logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Seperti Deretan Bintang di Langit

Jane duduk termenung menatap deretan bintang yang tampak jelas malam ini. Cuaca cerah rupanya, batin Jane. Setelah dua hari berturut-turut hujan. Jane tak menyangka dirinya sanggup melewati satu bulan masa penyesuaian. Sungguh hari-hari yang teramat sangat berat baginya. Apalagi ditambah rasa rindunya yang juga makin berat. “Mama, papa,” gumam Jane. Air mata pelan mengalir ke pipinya.
“Melamun lagi ha?”
Jane menoleh. Mirna tersenyum, menatapnya dengan tatapan ingin tahu yang biasanya. Ah! Jangan sekarang. Jane sungguh sedang tidak bisa untuk pura-pura ramah, pura-pura tidak terjadi apapun.
“Kamu menangis?”
Jane hanya menggeleng.
“Tidak apa Jane. Aku juga sering menangis. Meski kadang aku tidak mengerti apa yang mesti aku tangisi.” Mirna tersenyum. Jane mulai berpikir, pasti Mirna juga tidak tahu kenapa tersenyum. “Setidaknya di sini aku merasa mempunyai keluarga, suster Bernada dan semua. Juga kamu. Masih ada rumah, tempatku pulang.” Mirna tersenyum lagi. Jane mengamati sejenak, lantas ikut tersenyum. Lantas mendongak, kembali menatap deretan bintang di atas sana. Yah, Mirna benar. Setidaknya masih ada tempat baginya untuk pulang. Masih ada tempat bernaung ketimbang jadi gelandangan. Juga setidaknya harapan untuk kembali sekolah. Jane sebenarnya ingin tahu kabar mama papa, juga oma. Ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi? Bencana apa ini? Tapi mau bertanya pada siapa? Mau mulai dari mana? Jane tidak tahu.
“Kamu tau?” tanya Jane.
“Apa?”
“Mungkin aku juga sama.” Jane lantas menoleh, lekat menatap Mirna. “Aku juga tidak tahu menangis untuk apa?”
Mereka sama tersenyum, kemudian sama tertawa.
“Yuk! Kita sudah ditunggu di meja makan,” kata Mirna.
Jane mengangguk. Mereka berdua berangkulan, berjalan beriringan menuju ruang makan. Meski sederhana, percakapan sore ini memberi dampak luar biasa bagi Jane.
“Senang melihat kalian,” sambut suster Bernada. Suster segera memberi aba-aba salah seorang diantara mereka untuk memimpin doa makan kali ini. Selanjutnya mereka makan dalam hening.
Namun entah bagaimana, usai makan, deretan bintang di atas sana kembali menarik perhatian Jane. Dia beringsut keluar, lalu duduk di atas rumput yang baru dipotong siang tadi.
“Kamu luar biasa, Jane. “ Kini suster yang berada di sampingnya.
“Eh? Suster?” Jane bergeser.
“Seperti deretan bintang itu. Dia hanya menjalankan kewajibannya. Kewajiban yang diberikan oleh sang pencipta. Mungkin kamu tidak mengerti sekarang.”
Suster Bernada meraih wajah Jane. “Tapi suster tau kamu anak yang pintar. Kamu sudah berhasil melewati masa tersulit menyesuaikan diri dengan lingkungan barumu. Bahkan tanpa masalah.”
“Suster ingin aku bisa melanjutkan hidup?” Jane coba mengira.
Suster Bernada mengangguk. “Kita masing-masing juga mempunyai kewajiban dari sang pencipta.”
“Ya. Seperti apa yang suster lakukan sekarang.” Jane menatap suster Bernada.
Suster Bernada kembali mengangguk. “Setidaknya kami bisa kamu anggap sebagai keluarga, Jane.”
Jane tersenyum. Seakan beribu beban yang menindih dadanya selama ini tiba-tiba terangkat. Jane mengangguk. Jane mengerti sekarang, untuk itulah dia harus bertemu suster. Dan, mereka berdua kembali menatap deretan bintang di langit.
“Jangan terlalu lama. Angin malam tidak baik untukmu,” ucap suster, lalu mengusap pelan kepala Jane sebelum berlalu.
Jane mengangguk sambil menatap punggung suster yang melangkah meninggalkannya. Jane segera masuk kamar sebelum sekali lagi menatap deretan bintang di atas sana.
“Titip rindu untuk mama papaku,” bisiknya.
Keesokan paginya.
“Masih terlalu pagi, Jane,” ucap suster tanpa menoleh.
“Masih terlalu pagi juga bagi suster untuk menyiapkan semua bagi kami. Ada yang bisa Jane bantu, suster?”
Suster Bernada tersenyum. “Kamu memang pintar, dan terlalu dewasa buat gadis kecil sepertimu,” ucap suster seraya memberi Jane celemek. Jane membantu suster Bernada memasak bersama satu orang ibu pengasuh pagi itu.
“Ini hari pertamamu masuk sekolah lagi,” kata suster.
“Ya. Jane baru mau bilang begitu.”
“Apa yang kamu rasakan?”
Jane menggeleng. “Tidak tahu, suster. Apalagi tanpa mama. Biasanya mama yang menyiapkan semua.”
“Jangan kuatir. Semua akan baik-baik saja. Ingat tadi malam? Pelajaran dari deretan bintang?”
Jane mengangguk. “Masing-masing kita mempunyai kewajiban dari sang pencipta.”
Suster Bernada mengangguk. “Betul.”
“Suster?”
“Ya.”
“Apa suster punya keluarga?” tanya Jane bimbang.
“Tentu. Setiap orang punya keluarga, Jane. Itu sebabnya kita ada di sini. Keluarga akan membantu kita mengerti apa kewajiban kita. Namun keluarga tidak akan selalu ada,” jelas suster.
Jane mengangguk. Jane mulai mengerti. Meski itu sebenarnya tidak mengurangi rasa gugupnya sama sekali. Gugup menghadapi hari pertamanya sekolah lagi. Lingkungan baru, guru baru, teman baru juga suasana baru. Semoga semua berjalan baik, hanya itu doa dan harapan Jane sekarang. Mereka menyelesaikan persiapan terakhir sebelum semua anak bangun pagi ini. Jane berniat masuk kamarnya kembali untuk mandi dan mempersiapkan diri, sama seperti anak lainnya.
“Aaaa… .”
Teriakan histeris dari seseorang, entah dari kamar mana. Jane mengikuti suster Bernada yang bergegas menuju asal teriakan itu.
“Mimpi buruk lagi, Nin?” suster Bernada masuk ke kamar Nina dan beberapa teman lainnya yang memang sudah terbuka.
Anak yang dipanggil ‘Nin’ masih sesunggukan dalam dekapan seorang teman. Pelan, Jane merasa kagum. Bagaimana semua saling terhubung. Bagaimana semua saling peduli. Semua memberi pemikiran berbeda pada Jane tentang sebuah keluarga. Meski rasanya belum sanggup baginya sedemikian terhubung seperti mereka. Setidaknya dia tidak lagi merasa seperti orang asing di sini.
“Siap-siap aja Jane. Nanti kamu terlambat!” suster memperingatkan Jane yang masih belum beranjak pergi.
Jane mengangguk, lantas melanjutkan niatnya kembali ke kamar. Makin yakin bahwa semua akan baik-baik saja.
-
Saat ini Jane sudah berada di depan pagar sekolah. Sekolah Dasar swasta tempat semua anak panti yang masih SD bersekolah. Jane membaca papan nama sekolah sekilas, SD Mardi Rahayu. Selanjutnya masuk dengan langkah mantap. Jane berjalan pelan, tersenyum pada setiap mata yang berpapasan dengannya. Jane tetap mempunyai harapan yang besar meski tertangkap olehnya beberapa komentar yang nyaris mematahkan nyalinya.
"Biasa, anak panti."
"Kasihan."
"Masalah apa lagi kali ini."
Jane menegakkan badan, menyapa ramah satu persatu setiap mata yang berpapasan dengannya. Tetap melangkah mantap, sama seperti di awal tadi. Lantas tenang memasuki ruang kelasnya.

Comentário do Livro (56)

  • avatar
    TigabelasRedmi

    aku suka membacanya

    12d

      0
  • avatar
    DesyNatalea

    gg keren

    16d

      0
  • avatar
    GeloCikz

    anjai

    27d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes