logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Ayo menikah!

“Sakit, nggak?” tanya Sabilla penasaran.
“Tidak.”
Sabilla menghela napas. “Baguslah. Ayo, kamu harus segera kuajarkan membuat kue. Kita dapat uang dari ini!” ucap Sabilla sambil membuka kantong belanjaannya. Ia mengeluarkan satu per satu bahan masakan. Sebelum memulai membuat adonan, Sabilla merapikan obat merah dan kapas ke nakas. Lalu ia kembali ke dapur dan mencuci tangan.
“Cuci tangan, sini!” ucap Sabilla sambil memberitahu cara mencuci tangan yang benar pada Bear.
“Pakai apronnya, supaya baju kamu tidak terkena adonan kue,” ucapnya lagi. Ia membuka lipatan apron dan memasangkannya ke tubuh Bear.
“Angkat tangannya, aku harus mengikatkan talinya di belakangmu.” Menyadari kalau dirinya akan memeluk Bear, Sabilla berdiri tegak, ia mengurungkan niat untuk mengikat tali apron itu dari depan. Sabilla berjalan ke belakang Bear lalu mengikatkan tali apron tersebut.
“Ok, perhatikan saat aku mengajarimu. Aku tidak akan mengajarimu lagi, nanti. Kamu tuh cowok, harus bisa cari uang.”
“Uang?”
“Iya, benda seperti ini!” seru Sabilla sambil mengeluarkan selembar uang dari saku celananya. “Ini itu, benda yang bisa dipakai untuk membeli apa saja, bahkan menyembuhkan berbagai macam penyakit, terutama penyakit miskin. Ngerti?” tanya Sabilla. Bear mengangguk dengan wajah polosnya. Sabilla tertawa puas, begitu mudahnya ia menjahili pria di hadapannya saat ini.
“Mari kita mulai!” ucap Sabilla. ia mengantongi kembali uang tersebut di saku bajunya.
Mulai dari memecahkan telur, menyalakan mixer serta mengatur kecepatannya, mencampurkan tepung dan gula, serta takaran mentega. Semua dijelaskan oleh Sabilla dengan hati-hati.
Setelah adonan pertama dibuat, Sabilla menatanya ke dalam Loyang lalu memanggangnya.
“Coba, sekarang praktekin apa yang aku ajarkan barusan!” titah Sabilla.
Bear mengangguk patuh, ia memecahkan empat butir telur ke dalam wadah, lalu menyalakan mixer. Saat mengaduknya, ia berhasil. Namun, saat mencampurkan terigu, saat itulah Sabilla tertawa karena terigu tersebut menyembur ke wajah Bear dan membuat kulitnya tertutup tepung.
“Kan, kamu nggak memperhatikan dengan benar. Harusnya tidak begini!” serunya sambil mengambil alih pekerjaan. Bear bergeming menatap kembali cara yang diajarkan Sabilla.
Gadis itu merasa lega karena ia berbelanja bahan masakan yang dilebihkan.
“Istri, kenapa sulit sekali.”
Sabilla menoleh, lalu tersenyum. “Kalau mudah, harganya juga nggak akan semahal ini! Kue dari toko milikku, rasanya enak. Kamu mau coba?” tanya Sabilla saat mendengar suara oven yang berdenting.
Bear mengangguk. Sementara Sabilla mematikan mixer dan berjalan menuju oven. Ia mengeluarkan kue yang sudah dipanggangnya, menyimpannya di atas nampan bundar untuk didinginkan. Ia mematikan oven, lalu menghampiri Bear.
“Sepertinya, besok saja kita mulai buka toko. Aku harus mengajarkanmu dulu!”
“Lagian ini sudah waktunya makan siang!” gerutunya lagi sambil menyelesaikan adonan kue itu. “Kamu suka brownies? Kalau iya, aku akan menuangkan coklatnya.”
“Apa itu?”
Sabilla menoleh ke arah Bear, lalu berpaling karena tidak kuat menahan tawa. “Tidak, lebih baik kamu makan makanan yang aku suka, ok!” ucapnya tanpa menoleh.
“Baik.”
“Bear, kalau di tempat umum, jangan banyak bertanya, apalagi benda tadi. Itu membuatku malu.”
“Baik.”
“Ah, ya.” Sabilla menghentikan ucapannya. Apa ia harus melarang Bear untuk tidak memanggilnya istri? Tidak, itu malah bagus, bukan? Toh, ia dan Bear akan menikah meski hanya pernikahan yang akan dihadiri oleh pendeta dan mereka berdua.
“Apa yang diucapkan Leo, jangan kamu pikirkan.”
“Baik.”
Sabilla menoleh, sebenarnya ia geram karena Bear selalu menjawabnya dengan kata ‘baik’ tetapi kesal itu luntur seketika saat menatap wajah Bear yang masih putih oleh tepung.
Sabilla menghentikan mixer, lalu menepikan tempat adonan kue itu ke sisi meja. “Kamu harus cuci muka. Sekalian saja mandi, gih! Nanti lanjutkan membuat adonannya!” titah Sabilla.
“Baik!”
Sabilla tertawa, lalu ia kebelakang Bear dan membuka tali apron. “Baju kotor, kamu simpan di keranjang yang ada di kamar mandi, nanti aku ajarkan kamu mencuci baju.”
“Baik.”
“Bear!” teriak Sabilla gemas. “Jangan ‘baik’ terus jawabanya.
“Lalu.”
Sabilla menghempaskan napas kasar. “Besok kita menikah, kamu harus punya banyak kosakata! Nanti, gimana kamu berbicara kalau ditanya?” Sabilla mendengus, lalu beranjak menuju ranjang untuk mengambil ponsel.
“Beres mandi, kamu nonton saja! Pelajari kata-kata di film yang aku download.”
Bear mengangguk, lalu ia bergegas menuju kamar mandi dengan selembar handuk dipundaknya. Sabilla kembali menghempaskan napas kasar. Hari ini, ada orderan yang harus ia antarkan sebelum jam empat sore. Ia beruntung masih mendapatkan pembeli meski toko utama tutup.
Ia melanjutkan membuat kue sesuai pesanan dua pembeli tersebut. satu kue ulang tahun, satu lagi kue untuk anniversary pernikahan sepasang suami istri baru. Sementara ponselnya ia simpan tak jauh darinya karena sedang mendownload film pendek
Selesai meletakan kue ke dalam oven, sabilla mengambil ponselnya yang berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor tanpa nama.
“Hallo?”
“Nona Billa, kue yang saya pesan minggu lalu, bagaimana? Toko Anda tutup ternyata.” Suara wanita di ujung telepon terdengar sangat khawatir.
“Oh, ya, aku akan mengantarkannya langsung ke alamat rumah Anda, Nyonya Betty. Karena besok pun saya masih tutup toko.”
“Oh, baiklah. Kalau boleh tahu, kenapa Anda menutup toko selama itu?”
“Selain pindahan rumah, aku juga akan menikah. Maafkan saya, tapi saya akan mengutamakan pelanggan.”
“Sungguh? Aku ingin datang ke pernikahanmu.”
“Haha, pernikahan yang sederhana, kok!”
“Istri, bajuku di mana?” tanya Bear sambil keluar dari kamar mandi.
Wajah sabilla begitu merona, ia tidak lagi mendengarkan apa yang ditanyakan pelanggannya di ujung telepon. “Oh, Nyonya. Nanti saya kabari lagi!” pintanya sambil mengakhiri panggilan.
Suara oven pun berdenting, Sabilla bergegas menuju oven. “Tunggu sebentar di sana!” titahnya. Ingin ia memaki Bear, tetapi sudahlah, bukankan itu lebih baik?
Setelah mengeluarkan dua Loyang kue dari oven, Sabilla bergegas menghampiri Bear di dekat lemari.
“Baju kamu sebelah sini, nanti lah kalau ada uang, kita beli lemari baru. Makanya kamu tuh diajari, harus cepat mengerti. Biar bisa cari uang.”
“Baik.”
Sabilla menoleh dengan wajah masam. Tidak ada yang salah dengan jawaban dari Bear, tetapi hal itu membuatnya gemas. Ia menyerahkan sepasang baju pada Bear. “Ingat ya, baju kamu ada di sini!” tunjuk Sabilla ke arah lemari. Bear mengangguk.
Sabilla kembali ke dapur, ia memarut keju dan menaburkannya di atas chessescake. Setelah selesai, ia memotongnya menjadi beberapa bagian. Setelah selesai, ia menunggu Bear keluar dari kamar mandi.
Pintu kembali berderit, Bear sudah selesai berganti pakaian. Ia berjalan menuju kawat jemuran dan menggantungkan handuk basah di kawat jemuran itu seperti apa yang dilakukan Sabilla tadi pagi. Setelah itu, ia menghampiri Sabilla.
“Ini kue kesukaanku,” ucap Sabilla sambil menyodorkan satu sendok kue ke arah mulut Bear.
Bear mengangguk, ia menggigit kue yang diberikan Sabilla. “Gimana, enak, kan?” tanyanya antusias.
Bear mengangguk, ia masih mengunyah makanan tersebut. “Kamu harus bisa membuat ini!”
“Baik, Istri.”
Sabilla menatap bear dengan gemas. Kata-kata yang ia lontarkan memang sederhana, tapi membuatnya berdebar dan gemas. Seandainya kata-kata itu terlontar dari sosok pria yang normal, mungkin akan ada adegan romantis selanjutnya. Sayang, pria di depannya saat ini berbicara tanpa tahu apa maksud yang ia ucapkan. Bahkan Sabilla harus merasa menjadi orang jahat berkali-kali yang sudah memanfaatkan kepolosan pria itu.
“Bear, panggil aku Sabilla saja, Billa, atau Sa. Terserah kamu. Kamu panggil aku dengan sebutan ‘istri’ aku berdebar terus, tahu!” gerutunya.
“Baik, Sabi.”
Sabilla menoleh dan menatapnya tajam, Bear bergeming kebingungan. Apa ia salah panggil?
“Sudahlah, makan dulu sana. Aku mau merias kue dulu. Nih, tonton ini. ini film documenter pernikahan orang lain, kamu harus menghafal apa yang diucapkan prianya. Ok?”
Bear mengangguk, lalu ia membawa ponsel itu ke atas karpet depa televisi. Ia duduk di atas karpet sambil menonton film yang diberikan Sabilla, sementara Sabilla merias kue pesanan pembelinya.
Selesai merias kue, Sabilla segera mengemasnya dengan kardus mika. Lalu bersiap untuk segera pergi mengantarkan kue tersebut. Ia berjalan menghampiri Bear, lalu mengambil ponsel itu.
“Aku mau pergi mengantarkan kue. Kamu jangan ikut, di sini saja, jangan ke mana-mana juga!” titahnya. Bear mengangguk, Sabilla menyalakan televisi untuk menemani Bear di rumah.
Setelah itu, ia kembali ke dapur untuk mengambil pesanan pembeli. ‘Aku berangkat dulu! Kalau ada orang lain yang mengetuk pintu, jangan dibukain! Jangan masukin orang lain juga!” titahnya. “Kalau kamu masukin wanita selain aku, siap-siap saja kamu pergi dari sini!” ancamnya.
Bear mengangguk. “Hati-hati!” ucap Bear. Ia berdiri lalu mengecup kening Sabilla, gadis itu terbelalak.
Sabilla segera menepis dan berjalan menuju pintu keluar. Wajahnya begitu merona, sialnya pria itu mencium keningnya tanpa perassaan tetapi membuat hatinya ketar-ketir.
Sabilla menutup pintu, lalu berjalan menuju tangga. Ia terus menyadarkan diri dari lamunannya. Ia harus menjaga kue tersebut supaya selamat sampai ke tangan pembeli.
Sore harinya setelah pulang dari urmah pelanggan, Sabilla berjalan menuju halte bus. Mobil putih milik Leo berhenti di tepi jalan, lalu ia keluar dari mobil dan menghampiri Sabilla, ia juga duduk di samping Sabilla.
Sabilla menoleh, lalu berpaling. Leo menatap mantan kekasihnya itu dengan keraguan.
“Sa, kamu beneran mau menikah dengannya?” tanya Leo masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Iya lah!”
“Sa, memang kamu tahu keluarganya? Asal usulnya? Kamu kan baru ketemu dia kemarin sore, loh.”
“Memangnya kenapa dengan orang yang baru ketemu? Sama kamu aja kenalnya bertahun-tahun, tapi kalau udah dari sononya brengsek, ya tetep brengsek. Kamu tahu apa tentang suamiku?” Sabilla mendelik.
“Dia juga pria miskin yang menumpang di rumahmu, kan? Kenapa kamu mau, sih, Sa?”
Sabilla menoleh dan menatapnya tajam. Ya, Sabilla tidak menyangkal penghinaan tersebut, tapi Leo tahu apa tentang Bear? Tidak mungkin juga dirinya mengatakan kalau Bear adalah perwujudan dari sebuah boneka, semakin menjadi hinaan Leo terhadapnya.
“Aku yang mau menikah, kenapa kamu yang pusing mengatur?”
“Aku masih mencintaimu, Sa. Aku nggak mau kamu menikah dengannya. Kamu tidak mengerti, kah, perasaanku?”
“Lalu, kamu yang tidur berdua dengan Eli, menikmati tubuh sahabatku sendiri, apa kalian memikirkan perasaanku? Tidak, kan?”
“Jadi kamu mau balas dendam, begitu, Sa?”
“Tidak, untuk apa aku balas dendam. Aku beruntung dijauhkan dari manusia-manusia seperti kalian!” ucap Sabilla sambil berdiri saat mobil bus tiba. Wanita itu berjalan menuju bus dan meninggalkan Leo yang terus memanggil namanya.
Mobil bus itu melaju kencang. Sabilla menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Sesampainya di rumah, Sabilla membuka pintu dan mendapati Bear masih menatap ke layar televisi. Pria itu menoleh saat mendengar suara pintu di buka.
“Kamu nonton apa?” tanya Sabilla sambil melepas sepatunya.
“Tidak tahu, videonya berganti-ganti.”
Sabilla berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan kaki dan tangannya. Ia juga mencuci wajah. Setelah itu, ia duduk di samping Bear, menatap pria itu dengan kepala penuh pertanyaan. Bear menoleh, lalu tersenyum.
“Kamu beneran tidak punya ingatan sama sekali?” tanya Sabilla dengan suara lirih. “Aku berharap kamu punya keluarga, punya nama, bukan begini.”
“Aku punya kamu, kenapa?”
Sabilla menghela napas panjang. “Kamu dari tadi menonton televisi? Tidak ada orang lain yang datang, kan?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
“Tidak ada,” jawabnya singkat.
Sabilla masih menatap Bear penuh tanya. Apakah keputusannya sudah bulat menikah dengan pria ini? Bagaimana jika suatu saat Bear berubah wujud kembali menjadi boneka?
“Bear, apa kamu akan menjadi boneka kembali?” tanya Sabilla penasaran.
“Tidak tahu.”
“Lalu, bagaimana kamu bisa menjadi manusia?” tanya Sabilla. Rasa penasarannya begitu besar, seandainya ia memasang CCTV di rumah petaknya itu. ia pasti tahu sebab Bear bisa berubah menjadi manusia.
“Kamu menciumku.”
Sabilla terbelalak, benarkah? Otaknya mengingat kembali ke hari-hai sebelumnya saat ia meninggalkan boneka beruang itu di atas kasur, setelah menciumnya dengan gemas, karena boneka itu begitu cantik dan wangi setelah dicuci.
“Katakan lebih sederhana lagi, kalau kamu adalah pangeran yang dikutuk. Supaya aku bisa mudah percaya dengan perubahanmu.”
Bear semakin diam kebingungan, Sabilla menggeram kesal. Lalu ia beranjak menuju lemari dan mengambil handuknya.
Di kamar mandi, Sabilla menatap keranjang baju yang mulai penuh. Ya, dia tidak sendirian lagi saat ini, karena itu baju kotor di keranjang tersebut menjadi banyak.
“Ah, sudah lah, aku cuci saja sekarang!” gerutunya. Setelah menanggalkan baju, ia memasukkan baju kotor tersebut ke mesin cuci, memberinya deterjen, lalu menambahkan air. Sabilla menutupnya dan menekan tombol. Lalu, ia bergegas untuk membersihkan diri.
Keluar dari kamar mandi, ia memakai handuk kimono dan mendorong ember cucian. Ia berjalan menuju lemari dan mengambil beberapa baju untuknya, setelah itu ia kembali lagi ke kamar mandi.
Selesai berpakaian rapi, Sabilla keluar dari kamar mandi dan membawa ember berisi baju yang sudah dicucinya.
“Bear, bantu aku mengangkat cucian ini!” pintanya. Bear segera berdiri, lalu mengambil ember itu.
“Ke mana?”
“Ke atap, kita akan menjemurnya di atap.”
“Baik.” Bear membawa ember itu keluar diikuti Sabilla. Lalu keduanya berjalan menuju atap, sesampainya di atap, Bear meletakan ember tersebut sesuai perintah Sabilla.
“Bear, kamu mau menikah denganku?” tanya Sabilla.
“Tentu saja!” jawab Pria itu dengan yakin.

Comentário do Livro (390)

  • avatar
    AnggariAlfien

    bagus untuk mengisi waktu luang tulisannya juga jesal

    15d

      0
  • avatar
    NikeAvrillia

    cerita ini sangat bagus dan rapi

    28d

      0
  • avatar
    ZaskiaKia

    sangat bagus😭😭

    24/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes