logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Dandelion

Ibu Chin membawa Luo Ding Xiang menuju halaman yang disiapkan untuknya. Sebuah halaman yang berada di bagian tengah wisma, tepat di belakang aula utama. Halaman yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk mengakomodasi semua kebutuhan sang nona.
Dandelion, plakat nama itu terukir dengan kaligrafi indah di atas pintu. Nama yang sama dengannya. Rupanya sang ibunda telah mempersiapkan halaman ini untuknya.
"Nona, ini halaman yang dipersiapkan Nyonya untuk Anda." Ibu Chin membuka pintu utama halaman dengan hati-hati.
Luo Ding Xiang mendongakkan kepalanya menatap kaligrafi di atas pintu utama.
"Kaligrafi yang indah," gumamnya terkagum-kagum.
Ibu Chin berhenti dan menoleh ke arahnya. "Fu ren sendiri yang menulis kaligrafi itu, Nona. Saat itu dia tengah mengandung Anda." Senyum wanita itu mengembang.
Dia teringat hari-hari saat Nyonya Hua Yan Yue tengah mengandung putri pertamanya. Wanita cantik itu dengan antusias mempersiapkan semua hal yang dibuatnya untuk putrinya yang belum lahir.
"Selir Yu yang membawa kaligrafi ini dan memasangnya di pintu utama. Begitu juga dengan kaligrafi untuk Tuan Muda". Kali ini Ibu Chin terlihat sedih saat menceritakan itu pada sang Nona Muda.
Lan'er dan Qin'er saling berpandangan mendengar cerita Ibu Chin. Mereka tak menyangka hubungan Nyonya Di dan para selirnya sangat dekat.
Sesuatu yang tidak lazim di masa dengan tatanan keluarga yang sangat teguh dalam tradisi. Tidak biasanya seorang Nyonya Di bisa bertoleransi terhadap wanita-wanita suaminya.
Di manor mereka tidak ada drama dan intrik persaingan antar selir juga Nyonya Di. Manor keluarga Luo di Jiangnan tidak pernah dalam situasi tidak harmonis.
Kehidupan mereka baik-baik saja dan selalu tenang tanpa ombak menghantam. Bahkan di saat wabah melanda Jiangnan, mereka turut serta bahu membahu dengan pejabat dan masyarakat setempat untuk menangani wabah yang semakin menjalar.
Sayangnya takdir tidak bersahabat dengan keluarga Luo. Setelah Selir Yu terdampak wabah, Tuan dan Nyonya Luo pun turut serta dan berujung pada kematian ketiganya.
Sebuah kehilangan yang beruntun dan hampir menghancurkan sendi-sendi keluarga Luo. Beruntung Nona Muda mereka merupakan orang yang cakap dan sigap. Meski harus kehilangan kedua orangtuanya dan juga salah satu selir yang sudah seperti ibu baginya tidak membuatnya lemah dan tidak berdaya.
Keputusannya untuk kembali ke kota asal Tuan dan Nyonya Luo diambilnya setelah dia berkirim kabar dengan kedua pamannya di Louyang. Meski begitu dia tidak serta merta mengambil tindakan. Dia memilih untuk membereskan semua masalah di Jiangnan dan memberikan pengaturan untuk seluruh penghuni manor.
Baik selir maupun para pelayan di manor mendapatkan hak mereka. Sehingga dia meninggalkan Jiangnan tanpa ada beban dan tanggungjawab yang tersisa.
Luo Ding Xian perlahan melangkahkan kakinya memasuki halaman yang untuk saat ini akan menjadi tempat tinggalnya. Jalan setapak beralas batu bata yang tertata rapi menyambutnya. Nampak sebuah bangunan utama yang tidak cukup luas berdiri di tengah halaman.
Diiringi para pelayan, Luo Ding Xiang segera memasuki bangunan utama. Sebuah bangunan yang dihias dengan halus. Tidak banyak barang-barang mewah namun segala sesuatunya terbuat dari bahan yang terbaik.
"Qin'er rapikan barang-barang kita. Jangan semuanya, sebagian saja," perintahnya pada sang pelayan.
Qin'er membungkuk hormat dan segera melaksanakan perintahnya. Dia ditemani beberapa pelayan wisma kembali ke halaman utama untuk mengambil barang-barang mereka.
"Ibu Chin bawalah Lan'er ke halaman adikku. Mereka harus segera beristirahat setelah perjalanan yang melelahkan." Luo Ding Xiang membelai rambut sang adik yang masih terlelap di gendongan pelayannya.
"Baik Nona! Lan'er ikutlah denganku." Ibu Chin membungkuk hormat dan membawa Lan'er ke halaman yang memang telah disediakan untuk Luo Han Guo.
Kini hanya tinggal Luo Ding Xiang ditemani seorang pelayan wisma. Dia memerintahkan sang pelayan untuk menyiapkan air mandi. Perjalanan jauh bukan saja membuatnya lelah namun juga gerah dan berdebu.
Sambil menunggu air mandinya siap, Luo Ding Xiang berkeliling halaman. Seumur hidupnya baru satu kali ini dia menginjakkan kakinya di tempat kelahiran sang ibunda.
Ibundanya, Nyonya Hua Yan Yue, merupakan sosok yang sulit dipahami bahkan olehnya, putri kandungnya. Dia bisa meraba-raba bagaimana situasi keluarga Luo dari karakter dan keseharian sang ayah. Ibu Chin yang merupakan pelayan setia ayahnya sedari masih tinggal di Luoyang pun turut andil memberinya sedikit informasi bagaimana situasi Luo manor.
Sedangkan ibunya, dia tidak tahu apa-apa selain fakta beliau menyayanginya dengan sangat. Luo Ding Xiang memahami ibunya tidak sesederhana seperti yang terlihat. Namun, dia tidak pernah mencoba untuk mencari tahu lebih dalam tentang sang ibunda.
Baginya sudah cukup kasih sayang dan kesediaan sang ibu untuk selalu ada di sampingnya hingga akhir hayatnya. Luo Ding Xia menyadari itulah pengorbanan terbesar Hua Yan Yue untuknya, putri semata wayangnya.
Berbeda dengan sosok sang ayah yang hangat namun tegas, ibundanya terkesan dingin dan menyendiri. Jauh berbeda dengan Selir Yu yang energik dan penuh keberanian. Berbanding terbalik juga dengan Selir Ma yang penuh gairah dan semangat.
Bersama ketiga wanita dengan kepribadian yang berbeda-beda itulah Luo Ding Xiang dibesarkan. Ketiga-tiganya memberi pengaruh yang cukup besar dalam membentuk karakter dan kepribadiannya.
"Ibu, aku tidak mengerti mengapa kau memintaku kembali ke ibukota? Dan untuk apa kau memberitahuku tentang pertunanganku dengan seseorang di ibukota? Sedangkan kau tahu pasti ini hal tersulit yang harus aku lalui?" gumamnya lirih saat berada di teras bangunan utama.
Ditengadahkannya kepalanya menatap langit yang sebentar lagi akan menggelap. Semburat jingga matahari sore perlahan memudar dan akan menghilang.
"Kembalilah ke ibukota dan tunjukkan token pertunangan ini pada paman dan nenekmu. Mereka akan mengerti dan akan mengatur semuanya untukmu." Begitu yang diucapkan sang ibunda sebelum dia meninggal.
"Singgahlah di Wisma Selaksa Bunga, ibu sudah mengatur semuanya untukmu dan Guo'er. Jika terjadi sesuatu di Luo manor, hanya tempat itu yang teraman untuk kalian." Pesannya lagi di sela-sela helaan napasnya yang semakin menipis.
Sebagai seorang gadis yang dibesarkan di kamar belajar manor, Luo Ding Xiang tidak begitu tahu menahu kehidupan di luar manornya. Namun bukan berarti dia tidak tahu apapun.
Cukup berat baginya untuk melakukan perjalanan panjang dari Jiangnan menuju ibukota, Louyang. Belum lagi kecanggungan berada di lingkungan yang baru dan orang-orang yang sama sekali belum pernah ditemuinya. Semua itu membuatnya gugup, takut dan cemas.
"Apakah kau mengerti makna dari namamu? Ibu memberimu nama Dandelion karena ibu menginginkan dirimu bisa hidup seperti bunga dandelion."
Luo Ding Xiang teringat ucapan sang ibunda di suatu waktu. Dandelion itulah namanya. Ibundanya berharap dia akan tumbuh dewasa seperti bunga dandelion.
Dandelion bukanlah bunga yang seindah dan seharum mawar, peony atau pun magnolia. Dandelion hanyalah bunga liar yang mudah dan dapat hidup di mana pun juga.
Biji bunga dandelion yang terbang mengikuti arah angin hingga mendarat, dan akhirnya tumbuh subur di mana pun dia terdampar, tidak peduli di padang belantara, tepi jurang, atau di mana pun.
Itulah dandelion, seperti Luo Ding Xiang yang harus berani, optimis, dan beradaptasi dengan baik di mana pun dia hidup. Entah di Jiangnan atau pun Luoyang, dia, Luo Ding Xiang akan bertahan hidup dan menggapai kebahagiaan hidupnya bersama orang-orang yang mengasihinya.

Comentário do Livro (209)

  • avatar
    Maleficent Yeti

    syabas author...jalan cerita yg menarik dan tidak membosankan... teruskan berkarya.

    16/06/2022

      0
  • avatar
    Spencer Quain

    seru

    4h

      0
  • avatar
    Nabbb

    bagusss bgtt

    11d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes