logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 HUBUNGAN SEGITIGA

Mentari keluar dari kamarnya dengan terburu-buru. Dia bangun terlambat. Jam besar di dinding ruang makan sedang menunjukkan angka tujuh lewat dua puluh menit saat ia meletakkan tubuhnya di atas kursi makan, meminum susu yang disediakan Mama untuknya dalam sekali teguk.
Mama memandangnya dengan khawatir. “Pelan-pelan saja minumnya.”
“Kamu bisa tersedak.” Papa pun berkomentar.
Wulan hanya terdiam, merasa bersalah. Karena rayuannya untuk pergi ke mal kemarin, kakaknya terpaksa begadang hingga jauh malam untuk merampungkan tugas kantor yang belum terselesaikan.
“Terlambat, terlambat...” Mentari mengulang-ulang kata itu dengan panik.
Tanpa kata-kata, Mama memasukkan beberapa tangkup roti panggang berisi pasta coklat ke dalam wadah plastik untuk bekal sarapannya nanti saat tiba di kantor.
“Ooh, terima kasih, Mama.” Mentari menyambar kotak bekal itu sambil mencium pipi ibunya.
“Mau Papa antar ke kantor?”
“Tidak usah, Pa. Aku naik bis bersama Bima, sudah janjian semalam.”
Wulan yang hendak menyuapkan sepotong roti ke dalam mulutnya mendadak berhenti dan meletakkan kembali potongan roti itu ke atas piring.
“Aku berangkat, Semuanya!” Mentari melesat keluar setelah memasukkan bekal sarapannya ke dalam tas kerjanya.
“Hati-hati, Nak.” Hanya Mama dan Papa yang menyahutinya. Wulan duduk mematung tanpa ekspresi, tapi tak ada yang memperhatikannya.
Mama melihat potongan roti yang tak termakan di atas piring sarapan Wulan. “Roti bakarnya kurang garing?”
“Bukan begitu, Ma.” Wulan seketika tersadar dari lamunannya dan menjawab dengan linglung. “Aku mau sarapan di kamar saja, sambil mengetik skripsi.” Ia meraih piring dan gelas berisi sarapannya yang belum tersentuh lalu masuk ke kamarnya. Selera makannya telah hilang.
Enaknya jadi Kakak, pikirnya dengan iri, bisa bertemu Bima setiap pagi. Tiba-tiba ia merasa bosan menjadi mahasiswi. Dia ingin segera lulus, mencari pekerjaan yang berlokasi di sekitar kantor Bima, agar bisa berangkat dan pulang kerja setiap hari bersama lelaki pujaannya itu.
Mentari menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa. Terlambat datang ke kantor bukanlah masalah terbesarnya. Teman-temannya biasa datang terlambat dan pihak perusahaan selalu mentolerir keterlambatan karyawannya. Toh mereka akan membayar keterlambatan itu dengan bekerja lembur.
Yang menjadi masalah utamanya saat itu adalah janjinya kepada Bima untuk bertemu di halte depan perumahan. Ia khawatir, Bima tidak sabar menunggunya sehingga meninggalkannya.
Tapi ia tak perlu khawatir. Karena Bima masih menunggunya dengan sabar di pintu masuk halte itu. Pria itu tersenyum kecil melihat Mentari menghampirinya dengan langkah-langkah lebar, wajahnya panik, rambutnya berantakan tertiup angin.
“Kenapa, Non? Seperti dikejar setan.”
Barulah Mentari bisa bernapas lega setelah melihat Bima. Ia tertawa kecil. “Aku terlambat bangun.”
Bima memandangnya prihatin.”Begadang sampai pagi?”
“Tidak sampai pagi juga. Jam dua belas aku sudah terlelap. Pada dasarnya aku tidak terbiasa tidur di atas jam sepuluh, jadi tidur jam dua belas akan mengganggu siklus tidurku.”
“Kerjaan kantor bagaimana?”
“Beres,” jawab Mentari berseri-seri, tersentuh oleh perhatian itu.
“Bisnya datang.” Bima menunjuk pada bis yang berhenti di depan halte untuk menjemput penumpangnya. “Ayo.”
Bus itu sudah terisi penuh, tak ada kursi yang tersisa. Bima menyentuh punggungnya dan menuntunnya ke salah satu sudut yang masih kosong. Lelaki itu menyuruhnya menempati sudut itu agar bisa bersandar pada dinding bis, sementara badannya dipasang menghadap tubuh Mentari agar dia tidak dihimpit oleh penumpang lain, terutama penumpang laki-laki.
Mentari merasa aman dan terlindungi. Meskipun badan mereka saling berhadapan dan hanya menyisakan jarak beberapa inci, Bima berusaha menahan badannya agar tidak menyentuh dan menghimpit tubuh Mentari saat supir bis menginjak pedal gas atau rem.
Setiap kali sang supir mengerem bis, tubuh-tubuh penumpang yang bergelantungan pada pegangan bis itu akan bergerak ke depan atau belakang secara serempak. Sambil tersenyum sendiri, ia meletakkan kedua telapak tangannya ke dada Bima agar tubuh lelaki itu tidak menimpa badannya.
Bima menunduk untuk melihatnya yang tersenyum-senyum sendiri itu. “Ada apa?”
“Lucu, melihat kita terombang-ambing ke depan dan ke belakang seperti terbawa ombak.”
Bima baru menyadarinya. “Haha, benar juga.”
Karena kurang tidur, Mentari terkantuk-kantuk di sepanjang jalan. Bima memperhatikan wajah manis itu terangguk-angguk dengan mata tertutup mengikuti irama bis dengan pandangan sayang. Suatu saat bis direm mendadak. Mentari yang berada dalam keadaan setengah sadar tidak siap dengan keadaan itu, tubuhnya terlempar ke dalam pelukan Bima secara telak. Bima berjuang menahan tubuh Mentari agar tidak menggelosor jatuh ke lantai bis dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain menggenggam erat pegangan penumpang yang tergantung di atap bis.
Menyadari guncangan bis dan tubuhnya yang berada dalam dekapan Bima, Mentari membuka mata dengan kesadaran penuh, menengadah memandangi lelaki itu.
“Aa-apa yang terjadi?”
“Enak tidurnya?” Bukannya menjawab, yang ditanya malah meledeknya dengan tersenyum jenaka. Bis telah melaju kembali dengan normal.
“Sori, aku ketiduran.” Mentari mengucek-ngucek matanya dengan polos. Ia mengedarkan pandangan ke luar bis. ”Sudah mau sampai.”
Bima mengangguk. “Tidak cuci muka dulu, Non?” Rupanya ia belum puas menggodanya.
“Aahhh...” sahut Mentari dengan manja sambil memberengut.
“Kamu manis kalau merajuk begitu.”
Mau tak mau ia tertawa.
Keduanya pun berpisah dengan berjanji akan saling mengabari satu sama lain jika akan keluar dari kantor di sore hari.
Sebulan berlalu. Hampir setiap hari mereka bertemu, baik di atas bis maupun di dalam kendaraan pribadi mereka. Kadang Mentari membawa mobilnya, dan tak jarang pula Bima membawa mobil mewah ayahnya ke kantor. Jika bepergian ke luar kota atau ke luar negeri untuk urusan bisnis, ayahnya lebih mempercayai anaknya untuk dititipi mobil kesayangannya, dibanding meninggalkannya di rumah bersama asisten rumah tangga.
Hubungan itu merupakan hubungan tanpa status. Bima belum pernah menyatakan perasaannya kepada Mentari secara lisan maupun tulisan. Mentari pun tak peduli, bahkan tak pernah mengharapkan. Asal bisa bertemu Bima, baginya sudah cukup. Sepertinya gadis itu masih belum ingin berkomitmen dengan siapapun.
Orang tua Mentari mengetahui hubungan pertemanan Bima dan anaknya. Mereka sangat mendukung, tapi tidak mendesak. Ayahnyalah yang paling bersyukur, karena ada yang menjaga anak gadisnya. Mau dibawa ke mana hubungan itu, biarlah mereka sendiri yang memutuskan.
Wulan belum menyerah, karena ia tahu, kakaknya tidak pernah mengakui Bima sebagai pacarnya, dan Bima pun tidak menganggap kakaknya sebagai kekasih. Setiap ditanya, biasanya dia akan menjawab dengan menggelengkan kepala dan tersenyum kecil, membuat si penanya bertambah penasaran.
Ada kalanya Bima datang berkunjung ke rumah kedua gadis itu. Jika tidak ada kesibukan, Papa akan mengajaknya bermain catur. Jika tidak diajak Papa bermain catur, Wulan selalu ikut menemani kakaknya mengobrol bersama Bima di teras depan rumah. Mentari tak terlihat keberatan, bahkan merasa senang karena suasana semakin ramai dengan kehadiran adiknya. Sesekali Mama dan Papa ikut bergabung dengan ketiganya.
Bima telah dianggap sebagai anak ketiga dalam keluarga itu, menggantikan anak lelaki yang meninggal dua tahun lalu dalam kecelakaan.
Suatu hari Wulan ingin ditemani menemui dosen pembimbing yang letak rumahnya berada di pelosok pinggiran kota Depok. Dia sedang mengerjakan tugas skripsi sebagai syarat kelulusan, dan untuk mempercepat proses selesainya tugas akhir itu, ia perlu mendatangi dosen pembimbingnya sampai ke rumah, karena susah untuk menemuinya di kampus.
Ada lagi satu alasan yang membuat Wulan minta ditemani. Dosen itu menyukai dirinya, pernah melamarnya untuk dijadikan istri, tapi ditolak Wulan secara baik-baik. Ia tak ingin kunjungannya ke rumah dosen muda yang belum beristri itu menimbulkan fitnah. Apalagi dosen itu tinggal sendirian.
Kebetulan di hari itu tak ada satu pun orang di rumah yang bisa menemaninya. Semua sudah punya jadwal yang tidak bisa dibatalkan. Kedua orang tuanya akan menghadiri resepsi pernikahan anak mantan atasan Papa saat masih bekerja di perusahaan BUMN. Mentari sudah terlanjur berjanji pada Meilia untuk menemaninya mengunjungi neneknya di daerah Sukabumi.
Wulan putus asa. Tugas skripsinya harus diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbingnya hari itu juga agar bisa mengikuti sidang kelulusan minggu depan. Seandainya dosen itu bukan bujangan yang tinggal sendirian, tentulah Wulan tak merasa sungkan datang sendiri.
Di saat-saat terakhir sebelum Mentari berangkat, Bima meneleponnya, mengajak mengunjungi museum Gajah.
Mentari mendapat sebuah ide. Ia meminta tolong Bima untuk menemani Wulan menemui dosennya. Bima tak berkeberatan. Maka disepakatilah Bima yang mengantar Wulan untuk menggantikan Mentari.
Ternyata rumah sang dosen cukup jauh. Mereka harus melewati jalanan berbatu-batu yang diapit oleh hamparan sawah di sisi kiri-kanan jalan. Pemandangan itu menyegarkan mata keduanya. Tak disangka, di pinggiran kota penyangga ibukota ini masih terdapat pemandangan asli pedesaan.
Arya, dosen Wulan, sudah menanti kedatangannya dari pagi. Disangkanya, Wulan akan datang bersama kakaknya, karena saat menelepon mahasiswinya itu sempat mengatakan akan mengajak kakak perempuannya untuk menemani.
Dosen muda itu menyalami Bima dengan pandangan bertanya-tanya, siapakah lelaki tampan ini? Apakah kekasih Wulan? Kalau memang benar, maka pupuslah harapannya. Memang, Wulan telah menolak lamarannya enam bulan lalu. Alasannya, ia masih kuliah dan masih memiliki kakak perempuan yang belum menikah. Alasan itu membuatnya agak berbesar hati. Berarti ia punya kesempatan saat Wulan lulus kuliah tahun ini.
Wulan hanya memperkenalkan Bima sebagai teman. Arya belum pernah melihat lelaki ini di kampus. Ada kemungkinan lelaki ini adalah teman spesial Wulan.
Bima tidak terlalu mempedulikan tatapan tidak suka dosen Wulan kepadanya. Ia tak pernah diberi tahu tentang cerita di baliknya. Mentari dan kedua orang tuanya sudah tahu akan hal itu. Makanya ia begitu khawatir melepas adiknya datang sendiri menemui dosennya.
Bima mengamati rumah bergaya pedesaan tapi diperlengkapi dengan fasilitas modern itu. Ukuran rumahnya sedang saja, tidak seluas istana. Tapi pekarangannya begitu luas, dipenuhi pohon-pohon dan aneka tanaman lain. Bagaikan rumah mungil di tengah hutan kecil.
Arya merasa puas dengan pandangan kagum tamunya terhadap istana kecilnya. Di sela-sela diskusi skripsi Wulan, ia menyempatkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Bima seputar interior dan eksterior rumahnya. Sebagai seorang arsitek, wajarlah jika Bima tertarik pada arsitektur bangunan unik ini.
Perasaan tidak suka yang awalnya terlihat di wajah Arya perlahan memudar. Ia menyukai teman pria mahasiswinya ini. Umur mereka pastilah tak jauh berbeda. Minat mereka terhadap bangunan dan tanaman memiliki persamaan. Ia merasa mendapat teman diskusi yang sepadan.
Dengan ramah Arya mengajak Bima mengelilingi rumah dan hutan kecilnya. Wulan ditinggalkan sendirian di ruang tamu, merevisi tugas skripsinya menggunakan laptop yg dibawanya dari rumah.
Ternyata dia tak perlu sekhawatir ini mendatangi rumah dosennya sendirian. Pak Arya mempekerjakan beberapa asisten untuk memasak dan mengurus rumahnya, jadi sebenarnya dia tidak tinggal sendiri.
Ketika Bima dan Arya kembali dari berkeliling, seorang wanita setengah baya yang ramah menyajikan teh hangat beserta kue-kue tradisional khas setempat.
Arya mengundang mereka untuk makan siang di situ. Bima dan Wulan sudah akan menolak, tetapi Arya begitu bersikeras meminta mereka menerima undangan makan siang itu. Rupanya ia sudah mempersiapkan makanan sejak dari mereka datang.
Makanan yang disajikan sangat banyak dan terlihat menggiurkan. Ini seperti pesta kecil, pikir Bima sambil menunduk untuk melihat aneka lauk dan sayuran yang berdatang dari dapur tak henti-hentinya. Arya bercerita, semua ini berasal dari hasil kebun dan peternakan kecil-kecilannya. Bima sangat terkesan mendengarnya. Berbeda dengan Wulan yang asik sendiri menikmati makan siangnya tanpa berkomentar apa-apa, hanya tersenyum menanggapi saat ada yang mengemukakan pendapat.
“Orang yang baik,” komentar Bima sambil melambaikan tangannya kepada Arya dan asisten-asistennya yang mengantar kepergian mereka sampai ke gerbang depan.
Wulan mengangguk. “Aku tadinya sempat berprasangka buruk. Aku pikir Pak Arya tinggal sendiri.”
Bima meliriknya dengan ekspresi tak mengerti. “Apa hubungannya berprasangka buruk dengan tinggal sendiri?”
Wulan memutuskan untuk memberitahunya cerita di balik itu. Sekalian ia ingin mengetahui reaksi dan tanggapan Bima akan hal itu.
Setelah Wulan selesai bercerita, sontak Bima tertawa lebar. ”Pantas saja di awal perkenalan aku merasakan pandangan tak suka dari dosenmu itu, Lan. Mungkin dia pikir aku ini pacar kamu.”
Wulan tersenyum masam.
“Bagaimana menurut Mas Bima?”
Bima berpikir sejenak sebelum menjawab. Wulan menanti ucapannya dengan berdebar-debar.
“Menurut aku, kamu beruntung.”
“Beruntung?” Wulan membelalakkan matanya dengan perasaan agak sakit. Ia tidak terlalu berharap reaksi Bima akan sesuai dengan keinginannya. Tapi ia juga tidak mengharapkan reaksi seperti ini. Aku beruntung katanya, Wulan membatin tak suka, beruntung apanya?
“Ya. Pak Arya memiliki karir yang bagus di usia semuda itu. Wawasannya luas, intelektualitasnya tinggi, pribadinya pun mengesankan. Coba kamu lihat rumah dan tanahnya yang luas. Semua itu hasil keringatnya sendiri, bukan warisan orang tua.”
Wulan menggigit bibirnya. “Jadi menurut Mas Bima, Pak Arya merupakan calon suami yang baik untukku?”
Bima melihatnya dari samping dengan pandangan kasih. Ia mencintai Mentari, dan menyanyangi Wulan. Ia menganggap gadis di sampingnya itu sudah seperti adik sendiri, dan berharap suatu saat bisa menjadi adik iparnya. ”Kalau menurut pendapatku, kamu sangat beruntung. Tapi...”
Wulan sudah mengangkat mulut untuk berbicara, maka Bima cepat-cepat melanjutkan. “Segala keputusan ada di tangan kamu, Wulan. Karena ini demi kebahagiaan kamu sendiri. Meskipun orang-orang di sekitarmu mengatakan A, tapi hatimu mengatakan B, ikuti saja kata hatimu, tak usah selalu mengikuti keinginan orang lain, biarpun itu bertujuan untuk kebaikan kamu. Yang menjalani kehidupan itu adalah kamu, bukan orang lain.”
Wulan tersentuh mendengar petuah itu, sekaligus sakit hati. Ia memalingkan wajahnya memandang ke luar jendela. Pemandangan hamparan sawah hijau menguning yang pagi tadi terlihat indah itu kini tak lagi terlihat indah di matanya yang mulai berkabut.
Ia menginginkan reaksi yang lain dari Bima. Ia ingin Bima mengatakan bahwa Pak Arya bukan pria yang tepat untuknya. Kalau bisa, ia menambahkan bahwa dirinya yang lebih tepat mendampingi Wulan. Antara sedih dan lucu, ia menertawakan isi pikirannya.
Bima meliriknya sekilas dan bertanya, “Kenapa senyum-senyum sendiri begitu? Kamu menertawakan nasehatku?”
“Bukan begitu, Mas,” Wulan menjawab manja. “Aku sangat menghargai masukan dari Mas Arya. Aku akan memikirkannya.” Ia pun tersenyum ceria.
Bima menghela napas lega.

Comentário do Livro (482)

  • avatar
    Bang Engky

    ok.....

    2d

      0
  • avatar
    MarkataTata

    bagus dan aku suka jln ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    SuhaeniEni

    sya suka cerita nya bagus2

    9d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes