logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 MENJADI AKRAB

Perdebatan yang cukup alot terjadi di meja sarapan. Papa belum bisa merelakan gadis sulungnya bedesak-desakan di dalam bis dan mengalami lagi pelecehan serupa.
“Papa, tolonglah berpikir logis. Belum tentu aku bertemu lagi dengan laki-laki mesum itu. Peluangnya sangat sedikit,” rengek Mentari.
“Meskipun peluangnya sangat sedikit, tetap saja ada peluang.” Papa bersikeras.
“Aku bisa menjaga diri.” Mentari menegakkan badannya, berlagak tangguh.
Mata Wulan bergerak ke sana kemari dari satu yang berbicara ke yang lain, mengikuti arah pembicaraan itu. Ia kasihan pada kakaknya, tapi juga menyetujui kemauan ayahnya. “Kakak jadi ikut aku latihan pencak silat Sabtu ini kan?” Akhirnya ia ikut angkat bicara untuk mendukung kakaknya.
“Pasti. Aku akan membanting setiap penjahat yang berani menyentuhku.”
“Bagaimana, Pa?” Mama bertanya ragu.
“Pilihannya hanya dua, kamu bawa mobil sendiri, atau Papa yang mengantar jemput kamu setiap hari.”
“Tidak ada pilihan ketiga?” Mentari masih mencoba melucu, menangkupkan kedua telapak tangan di dada dengan muka memelas. “Please...”
“Saat ini pilihannya baru ada dua, belum ada yang ketiga.” Papa meladeni kelakarnya.
“Ada pilihan ketiga, guys!” seru Wulan. “Kita bayar bodyguard untuk mengawal Kakak.”
“Memangnya aku selebriti?” tukas Mentari geli.
Mendengar usul tak masuk akal Wulan, ketiga orang yang ada di meja makan itu memikirkan hal yang sama: Bima.
“Ehm, teman kamu itu... Bima. Kantornya di sekitar Sudirman juga?”
“Bukan. Agak lebih jauh lagi turunnya. Dia di Kota Tua.”
“Berarti peluang kamu bertemu dengan dia dalam bis sangat sedikit.” Papa menyayangkan kenyataan itu.
“Halo, kalian berdua... Kita sedang sarapan di meja makan, bukan belajar di ruang kelas, seolah-olah menghadiri mata kuliah Probabilitas dan Statistik.” Wulan menginterupsi, membuat suasana yang serius berubah menjadi gelak tawa.
“Kamu ajaklah dia sekali-kali ke sini. Papa ingin berkenalan,” kata Papa berusaha terlihat serius, tapi gagal.
Semua paham, ini semacam kode untuk anak gadis sulungnya yang di umur dua puluh lima tahun belum juga mengenalkan seorang lelaki sebagai teman dekat.
“Papa sebenarnya sedang mencari bodyguard atau calon menantu?” tanya Wulan dengan bingung. Mentari memelototinya.
“Sudah hampir jam tujuh, kamu bisa terlambat.” Papa menyodorkan kunci mobil yang telah ia siapkan dari semalam.
Suatu pernyataan final yang tak terbantahkan, Mentari pun tak ingin melanjutkan debat, takut menjadi anak durhaka.
“Bawa sendiri atau diantar Papa?”
“Bawa sendiri saja.” Mentari mengambil kunci itu, lalu pamit kepada kedua orang tua dan adiknya.
“Hati-hati, Sayang.” Mama berpesan.
“Pasti, Mama.” Mentari mengecup pipi yang mulai keriput itu.
“I love you all.” Ia mengirimkan kiss bye sebelum menghilang dari balik pintu.
Mentari mengemudikan mobilnya perlahan saja, berharap bisa menemukan sosok Bima di sepanjang jalan kompleks perumahan. Kalau Bima ikut dengannya, ia akan meminta pria itu mengemudi, sehingga ia bisa duduk manis di sepanjang perjalanan.
Tetapi harapannya tidak terwujud. Di sepanjang jalan hingga halte bis di depan kompleks, laki-laki itu tidak kelihatan sosoknya. Mungkin sudah naik bis.
Selama tiga hari berikutnya, Mentari mengemudi sendiri ke kantor. Hasilnya, dia baru sampai ke rumah lewat jam delapan malam, padahal biasanya paling lambat jam tujuh dia sudah sampai di rumah.
Peraturan pun diperbaharui. Ia boleh naik bis lagi selama tiga hari berikutnya sambil melihat perkembangan selanjutnya. Jika tak ada lagi gangguan di dalam bis, ia boleh melanjutkan sampai batas waktu yang tak ditentukan.
Masing-masing pihak merasa puas. Terlebih bagi Mentari. Tak bisa ia membayangkan hari-harinya bergelut dengan kemacetan ibukota dua kali sehari. Kakinya terasa pegal karena setiap saat harus menginjak pedal rem saat arus lalu lintas mulai tersendat, mobilnya hanya bisa maju sejauh tiga meter setiap lima menit. Selain itu, peluang untuk bertemu dengan Bima sangatlah kecil jika terus-menerus membawa mobil ke kantor. Bahkan, peluang itu bukan kecil lagi, tetapi mustahil.
Pagi terasa indah saat Mentari melangkah keluar dari kompleks perumahan menuju halte tempat ia biasa menunggu bis. Berjalan kaki di pagi hari merupakan jenis olahraga yang praktis. Untungnya, kantor tempatnya berkerja tidak mewajibkan karyawan wanitanya memakai sepatu high heels. Ia pun memilih mengenakan flat shoes yang ringan dan nyaman dipakai, membuat mobilitasnya tidak terhambat.
Mentari mempercepat langkah saat melihat dan mengenali sosok yang berjalan beberapa meter di depannya sebagai Bima. Ia bersama dua orang lain.
Ketika telah dekat, Mentari berdeham keras untuk menarik perhatian. Hasilnya, ketiga pria itu menoleh serempak, membuatnya tersipu malu. “Hai!”
“Hey, lama tak bertemu! Ke mana saja? Aku pikir kamu sudah pindah rumah.” Bima menyapanya dengan hangat. Benarkah yang dilihatnya di mata lelaki itu adalah pandangan penuh kerinduan? Mentari tak berani berharap. Mungkin hanya ilusi optik.
Bima memperkenalnya dua orang yang bersamanya, Gilang dan Dennis. Ooh, rupanya inilah teman serumah yang ikut menyewa rumah bersamanya.
“Kamu ke mana saja selama ini?” Bima masih penasaran.
“Aku terpaksa membawa mobil sendiri ke kantor.”
Mendengar tekanan pada kata ‘terpaksa’, Bima menaikkan alisnya.
“Kenapa sekarang naik bis lagi?” tanya Dennis.
“Capek,” keluh Mentari. “Kakiku pegal-pegal karena tiap lima menit harus menginjak rem.”
Ketiganya serentak tertawa. Mentari hanya bisa meringis.
Rupanya lokasi tempat kerja Dennis dan Gilang berlawanan arah dengan kantor Mentari dan Bima, sehingga mereka pun berpisah di halte bis.
Mentari bersyukur, akhirnya bisa berdua saja bersama Bima. Ia hendak menceritakan situasi yang tengah dihadapinya hanya kepada Bima, karena ini bersifat pribadi.
“Aku bercerita kepada Papa tentang insiden di bis minggu lalu. Aku tidak diizinkan naik bis lagi. Pilihannya adalah membawa mobil sendiri atau diantar jemput oleh Papa. Aku tidak tega membuat Papa merasakan kemacetan Jakarta dua kali sehari.”
“Aku paham.”
“Tapi aku juga tak sanggup menyetir sendiri.” Ia mengeluh. “Aku kurang mahir mengemudi. Dan lagi, mengemudi sendirian itu membosankan. Tidak ada teman mengobrol di sepanjang jalan. Tak bisa berkenalan dengan orang-orang baru seperti kalau aku naik bis.”
Bima tersenyum mendengar keluhannya. “Papa kamu sudah tidak bekerja?”
Mentari mengangguk. “Papa baru saja pensiun. Mungkin karena merasa bosan di rumah di masa pensiunnya, Papa menjadikan alasan mengantar jemput aku kerja agar bisa keluar rumah. Tetapi aku tidak mau Papa masih berkeliaran di jalan raya di usia Papa sekarang ini. Papa punya riwayat penyakit jantung.”
Bima masih mendengarkan dengan tekun. ”Kamu tidak punya saudara laki-laki?”
Mendung seketika menyapu wajah Mentari. “Dulu aku punya adik laki-laki. Kalau masih diberi umur, usianya sudah tujuh belas, pasti sudah masuk universitas.” Ia tersenyum dalam duka, mengenang adik bungsunya yang bandel tapi penuh perhatian kepada kakak-kakak perempuannya.
“Oh, maaf. Aku tidak tahu...”
“Tak apa.” Mentari tersenyum lagi. “Cakra tergila-gila pada kecepatan. Dia bercita-cita jadi pembalap. MotoGP adalah impiannya. Dia meninggal dalam kecelakaan tunggal, motornya menabrak pohon.”
“Anak yang malang. Semoga dia tenang di sana,” hibur Bima setulus hati.
“Amin. Terima kasih,” ucap Mentari. “Kalau Cakra masih hidup, pasti dengan senang hati dia mengantar jemput kakaknya ini.”
“Kamu tidak punya pacar?” tanya Bima spontan, tapi buru-buru dia berkata lagi,
“Maaf, bukan bermaksud lancang untuk mencampuri urusan pribadi kamu...”
“Haha! Maksud kamu pacar yang bisa mengantar jemput?”
Bima mengangguk. ”Yaah, begitulah.”
“Kamu pikir aku mau pacaran dengan laki-laki yang tidak punya pekerjaan? Hanya laki-laki pengangguran yang bisa mengantar jemput pacarnya setiap hari. Kenapa tidak sekalian saja aku pacaran dengan supir taksi?”
Sejurus Mentari terdiam untuk berpikir. Ia khawatir Bima akan menganggapnya sebagai gadis arogan yang meremehkan profesi seseorang. “Bukannya aku meremehkan profesi supir taksi...”
Bima tersenyum penuh pengertian. “Aku mengerti maksud kamu.”
Kamu memang laki-laki baik hati dan penuh pengertian, ucap Mentari dalam hati.
“Aku akan menjagamu.” Bima berucap tanpa sadar, membuat Mentari menoleh untuk menatapnya dengan pandangan bertanya.
“Maksud aku...” Bima gelagapan sendiri. “Kalau kita naik bis yang sama, aku bisa melindungi kamu dari gangguan apapun.”
“Terima kasih, kamu memang teman yang baik.” Mentari memberinya senyum termanis.
“Kamu turun di halte berikutnya, bukan? Siap-siap saja dari sekarang.” Bima mengingatkan.
Mentari segera mengemasi barang-barang bawaannya. Bima membantu mengenakan tas ransel yang berisi laptop ke punggungnya.
“Sampai ketemu nanti sore.” Bima melambai saat Mentari melangkah keluar dari bis.
Semoga saja, doa Mentari dalam hati. Ia melemparkan senyum sebelum beranjak ke dalam koridor halte.
Hari ini, waktu terasa berjalan lambat bagi Mentari. Ia mengerjakan berbagai tugas di kantor dengan semangat, berharap bisa memangkas waktu, dan sore segera datang. Tetapi sang waktu sepertinya tidak mau berkompromi dengannya. Begitulah kalau kita menantikan sesuatu yang menyenangkan, waktu akan berjalan lambat. Berbeda jika kita menantikan sesuatu yang menakutkan, waktu terasa berjalan cepat.
Setiap saat ia melihat ke arloji di tangannya. Teman-temannya menjadi heran dengan ulahnya. Tidak biasanya Mentari bersikap begini. Kelakuannya persis seperti orang yang mengalami euforia. Perasaan gembira yang berlebihan.
Dimas, rekan Mentari dari divisi lain sedari tadi memperhatikan tingkahnya. Sedikit-sedikit melihat arloji, seperti menantikan sesuatu. Dia juga melihat kegembiraan yang tidak wajar terpancar dari wajahnya.
“Kamu sehat?” tegurnya ketika menjelang pukul empat Mentari terlihat makin sering menengok arloji di tangan, maupun jam di dinding.
Mentari menyentuh dahinya sendiri dengan telapak tangan. “Aku sehat, tidak demam.” Ia tahu, Dimas sedang meledeknya, tapi ia tidak sedang berminat meladeninya.
Dimas mencibir. “Bukan sehat secara fisik. Jiwa kamu kelihatan kurang sehat.”
Mentari melotot kepadanya, pura-pura marah. “Enak saja!” Hanya itu yang bisa ia ucapkan sebelum kembali berkonstrasi di depan layar komputer.
Hanna mencolek bahunya. “Mau pulang jam berapa?”
“Jam empat tepat.”
“Makan mie ayam, yuk. Pak Danu mau mentraktir kita semua,” ajak Vira kepada semua orang yang ada dalam ruangan. Pengumuman itu disambut penuh sukacita oleh mereka.
“Aku tidak bisa. Harus pulang cepat,” Mentari memberi tahu dengan menyesal. Sebenarnya seru juga berkumpul bersama sepulang kerja begini. Tapi apa mau dikata, ia sudah berjanji untuk bertemu dengan Bima di bis.
“Kenapa pulang cepat? Tidak setiap hari kita bisa hangout bareng seperti ini,” Marina membujuknya.
“Maaf, aku ada keperluan penting.” Mentari memandang berkeliling sambil memasang ekspresi meminta maaf, dan pandangannya bertemu dengan mata menyelidik Dimas.
“Ooh, itu yang membuat kamu seharian ini terus-terusan melihat jam,” godanya.
Mentari terkekeh. “Begitulah, teman-teman. Jadi, maaf sekali lagi. Mungkin lain kali...”
Teman-temannya mengangkat bahu mereka dengan kurang ikhlas, masih menyayangkan ketidakhadirannya. Mentari adalah penyegar suasana, kelakar dan celotehnya selalu membuat teman-temannya terhibur.
Tiba-tiba Dimas berdiri. “Aku juga tidak ikut.”
“Ada apa lagi dengan kamu? Ada urusan penting juga seperti Mentari?” Itu suara berat Pak Danu, bos mereka.
“Iya Pak, ada urusan penting. Aku mau mengantar Mentari mengurus urusan pentingnya.”
“Huuuuuuhhh...” Seisi ruangan beramai-ramai menyorakinya. Bahkan ada yang melemparnya dengan tissu bekas pakai.
Semua orang yang ada di kantor itu tahu hubungan antara Mentari dan Dimas. Sudah lama Dimas tertarik pada gadis bermata bulat itu, dan dia tidak malu mengumbar perasaannya kepada setiap orang. Tapi Mentari biasa-biasa saja kepadanya. Tidak membalas perasaannya, tapi tidak juga menghindarinya. Mentari memperlakukan Dimas sama seperti ia memperlakukan rekan laki-laki yang lain, meskipun ia tahu Dimas ada perasaan kepadanya. Inilah yang membuat Dimas makin menyukainya.
“Dimas yang baik...” Mentari berkata sabar. “Aku itu mau bertemu dengan seseorang, dan aku akan pulang bersama dia, jadi kamu tidak perlu menemaniku pulang.”
Dimas terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Okelah kalau begitu.”
Jam di dinding menunjukkan angka empat. Semuanya berkemas hendak pulang. Mentari sudah berkemas sejak tadi. Tas ransel berisi laptop dan tas kerjanya sudah tergeletak rapi di dekat kakinya. Bergegas disambarnya barang-barang itu kemudian pamit kepada setiap orang.
“Selamat bersenang-senang. Sampai ketemu Senin!”
“Ada janji dengan siapa? Dengan laki-laki, ya?” Dimas menghadangnya.
Bukan urusan kamu, Mentari hendak menjawab. Tapi dia hanya tersenyum misterius, membuat Dimas makin penasaran. Rasakan! Mentari terkekeh dalam hati melihat wajah Dimas yang tak berdaya.
Dia menunggu bis dengan berdebar-debar. Ketemu tidak, ya? Ia bertanya-tanya dalam hati. Tapi tak berani terlalu berharap.
Bis yang ditunggu-tunggunya mendekat perlahan dan berhenti tepat di depannya. Setengah hati ia naik, masih takut berharap menemukan Bima di dalam. Namun ajaib, laki-laki itu tersenyum lebar kepadanya dari dalam bis yang ia masuki.
Mentari menenangkan debaran kencang di dadanya sebelum berkata, “Kenapa kamu ada di sini?” Sebenarnya ia tak bermaksud mengatakan itu, tapi kalimat itu begitu saja terlintas di pikirannya. Dirinya benar-benar gugup bertemu Bima.
“Hey, ini transportasi publik. Apa anehnya kalau aku berada di sini?”
“Betul juga. Pertanyaan bodoh. Ha ha!”
“Sini, aku bantu melepaskan backpack itu.” Bima menyuruhnya berbalik agar bisa menurunkan tas di punggungnya. “Kenapa rasanya lebih berat dibanding tadi pagi?”
“Hehe, aku memasukkan beberapa berkas untuk aku kerjakan di rumah besok.”
Besok adalah hari Sabtu, libur weekend.
“Workaholic,” Bima berkomentar.
“Siapa?” tanya Mentari, meskipun ia tahu jawabannya.
“Kamu.”
“Terima kasih.”
“Hey, ini bukan pujian.”
“Ha ha. Aku tahu,” jawabnya sambil tergelak. “Kamu tahu tidak, aku terkenal sebagai karyawan termalas di divisiku. Tidak ada sejarahnya seorang Mentari membawa pulang pekerjaan kantor.”
“Lalu kenapa sekarang kamu tidak menjadi ‘seorang Mentari’? Hendak mendobrak sejarah?”
“Deadline. Aku diberi ultimatum oleh bos...”
“Pantas saja.”
“Bukan masalah. Akhir-akhir ini aku merasa bosan di rumah, tak ada yang bisa dikerjakan.”
“Tidak ada yang mengajak keluar di malam Minggu?”
“Siapa? Supir taksi?”
Tawa keduanya meledak, menertawakan lelucon itu.

Comentário do Livro (482)

  • avatar
    Bang Engky

    ok.....

    2d

      0
  • avatar
    MarkataTata

    bagus dan aku suka jln ceritanya

    5d

      0
  • avatar
    SuhaeniEni

    sya suka cerita nya bagus2

    9d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes