana sendirian, dingin ya? Gelap juga kan sayang?"
Mataku berembun. Rasa sesak yang tadi mulai mereda, kembali lagi. Kupeluki nisan kayu bercat putih yang menancap kokoh di pusara.
"Windu rindu Mama, kan? Maafkan Mama sayang ...." kuseka buliran yang sudah menganak sungai di pipi.
Wisnu di hadapanku hanya diam membatu dengan mata merah. Aku yakin ini juga menyakitkan baginya. Tapi, aku tak tahu bagaimana cara ia mengatasi itu selama ini. Ditambah lagi sikapku padanya. Apa Wisnu baik-baik saja?  Aku belum bisa merelakan  Windu. Jadi, sulit juga rasanya untuk memaafkan Wisnu dengan mudah.
Mataku terasa bengkak bahkan berat untuk dibuka meski sudah cukup lama berhenti menangis. Saat kami sampai di apartemen, Wisnu langsung menyiapkan makanan di dapur. Sedangkan Aku langsung menghempaskan tubuh di sofa.
"Aku gak mau makan, Abang jangan merepotkan diri." kulihat wajahnya juga lelah, meski sekarang benciku belum berkurang. Rasanya tak tega juga membiarkannya begitu.
"Eh, ngapain juga abang nyiapin makan buatmu. Ini buat sendiri kok," sahutnya enteng.
"Oh. Oke."
Ah, seharusnya Wisnu sedikit membujukku. Karena kesal aku pergi ke kamar dan membanting pintu setelahnya.
Astaga,  aku sedang berusaha bersikap baik padanya. Setidaknya bisa mengurangi rasa kesalku sendiri. Tapi tanggapan Wisnu malah begitu. Baiklah, aku tahu apa yang seharusnya kulakukan sekarang. Tak akan kukurangi kadar benciku ini, meski ia berusaha bersikap baik padaku.
Tak berapa lama, aroma masakan menguar. Aku hafal betul bau nikmat satu ini. Omelet bayam dengan ayam cincang, kesukaanku. Anehnya aroma ini semakin kuat. Tak biasanya aroma dari dapur tercium sampai kamar begini.
Sebenarnya, aku sama sekali gak berselera untuk makan. Tapi cacing perutku kali ini mengaum luar biasa. Mungkin Wisnu sudah selesai makan sekarang, setidaknya masih ada sedikit sisa makanan yang ia masak tadi untuk meredakan laparku. Atau, aku bisa memasak untukku sendiri. Entah sama apa tidak, aku sedikit lupa sebab sudah lama gak menyentuh dapur.
Pintu kamar perlahan kubuka,  agar tak terdengar oleh Wisnu. malu rasanya jika ia tahu aku lapar sekarang, Padahal sebelumnya sudah jelas aku mengatakan gak mau makan.
Dan, hal konyol itu terjadi. Wisnu tengah berjongkok di depan pintu sambil mengipasi sepiring omelet yang masih mengepulkan asap. Wajahku mendadak kaku. Menahan tawa. Rupanya ini penyebab aroma makanan tadi masuk ke kamar. 
"Lapar kan Lan? Abang suapi makan ya?" seketika ia semringah karena rencananya berhasil.
Ah, Wisnu selalu begitu. Ia bisa kapan saja membaca isi kepala istrinya, bahkan mendengar suara perutku dari jarak jauh.
***
Sudah tiga hari ini aku mengabaikan cerbungku yang terbit di sebuah aplikasi. Satu persatu kubaca komentar yang tertera di sana. Mereka mulai menanyakan kapan bab baru akan di unggah.
Pandanganku kosong, mencoba menggali ide yang akan kutulis selanjutnya. Ah, iya. Memiliki kebiasaan buruk saat menulis sepertiku bukanlah hal yang baik. Aku tak membuat outline sebelumnya. Jadi mau gak mau, aku harus membaca tulisanku dari awal lagi. Dan ini sedikit membosankan.
"Lan." aku tersentak, ponsel ditanganku hampir terlepas.
"Jangan kebanyakan melamun, bahaya. Sore-sore begini banyak setannya," gurau Wisnu.
Sekarang aku sedang berdiri sambil bersandar di pagar balkon. Tempat yang cukup lama tak injak setelah peristiwa hari itu.
 Untungnya, semakin kesini aku sudah semakin tegar dan berusaha menerima kenyataan. Meski terkadang masih sesekali menangis bila teringat Windu.
Wisnu mengangsurkan selembar foto. Kumasukkan ponsel ke dalam saku, sebelum menerima foto tersebut. Senyumku mengembang saat kulihat di sana aku sedang tertawa lebar sambil menggendong Windu. Lalu, menit berikutnya aku mengerutkan kening.
"Kapan foto ini diambil?" sungguh, pertanyaan ini kuajukan untuk diriku sendiri.
Tapi, saat pandanganku beralih, wajah Wisnu menegang saat mendengarnya.
"Lan. Abang besok mulai cuti, kamu mau menemui Rudi? Psikolog yang diceritakan bunda kemarin itu loh."
"Aku baik-baik saja," Tanggapku dingin.
"Abang tahu. Cuma ingin mastiin aja. Biar Bunda juga gak khawatir lagi." Wisnu masih membujukku, dan selalu saja setiap perkataannya seakan menghipnotis.
Aku mengela napas panjang. Kemudian mengangguk.

Comentário do Livro (20)

  • avatar
    Juarnhy Kase

    Ceritanyq sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    NinaNina

    bagus sekali ceritanya

    05/07

      0
  • avatar
    Qaisara Arshad

    best😻

    04/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes