logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Jane Sudah Besar, Ma

Jane masih menatapi tumpukan baju di atas kasur. Jane tidak habis pikir kenapa mama masih saja melakukan ini.
“Sayang, Oma sudah menelpon untuk kelima kalinya,” mama nyelonong begitu saja. Jane mengangguk, meski rasanya ingin menangis. Mama memang bermaksud baik, Jane tahu itu. Jane hargai itu. Tapi kapan mama bisa mengerti juga ganti menghargai Jane. Jane menghela nafas berkali-kali untuk menghilangkan rasa kesalnya.
“Tidak lebih dari sepuluh menit.”
Jane kembali mengangguk. Belum sepuluh menit, Jane turun dengan kepala tertunduk.
Papa menyambutnya dengan senyum. “Anak papa memang cantik.”
“Aku sudah besar, Pa,” Jane masih menunduk.
“Tentu saja. Sini sayang,” papa membimbing Jane dalam pangkuannya.
“Sini mama rapiin rambutmu,” tangan mama yang sudah siap dengan pengikat rambut dan sisir terulur, siap mensabotasenya dari pangkuan papa.
“Jane sudah besar, Ma,” Jane menatap mama dengan mata berkaca.
“Sudahlah. Jane tetap cantik,” papa tersenyum seraya mengelus rambutnya.
Tangan Jane menangkap lengan papa, menggelayut memohon perlindungan. Papa mengedipkan mata, sementara mama sedikit mengeluh seraya meraih tas tenteng berisi oleh-oleh yang disiapkan untuk oma. Namun tertangkap pula seulas senyum tersungging di bibirnya. Jane bukan tipe anak yang begitu antusias meski dia suka. Pun bukan anak cerewet, hampir sepanjang perjalanan selalu dia lewatkan dengan tidur. Sehingga perjalanan selalu terasa singkat baginya.
“Cucu oma pasti bangun tidur,” senyum oma merekah cerah. Jelas saja bangun tidur. Bahkan belum benar-benar bangun sebetulnya. Mata Jane mengerjap lucu, membuat oma mencubit gemas pipi Jane. Sontak Jane menepis tangan oma. Jane benar-benar tidak suka diperlakukan seperti anak kecil begitu. Tapi sekumpulan orang dewasa ini benar-benar susah untuk mengerti. Sekarang malah mereka semua sedang menertawai Jane. Menyebalkan!
Oma mulai sibuk menjamu mereka.
“Eh?” nyaris saja si burik, babon ayam oma menerjang dada Jane. Sepertinya ayam itu mengalami masalah, pikir Jane. Sedari tadi dia menerjang ke sana dan ke mari. Jane terus mengikuti ke mana ayam itu pergi. Sesuatu terjadi.
“Maa!”
Gugup mama, papa dan oma Jane berlari bersamaan.
“Kenapa?” oma berteriak paling kencang, meski mama dan papa tak kalah panik.
“Lihat!”
“Kenapa kak?”
“Lihat ma! Apa mama juga seperti itu saat aku lahir?”
“Ha?” komentar papa dan oma, berlanjut dengan pecahnya gelak tawa mereka. Sementara mama justru cemberut sambil menggerutu. “Kamu kira mama babon. Kakak anak ayam dong.” Meski pada akhirnya tersenyum juga. Jane tetap menyimak komentar mereka, tanpa tawa. Namun tatapnya menyimak apapun yang saat ini berada di hadapannya dengan wajah penuh dugaan, membuat 3 orang dewasa di belakangnya makin tergelak.
“Ayo! Oma sudah membuat semur dari telur yang dilahirkannya,” bisik oma, sengaja menggodanya. Sejauh ini Jane tidak tahu kesalahan dari kata-katanya, dan Jane jelas tidak suka ditertawakan.
Papa merangkul bahu Jane. Namun sama saja, dari wajahnya terlihat menahan geli. Jane berjalan mengikuti mereka, meski sebentar masih mencuri tatap babon ayam yang kini duduk tenang di atas telur yang dilahirkannya.
Setelah makan dengan semur telur bulat berlauk telur dadar bundar besar, Jane menghabiskan waktu berpetualang di sawah yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumah oma. Tujuannya apa lagi kalau tidak mencari keong yang banyak tinggal di sepanjang tepi sawah. Tentu saja, Jane suka sensasi mencari keong di sawah dan menangkapnya satu persatu dengan tangannya. Namun sama sekali tidak ingin membuat kakinya kotor dengan masuk ke lumpur. Kegiatan yang selalu dilakukannya saat mengunjungi oma. Sehingga, sore hari tidak ada hal lain lagi yang ingin dilakukannya selain istirahat.
Jane masih rebahan di kamar atas, kamarnya saat berada di rumah oma, ketika mendengar suara berdebukan di bawah. Rebahan sambil mendengarkan instrumental musik lagu anak yang diaransemen modern sepertinya ini merupakan satu dari beberapa kegiatan favoritnya, meski kurang lazim bagi gadis seusianya. Ditambah badannya yang sudah sangat lelah, jelas mengalahkan rasa ingin tahunya. Jane malah tertidur dengan headseat masih menempel di telinganya.
Hampir tengah malah Jane terbangun karena suara protes perutnya. Tumben, oma tidak ribut membangunkannya. Sepi sekali, batin Jane. Ah iya, tentu karena ini sudah tengah malam. Biasanya jam Sembilan malam papanya sudah menguap di depan televisi, dan selanjutnya televisi yang menonton papa mendengkur. Jane tersenyum mengingat kelakuan papanya. Dasar orang dewasa, batinnya geli. Mama tak jauh beda, hanya saja sambil setengah tidur mama berjalan masuk kamar sambil tak lupa meraih remot untuk mematikan televisi. Mama memang tertib, keluh Jane.
“Aaaaa…mamaaa,” histeris Jane menyaksikan kedua orang tuanya berpelukan bersimbah darah tergeletak di lantai. Sementara omanya duduk bersandar di pintu kamar, entah bagaimana kondisinya karena setelah itu Jane sendiri jatuh terkulai di lantai.
Jane membuka mata karena panggilan lembut seorang perempuan. “Mama,” desah Jane sambil mengerjap. Seorang perempuan memeluknya erat, entah siapa. Namun yang pasti itu bukan mamanya. Di mana mama papa, batinnya bingung. Jane ingat berada di rumah oma. Tapi kenapa begitu banyak orang? Apa ada pesta? Ingatan Jane berputar di saat terakhir dia turun dari kamarnya semalam.
“Mama!” raung Jane.
Perempuan yang memeluknya justru menggendongnya pergi menjauh dari ruang tempatnya berada sekarang, membuat Jane makin histeris memanggil mama papanya. Jane tidak mengerti. Di mana oma. Kenapa bukan oma yang memelukku. Bukannya oma selalu menenangkanku di saat begini. Jane sungguh tidak mengerti. Siapa perempuan ini?
“Kau bercanda? Mana aku berani! Keluargaku bisa ikut mati karena ini!”
“Omong kosong! Kita harus segera amankan anak ini!”
“Biar aku saja!”
Lamat Jane mendengar perdebatan dari balik kamar oma. Lantas di mana oma. Kenapa begitu banyak orang juga di kamar oma. Begitu banyak orang di mana-mana. Kejadian selanjutnya membuat Jane tambah tidak mengerti, Jane malah dibawa perempuan ini berlari. Sebuah jeep sudah siap di depan rumah. Jane segera dibawa masuk dan perempuan ini memberi kode supaya mereka segera berangkat.
Diculik? Apa Jane diculik? Sebuah pemikiran melintas di kepala Jane. Namun mulut Jane terkatup. Antara sedih, takut dan bingung, Jane tidak berani mengatakan apapun sekarang. Kuatir setiap ucapannya akan berujung salah. Jane hanya bisa berharap oma akan segera menyadari dan pergi mencarinya karena mama papa sepertinya tidak akan mungkin bisa menolongnya. Air mata Jane mengalir deras menyadari hal itu. Ini kali pertama Jane menangis tanpa suara. Jane menepis perempuan yang memeluknya, dan memilih meringkuk di sudut kursi mobil dengan tubuh menggigil. Jane mengabaikan panggilan lembut perempuan itu. Jane tidak ingin mendengar apapun sekarang. Jane mengangkat kedua kaki kecilnya dan memeluknya. Jane kecil yang malang sudah kehilangan hari bahagianya.

Comentário do Livro (56)

  • avatar
    TigabelasRedmi

    aku suka membacanya

    12d

      0
  • avatar
    DesyNatalea

    gg keren

    16d

      0
  • avatar
    GeloCikz

    anjai

    27d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes