logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Bear

Sabilla meremas lembaran uang itu sampai kusut, ia sangat kesal sekali pada sikap Leo yang seolah telah mengejeknya. Toko kue miliknya pun kembali ramai, membuat Sabilla sedikit melupakan kejadian tadi pagi.
Sekitar jam sembilan malam, Sabilla pun berkemas untuk segera pulang. Ia pulang berjalan kaki menuju rumah susun yang ia sewa. Sekitar lima belas menit ia berjalan, Sabilla pun tiba di depan gedung tersebut. Sabilla menatap ke lantai dua, kamar paling ujung.
“Lampu kamarku menyala? Apa aku menyalakan lampu sebelum berangkat?” gumamnya. Lalu ia berjalan cepat memasuki area rumah susun, meniti tangga dengan segera lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
Sabilla membuka kunci pintunya dengan tangan yang gemetar, ia takut ada maling masuk ke dalam rumahnya. Terlebih saat ia mendengar suara keributan di dalam kamarnya.
Tangannya berhenti untuk memutar knop pintu. “Tunggu! Apa jangan-jangan, benar di kamarku ada hantunya?” gumamnya dengan mata terbelalak.
Jantungnya berdegup kencang saat tangannya memutar knop pintu. Namun, pintu itu masih dikunci. Sabilla segera merogoh kuncinya dari saku baju dan segera membukanya. Derit pintu terdengar pelan, Sabilla mengintip ke dalam rumahnya lalu ia menjerit histeris.
“Aaa!”
Para tetangganya serentak membuka pintu, lalu menatap penuh tanya pada Sabilla yang mematung di depan pintunya.
“Woy! Jangan berisik!” ucap seorang wanita yang kamarnya dekat dengan tangga. Sabilla menoleh lalu mengangguk dan membungkuk.
“Maafkan saya!”
“Ada apa, Kak?” tanya seorang gadis berkacamata yang merupakan tetangga dekatnya.
Sabilla tersenyum kikuk. “Ada kecoa, tadi!” serunya lalu segera memasuki kamarnya dan menutup pintu dengan rapat. Ia menoleh ke arah dapur kecil, seorang pria yang memakai kaos pink miliknya menatapnya penuh tanya.
“Kamu siapa?” tanya Sabilla dengan suara pelan. “Kenapa pakai bajuku?” tanyanya lagi.
“Aku, tidak punya baju!” ucapnya sambil menggaruk tengkuk. “Sebagai gantinya aku menyiapkan makan malam! aku membuatnya karena ini ada petunjuknya!” serunya sambil mengacungkan mangkuk mie.
Sabilla mendengus kesal, lalu berjalan menghampiri pria itu. “Kamu siapa? Kenapa bisa ada di rumahku?” tanyanya penuh selidik. Pria itu pun semakin kebingungan.
“Pergi!” usirnya sambil menunjuk ke arah luar.
Pria itu mengatupkan bibirnya, menatap Sabilla penuh harap.
“Aku bilang pergi dari sini!” usirnya lagi.
“Kamu yang mengambilku, kenapa sekarang mengusirku?” tanya memberanikan diri untuk angkat bicara.
Sabilla sangat terkejut, mengambilnya? Ia tidak merasa sudah mengambil seorang pria. “Kamu jangan mengada-ada! Untuk apa aku mengambil seorang pria! Aku masih punya harga diri meski aku baru saja dicampakan!” sangkalnya.
Sabilla bergeming kembali.
“Aku, boneka.”
Sabilla kembali terkejut, apa yang dia katakan? Boneka? Tunggu, ia teringat dengan boneka pemberian sopir taksi pada pagi itu. Sabilla beranjak pergi menuju ranjangnya untuk mengambil boneka. Sesampainya di sana, boneka beruang itu tidak ada.
Sabilla mencarinya di seluruh ruangan sempit itu, tetapi ia tidak menemukan boneka tersebut. “Di mana sih, perasaan aku simpan di sini!” ucapnya mulai kebingungan.
“Kamu cari apa?” tanya pria itu dengan suara yang lambat, seperti orang yang sedang belajar mengucapkan kata.
Sabilla menoleh dan menatap tajam pria itu. “Kamu. Mengambil bonekaku, ya? Lalu membuangnya?” tanya Sabilla menahan kesal.
“Tidak.”
“Lalu, kamu apakan bonekaku?”
“Aku bonekanya.”
Sabilla berkacak pinggang dan menatap ke arah pria itu. Memang pria di depannya bak meneqin hidup, kulit putih seperti porselen, hidung mancung dan iris mata yang hitam dengan bentuk mata seperti kacang almond. Bahkan memakai baju kaos pink pun, pria itu bisa dibilang sangat maskulin.
Sabilla berdecak sambil berpaling, lalu menghela napas panjang. Ia kembali menoleh ke arah pria itu. “Aku tanya Bonekanya?” tanyanya lagi sambil menekankan kata boneka.
“Aku bonekanya.”
Sabilla menggeram kesal. lalu ia meraih tangan pria di hadapannya, menyeretnya untuk segera keluar dari kamarnya saat ini. “Kamu, diam di sini!” titah Sabilla, lalu ia segera menutup pintu. Meninggalkan pria itu sendirian di depan pintu.
Sabilla kembali memeriksa ruangannya, memeriksa barang berharganya, tidak ada satu pun yang hilang. Hanya boneka teddy bear warna coklat yang hilang dari tempatnya.
Sabilla memeriksa mie instan yang sudah di seduh itu masih belum diaduk. Ia memindai sekitarnya kembali dan bertanya, dari mana pria itu datangnya?
Di luar, seorang gadis berkacama itu membuka pintu untuk membuang sampah, ia terkejut saat mendapati pria yang berdiri tepat di depan pintu kamar Sabilla.
“Kakak siapa, ya?” tanya gadis itu menatap penuh tanya pada pria tersebut.
Pria itu menoleh dan menatapnya dengan tatapan datar. “Aku miliknya!” ucapnya sambil menunjuk ke arah pintu. Gadis berkacamata itu menautkan kedua alisnya. Lalu, ia segera kembali memasuki kamarnya sambil bergidig.
Pria itu masih berdiri di tempatnya dengan perut yang mulai bergemuruh. “Kenapa perutku berbunyi?” gumamnya sambil mengelus perutnya. Lalu ia kembali mendongak saat mendengar suara langkah yang mendekat ke arah pintu.
Sabilla yang sudah membuka pintu kembali terkejut. “Kamu masih di sini?” gumamnya. Ia celingukan. Hari sudah malam, tetapi laki-laki di depannya masih tetap di depan kamarnya. “Pulang sana! Mumpung aku baik hati tidak melaporkanmu ke polisi.”
“Pulang?” tanya pria itu dengan wajah kebingungan. “Ke mana?”
Sabilla menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu berbalik setelah membuang mie ke dalam tong sampah. “Pulang ke rumahmu, lah. Ke mana lagi?”
Pria itu bergeming, menatap ke arah Sabilla dengan tatapan berembun. Sabilla menghela napas panjang, lalu menarik pria itu kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia menutup pintu, lalu mengajak pria itu untuk duduk di atas karpet.
Ia tidak mau pusing dengan semua pertanyaan yang tidak kunjung mendapat jawaban.
“Nama kamu siapa?” tanya Sabilla memastikan. Ia sudah siap dengan ponselnya.
“Bear.”
Jawaban dari pria itu membuat Sabilla mendongak dan menatapnya penuh tanya. Lalu, ia berusaha mengabaikan rasa terkejutnya dan mulai menuliskan nama pria itu di ponselnya.
“Usia?” tanya Sabilla lagi. hening, Sabilla mendongak dan menatap pria di depannya. “Usia kamu berapa?” tanyanya lagi memastikan. Pria itu menggeleng pelan. Sabilla menghela napas. Lalu ia melanjutkan pertanyaannya.
“Kamu ingat nama orang tuamu? Alamat rumahmu? Atau.”
“Aku milikmu.”
Sabilla mengatupkan bibirnya dan menatap penuh kesal ke arah pria di depannya. Tampan sih, tapi ngeselin. Batin Sabilla mengumpat.
“Kamu masuk rumahku dari mana?” tanya Sabilla memastikan kembali.
“Kamu yang membawaku.”
Sabilla menghempaskan napas, lagi, ia dibuat jengkel oleh pria di depannya. “Ok, Bear. Berhentilah bercanda. Aku tidak membawamu kemari!” ucapnya penuh tekanan.
“Tidak. Kamu yang membawaku.”
“Argh!” geramnya sambil berdiri. Ia berjalan mondar-mandir di depan pria itu. apa yang harus ia lakukan pada pria di rumahnya ini? Sabilla menghentikan langkahnya, lalu menatap pria itu. Apa ia menyerah saja? Dan memanfaatkan pria di depannya ini untuk menjadi suaminya, sebab tadi ia mengatakan pada Leo bahwa dirinya akan segera menikah.
Sabilla duduk sila di hadapan Bear, pria itu masih menatap semua tingkahnya. Sabilla pun berdehem. “Apa kamu tahu kalau kamu itu laki-laki?” tanya Sabilla memastikan. Pria itu diam beberapa saat, lalu mengangguk.
“Kamu tidur di bawah, jangan dekat-dekat aku, ok? Besok kita beli baju khusus cowok!” ucap Sabilla. lalu ia beranjak dari hadapan pria itu.
Bear menahan kepergian Sabilla, membuat gadis itu menoleh dan menatapnya penuh tanya. “Apa?”
“Perutku berbunyi.”
Sabilla mendengus kesal, lalu ia beranjak menuju dapur, mengambil makanan yang sudah dimasak sebelum ia berangkat kerja. Ia membawa makanan tersebut dan meletakannya di hadapan Bear.
“Lain kali, jangan buka mie yang ada di bawah lemari itu. Mienya sudah expired!” ucap Sabilla. Pria itu fokus mengambil makanannya seolah mengabaikan ucapan Sabilla.
Sebenarnya ia masih mempertanyakan asal usul pria di hadapannya, ia takut jika pria itu hanya pura-pura polos dan bodoh. Namun, semakin di perhatikan, semakin aneh. Ia tidak bisa menyuap makanan?
Sabilla mengambil alih sendok dari tangan Bear, lalu mengambil makanan tersebut dan mengarahkan ke mulut Bear.
“Katakakan A!” titah sabilla.
Bear membuka mulutnya dengan menyebut huruf A. Sesuap makanan itu pun masuk ke mulut Bear.
“Kunyah, lalu telan. Seperti ini!” ucap Sabilla sambil mempraktekannya. Ia menyuap makanan tersebut, lalu mengunyahnya dan menelanya. Bear yang memperhatikan apa yang dilakukan Sabilla, segera menirukannya.
“Nah, coba kamu menyuap sendiri!” ucapnya sambil menyerahkan kembali sendok tersebut kepada Bear.
“Nama kamu hanya Bear?” tanya Sabilla lagi. Bear pun mengangguk.
“Siapa yang memberimu nama?”
“Kamu.”
Sabilla kembali terkejut dan seketika membisu. Nama Bear pernah ia sebut untuk memanggil boneka beruang warna coklat itu. Apa benar dia adalah boneka?
“Tadi kamu bilang, kamu boneka?” tanya Sabilla.
Bear mengangguk sambil berusaha mengambil makanan dengan sendok.
“Apa buktinya kalau kamu boneka?” tanya Sabilla.
Bear mendongak, lalu bergeming. Apa yang harus ia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya boneka?
“Kamu jangan mengaku-ngaku, deh! Lebih baik kamu jujur, masuk ke rumahku lewat mana? Aku akan memaafkanmu karena kamu tidak mengambil apapun dari rumahku.”
“Kamu yang membawaku kemari.”
Sabilla menghela napas, ia berusaha untuk tidak terpancing emosi lagi. “Kapan aku membawamu kemari?”
“Pagi kemarin.”
Sabilla terdiam. “Kamu tahu, apa yang kulakukan pada boneka beruang itu? aku mencucinya, menyikatnya, lalu menginjaknya sampai menyimpannya di tempat pengeringan. Apa kamu merasakannya?” tanya Sabilla. ia mengumpat pada dirinya sendiri yang bertindak seperti orang bodoh.
Bear menggeleng pelan, ia sudah berhasil mengambil makanan dengan sendok dan mulai menyuapnya. Pria itu mengunyah makannya dengan pelan.
“Kamu nggak merasa sakit?” tanya Sabilla memastikan kembali. Ia masih tidak percaya, tetapi Bear mengangguk sebagai jawaban.
“Kalau ini sakit nggak?” tanya Sabilla sambil mencubit lengan Bear. Pria itu menatapnya tanpa ekspresi. Sabilla terkejut, lalu ia berdiri.
“Sudahlah. Selesai makan, tidur di situ!” ucap Sabilla. lalu ia menyimpan satu bantal dan selimut tipis di samping Bear.
Bear menoleh dan menatapnya penuh tanya. “Kamu tidak membawaku tidur?” tanya Bear dengan wajah polosnya.

Comentário do Livro (390)

  • avatar
    AnggariAlfien

    bagus untuk mengisi waktu luang tulisannya juga jesal

    15d

      0
  • avatar
    NikeAvrillia

    cerita ini sangat bagus dan rapi

    28d

      0
  • avatar
    ZaskiaKia

    sangat bagus😭😭

    24/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes