logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Siapa Emily?

Beberapa bulan yang lalu..
Hari ini untuk ke dua kalinya aku datang menemui lelaki yang akan menjadi calon suamiku. Kami janjian di restoran mewah yang punya bilik pribadi. Kali ini, calon yang datang adalah anak dari rekan Ibu.
Aku mengenakan dress hitam yang mempunyai belah di samping bawah. Dadanya cukup terbuka, aku mengenakan kalung emas sekitar tiga atau empat buah. Rambutku kepang dua serta aku bermake up seperti anime-anime yang sering Banyu tonton.
“Hola,” sapaku sembari mengangkat tangan kanan kepada lelaki itu saat tiba. Dia terperangah.
Dia menatapku sangat lama. Aku sampai bingung harus membuat ekspresi seperti apa.
Aku menjentikkan jari, “Hei!”
Dia pun tersadar dari lamunannya. “Kamu Putri?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk.
Dia merogoh dompetnya dan mengeluarkan sebuah foto berukuran 3x4. “Kok beda?” tanyanya heran. Beberapa kali dia memandangi ku dan foto itu.
“Biasyalah itcu foto lamaaa. Syekarang kanc akyu tambah cauntikk,” jawabku. Aku sengaja melebay-lebaykan cara bicaraku. Sejujurnya, aku pun sangat geli saat mengucapkannya.
Alisnya bertautan sembari memegang kepalanya. Aku yakin dia akan mencari alasan untuk pergi meninggalkanku.
“Jadic, kapan kita menikackah?” tanyaku kemudian mengedipkan mata. Aku langsung saja bicara pada intinya.
Dia tampak tertekan menerima seranganku kali ini.
“Me-menikah? Em, sepertinya kita harus kembali memikirkan itu,” jawabnya.
“Yes, dia sudah masuk ke dalam perangkap,” batinku.
“Loh, kenapa? Kita syudah syangat cucok meong. Kita bisya jadi pasangan fenomenal,” ucapku.
“Em, kitakan masih muda. Jadi, lebih baik kita perbanyak eksplor diri saja dulu. Cari bakat dan main sepuasnya,” jelasnya.
Aku sudah tahu lelaki seperti dia tidak akan bertanggung jawab. Ketika dia melihat foto yang diberikan oleh Ibu, dia sangat tertarik. Akan tetapi, ketika melihatku datang seperti ini dia melihatku dengan tatapan jijik.
Lelaki seperti ini akan menjadi calon suamiku? Oh, No! Aku akan menolaknya mentah-mentah. Dia hanya akan menghargai aku ketika aku cantik dan membuangku ketika aku sudah tidak cantik lagi. Dunia tempatnya hidup hanya menghargai orang yang cantik. Itu bukan dunia yang ingin aku tempati.
Aku menampakkan ekspresi sedih kepadanya yang kini gelisah di hadapannya. “Jadi, kamu tidack akan menikahi qu?” tanyaku.
“Tidak! Tidak akan pernah.”
“Padahal aku ingin menickah denganmou,” balasku.
“Rasain,” batinku.
Aku menyunggingkan satu sisi bibirku saat dia tidak melihatnya dan kembali berekspresi sedih saat dia melihatku.
“Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus pulang, banyak yang harus aku kerjakan.” Dia buru-buru mengambil jaket dan ponselnya lalu melangkahkan kaki.
Aku tersenyum menatap punggungnya yang semakin menjauh.
“Tapi Putri apakah kamu mengenal Emily?” tanyanya padaku tiba-tiba.
Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Aku spontan menggeleng.
“Ah, sudahlah sepertinya aku salah orang. Aku pergi.” Dia pun mengayunkan langkahnya dengan cepat.
Aku sudah bisa melihat dia sangat ingin buru-buru pergi dari sini. Kami bahkan belum ada lima belas menit bersama. Perkenalan sederhana pun tidak kami lakukan.
“Cih, kalau bisa terbang, terbang deh tu orang biar cepet pergi dari sini. Sekedar memperkenalkan diri aja enggak! Tapi, siapa Emily?” ucapku bertanya-tanya.

Namanya memang tidak asing. Sepertinya sangat akrab ditelingaku. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mengingatnya.
“Apa dia salah satu artis yang pernah ku lihat di televisi? Atau teman sekolahku dulu, ya? Ah, bikin penasaran saja. Seharusnya tadi aku tanya dulu Emily itu siapa,” ucapku lirih.
***
Aku mengingat kembali kenangan saat aku berulah dulu. Rasanya menyenangkan melihat ekspresi mereka yang terkejut.
“Oh, iya. Emily! Ayah sama Ibu kenal gak, ya? Apa aku harus tanya sekarang?” batinku.
Saat pertama kali aku mendengar Namanya, aku merasa harus mencari tahu siapa dia. Aku berniat untuk bertanya kepada Ayah dan Ibu, siapa tahu ada temanku yang aku lupakan saat sekolah dulu. Akan tetapi, aku selalu tidak mempunyai kesempatan.
Sebenarnya ada tapi saat itu aku sedang pendekatan dengan Valdi dan masalah Emily pun terlupakan olehku.
Melihatku tersenyum setelah sedikit kesal tadi membuat Ibu curiga dan berkata, "Jangan macam-macam ya nak, Ibu sama Ayah gak mau kejadian terulang lagi seperti sebelum-sebelumnya."
"Ah baru juga dapat ide jadi kabur lagi kan idenya gara-gara Ibu ngomong begitu,” batinku.
“Kenapa sih Ayah sama Ibu niat banget mau ta’arufin Putri? Ini udah yang ke empat kalinya, loh.”
“Ayah sama Ibu sering tidak di rumah. Ibu kadang ke luar kota dan Ayah kadang bisa tidak pulang berhari-hari karena sibuk di rumah sakit. Kami khawatir kalau gak ada yang jaga Putri,” jawab Ayah.
“Oh, iya. Putri mau tanya deh,” ucapku.
“Apa?” tanya Ibu.
“Ayah sama Ibu kenal Emily?” tanyaku lagi.
Ayah dan Ibu terdiam. Mereka saling pandang satu sama lain. Mereka seperti terkejut sesaat.
“Tidak, Ibu tidak kenal.” Ibu menjadi sangat serius sekarang.
“Kalau Ayah?” tanyaku.
“Gak! Ayah juga gak kenal. Kamu dari dulu tidak punya teman yang bernama Emily. Ini bahkan pertama kalinya kami mendengar nama itu,” ucap Ayah dengan nada yang sedikit tinggi hingga aku pun sempat terkejut.
Kalau memang tidak ada kenapa Ayah sampai seperti itu? Aneh.
“Tapi, kan…” ucapku terpotong.
"Putri, Ayah minta tolong kamu jangan menanyakan hal yang tidak penting seperti itu. Kan sudah Ayah dan Ibu jelaskan bahwa kami tidak mengenalnya. Kalau kamu merasa tidak asing dengan nama itu kamu harus ingat Ayahmu ini seorang dokter. Mungkin saja kamu pernah mendengar Ayah berbicara dengan pasien yang bernama Emily. Jujur saja, Ayah tidak ingat semua nama pasien Ayah. Ayah sudah berumur, jadi tolong jangan membuat Ayah pusing hanya karena sebuah nama dan tolong jangan permalukan kami lagi hari ini.” Ayah mengalihkan pembicaraan. Dia bicara lebih tegas dari biasanya.
"Iya, Yah,” jawabku lesu. Bukan berarti aku akan menurutinya. Aku akan tetap melakukan apa yang aku inginkan.
Ayah dan Ibu tertawa kecil, apa sebenarnya yang mereka pikirkan dan apa maksud dari tatapan itu.
"Nak, sejak kapan kamu jadi penurut?" tanya Ibu dengan suara lembut.
Sejak kapan aku akan menuruti Ayah dan Ibu jika soal ini? Aku kan cuma pura-pura saja.
"Lakukan saja apa yang biasa kamu lakukan saat bertemu calon-calon sebelumnya. Ayah dan Ibu akan pura-pura enggak tahu,” lanjut Ayah.
"Apa maksudnya? Mereka nyuruh aku menggagalkan acara siang ini? Tapi kenapa?" batinku bertanya-tanya.
"Maksud Ibu sama Ayah apa?" tanyaku memastikan.
Aku tahu Ayah sangat menginginkan ta'aruf kali ini dibandingkan dengan sebelumnya. Lalu, kenapa dia seakan-akan menyuruhku memamerkan ide gila yang sudah bersemayam dalam pikiran ini.
Ayah beranjak dari kursinya, berdiri kemudian melangkah pergi menuju ke arah ruang keluarga. Ibu juga turut mengikuti Ayah.
"Loh, Ayah mau kemana?" tanyaku.
"Ayah mau nonton dulu, selagi ada waktu,” jawab Ayah seraya menghentikan langkah kakinya.
Aku berjalan mendekati Ayah dan merengek kepadanya, "Ayah jawab dulu dong pertanyaan aku tadi."
"Yang mana?" tanya Ayah.
“Soal apa aku disuruh menggagalkan pertemuan kali ini?” tanyaku.
Ayah hanya memandingiku kemudian mencium keningku. Ibu juga sama tidak menanggapi.
Bersambung...

Comentário do Livro (176)

  • avatar
    Wulann1Lintang

    sip

    30/07

      0
  • avatar
    ZaidiAinaa

    BESTTTTTT!!!

    11/07

      0
  • avatar
    NyllNyl

    konyol

    10/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes