logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Special Marriage Proposal

Special Marriage Proposal

Erina Daizy


Capítulo 1 Calon Suami?

"Siapa ya?" tanyaku pada lelaki yang baru saja duduk di hadapanku.
"Saya calon suami kamu,” jawab lelaki yang mengenakan kaos hitam dan topi hitam itu.
Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku terkejut, mataku mengerjap beberapa kali. Calon suami? Aku bahkan tidak mengenal dirinya.
Mataku terbelalak mendengar jawaban dari laki-laki yang ada dihadapanku sekarang. Aku tidak tahu dia datang dan muncul dari mana. Kami bahkan belum pernah berkenalan dan tahu-tahu dia duduk didepanku dan mengatakan kalau dia calon suamiku.
Lelaki yang tampak seperti playboy ini membuka masker dan kacamata. Dia juga turut membuka maskernya. Ku akui dia memang tampan. Auranya seperti orang yang sering memberikan janji palsu. Meskipun tampan, aku tetap tidak suka padanya.

"Calon suami? Hahaha yang benar saja. Ini orang salah makan apa tadi, tiba-tiba ngelantur bicaranya,” batinku.
"Maaf ya Pak, Bapak mungkin salah orang. Saya di sini lagi nunggu pacar saya. Jadi, saya bukan calon istri Bapak dan Bapak juga bukan calon suami saya,” ucapku menegaskan. Dia terlalu iseng untuk sekedar bercandaan.

"Dasar orang gila tampan. Sebaiknya dia segera pergi sebelum Valdi sampai di sini,” batinku.
Aku sudah tidak sabar untuk menemui Valdi setelah sekian lama kami tidak jalan berdua saja. Aku tidak inginValdi salah paham mengenai hal ini. Aku ingin lelaki di hadapanku ini segera pergi meninggalkanku sendiri.
Sengaja aku menyebutnya bapak, agar dia tersinggung dan pergi. Sejujurnya dia tidak terlalu tua, mungkin hanya beda 6 atau 7 tahun denganku. Wajahnya juga lumayan, tapi sikapnya membuatku kesal.
"Saya calon suami kamu,” ucapnya. Dia tidak berniat untuk meninggalkanku. Dia malah terus berkata seperti itu. Walaupun dia lebih tampan dari pacarku tetapi aku tetap saja kesal.
Apa maksudnyaberkata seperti itu? Aku semakin tidak nyaman berada di situasi ini. Aku berharapValdi segera tiba dan mengusirnya. Sekarang, dia malah tersenyum sambil menatapku dalam. Mungkin, aku bisa berlubang lama-kelamaan karena ditatap olehnya.
Aku tersenyum kesal, "Apa aku siram saja air ini ke wajahnya?" gumamku. Tanganku memegang gelas air yang sudah siap untukku siram.
Aku balas tatapannya dengan tajam tetapi dia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya. Dia malah menatapku dengan semakin dalam dan tersenyum manis.
“Itu gelas..” Dia menunjuk tanganku yang menggenggam gelas dengan erat.
Aku menyunggingkan senyuman lalu mengangkat sebelah alisku.
“Kamu tidak berniat menyiramku menggunakan air itu, kan? Asal kamu tahu saja badanku itu bagus dan sekarang aku hanya mengenakan kaos biasa. Kalau kamu menyirami aku nanti akan terbentuk kotak-kotak di kaos ini. Aku sih gak masalah, kamu yang jadi masalah. Apa kamu bisa menahan diri untuk tidak melihat tubuhku?” ucapnya panjang lebar. Dia sekarang sedang menjahiliku.
Aku menunduk sembari meutup mata karena geram. Aku melepas gelas tadi dan ku kepalkan kedua tanganku.
“Kamu pikir hanya tubuhmu saja yang bagus? Hah, aku juga!” ucapku tidak sadar karena sudah terlalu kesal. Dia merusak mood ku hari ini.
Lelaki itu mendekatkan dirinya kepadaku. Dia melewati setengah meja panjang yang menjadi pertengahan diantara kami. Dia menatapku, baru ku sadari matanya benar-benar indah.
Aku ingin mengucapkan kata-kata kasar karena setelah sempat goyah sesaat. Diam tetap menatapku tanpa mengatakan apapun selama hampir satu menit lamanya.
“Kamu..yakin?” tanyanya setengah berbisik.
Aku kebingungan apa yang dia maksud yakin?
“Kamu yakin tubuhmu bagus?” tanyanya lagi dengan kalimat yang lebih lengkap dan jelas.
Gila! Gila! Dia mengatakannya seakan itu bukan apa-apa. Dia benar-benar seperti lelaki yang sering mempermainkan perasaan perempuan.
“Hah!” Aku memicingkan mata.
“Aku jadi semakin tidak sabar melihatnya. Bagaimana kalau kita menikah besok? Aku sudah menyiapkan semuanya,” ucapnya semangat.
Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Aku tidak bisa lagi menggambarkan lelaki yang sangat percaya diri ini. Apa aku harus berkata kasar agar lelaki ini mengerti? Kenapa dia tetap ingin aku menjadi istrinya dan dia tetap mengatakan kalau dia adalah calon suamiku? Apa dia sebenarnya tidak waras karena ditinggal menikah?
Aku mengeluarkan ponsel dari tas. “Berapa?” tanyaku.
“Hm? Berapa apa?” Dia bertanya balik.
Aku menghela nafas. “Berapa nomor rumah sakitnya?”
“Rumah sakit?” tanyanya lagi. Dia tampak kebingungan.
“Ya. Sekarang mana nomornya?”
“Kamu sakit?” tanyanya.
Aku semakin tidak bisa berkata-kata. Ku tepuk jidatku karena frustasi menghadapinya.
“Bukan aku tapi kamu. Kamu kabur dari rumah sakit jiwa, kan?” tanyaku.
“Rumah sakit jiwa? Hei, aku waras. Kenapa kamu mengatakan calon suamimu sakit jiwa? Tapi, kalau demi kamu aku rela tinggal di rumah sakit jiwa,” jawabnya.
“Ya Tuhan! Manusia jenis apa yang sedang aku hadapi saat ini. Kenapa ujung-ujungnya hal yang aku katakan menjadi gombalan untuknya. Bagaimana lagi caraku untuk mengusir orang ini,” batinku.
Lagipula, kemana Valdi. Dia tidak membalas pesan dan juga tidak mengangkat telepon dariku. Dari tadi aku sudah menunggu lama. Apa aku yang datang terlalu cepat atau dia yang memang terlambat.
Lelaki itu juga masih tersenyum melihatku. Rasanya aku ingin pergi dari sini.
“Kamu kenapa gak mau natap mata aku? Takut jatuh cinta, ya?” tanyanya.
Aku kembali menghela nafas. “Ya Tuhan!” batinku seakan berteriak.
“Kok diem, sih? Kenapa? Ada masalah?” tanyanya.
Aku seakan tidak mampu untuk menjawabnya lagi. Akan tetapi, jika tidak dijawab dia akan terus mengoceh dan tidak pergi. Aku harus membuatnya terlihat jelas kali ini.
“Ya, ada. Bapak masalahnya. Saya mohon Bapak segera pergi dari sini.”
Lelaki itu tetap juga tidak beranjak. Aku memutuskan untuk pergi dari sini dan kembali lagi saat Valdi sudah tiba. Aku bangkit dari dudukku dan mengambil tas.
“Hei, mau kemana? Bukankah kamu ingin menemui pacarmu di sini?” tanyanya.
Ah, aku benar-benar ingin berkata kasar. Aku kembali duduk.
“Ya, sudah. Kalau kamu benar-benar ingin saya pergi, saya akan pergi. Saya pergi dulu ya, kalau makin lama saya di sini sepertinya kamu akan kena darah tinggi.”
Mendengarnya seperti itu membuatku lega dan jujur saya aku masih kesal. Kenapa? Tentu saja karena aku tidak bisa menyiram wajahnya yang enak dipandang itu dan lagi dia tidak sopan.
Dia berdiri dan melangkahkan kaki menjauh pergi. Tapi kenapa melangkah dan mendekat lagi ke arahku?
"Hampir lupa, wajah kamu merah sekali sekarang seperti tomat. Jadi, aku panggil kamu chili saja. Oh iya, jangan marah-marah terus nanti cepet tua. Bukan aku loh yang bilang tapi nenekku. Kalau chili masih marah aku khawatir nanti gak bisa bedain mana chili dan yang mana nenek,” ucapnya sembari tertawa kecil kemudian meninggalkanku yang menahan malu.
Aku berdiri mengepalkan tangan karena geram. "Arrrgggghh, awas aja kalau ketemu lagi bakal aku balas, dasar orang gila. Eh, tapi aku gak mungin ketemu lagi kan sama orang iseng itu.”
"Lalu apa hubungan tomat dan chili lagi? Chili kan cabe. Emang dasar orang gila,” ucapku kesal.
Bersambung...

Comentário do Livro (176)

  • avatar
    Wulann1Lintang

    sip

    30/07

      0
  • avatar
    ZaidiAinaa

    BESTTTTTT!!!

    11/07

      0
  • avatar
    NyllNyl

    konyol

    10/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes