logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Teror Ajeng

Uang di saku bajuku diambil paksa oleh Bude. Tatapannya tajam, raut wajahnya sulit diartikan. Apa yang salah dengan mengutip uang di jalan? Toh, akan kukembalikan juga. 
Belakangan Bude agak sensitif dan mudah marah. Beberapa hari yang lalu ia memarahi bocah laki-laki yang tak sengaja menjatuhkan mangkuk jualannya hingga pecah. Bocah itu bermain kejar-kejaran dengan tiga anak lain. Saking asiknya, ia tak melihat arah depan dan menyenggol mangkuk Bude yang sedang dikeringkan. Beruntungnya hanya satu yang pecah.
Bude marah besar dan memaki bocah itu. Aku yang telat datang pun berusaha menenangkan Bude. Anak tadi dipaksa ganti rugi, tapi aku tak tega.
Apakah karena sepinya warung membuat Bude seperti ini? Aku jadi takut sendiri, takut berbuat salah dan ia marah besar.
"Kenapa selametin dia? Itu mangkok dibeli pake uang, Nez! Dia harus ganti!" ucapnya kala itu.
“Bude, itu nanti uangnya Inez balikin kok! Janji!” ucapku memohon.
“Bakso tadi belum kamu makan, ‘kan?” tanyanya masih dengan ekspresi yang sama.
“Be–belum, Bude. Tadi mau makan, Bude panggil." Aku menjawab gugup, takut melihat Bude marah seperti ini. Terlebih penyebabnya hanya karena masalah sepele.
"Bawa sini," perintahnya singkat. Aku bergegas masuk dan mengambil tiga mangkuk bakso tadi, kemudian membawanya ke depan. 
Dengan senyum semringah aku meletakkan ketiga mangkuk bakso itu di atas kursi. Bude menatapnya sebentar, kuyakin aroma baksonya menggugah selera. Sejak tadi perutku berbunyi meminta diberi makan. 
Prang!
"Astagfirullah, Bude! Kenapa dibuang?!" Napasku memburu, sedikit terkejut karena menghindar dari pecahan mangkuk bakso. Ia seperti dirasuki setan, melakukan hal semaunya saja. 
Dengan tangan bergetar aku memunguti pecahan yang berukuran besar, menaruhnya di sekop. Bude terdiam, wajahnya berubah pucat. Mengapa Bude bertingkah aneh? Tadi soal sajadah, sekarang uang, kemudian bakso. Heran.
"Inez panggilin Pakde aja. Inez takut kalau Bude kayak gini," ucapku sambil mengusap air mata.
"Inez ...," lirihnya pelan. Dengan malas aku menoleh, menatap wajahnya yang sendu mengiba itu. 
"Kenapa, Bude?" Aku masih berusaha lembut dan patuh, walaupun hati terasa jengkel. Sejak kecil Bude-lah yang merawatku. Bersama Pakde, wanita ini pontang-panting membesarkanku ketika ekonomi orang tua pasang surut.
"Ini semua demi kebaikanmu, Nduk. Jangan salah paham." Aku hanya menggumam, percuma berkata seperti itu kalau tidak ada alasan. Aku bukan anak kecil lagi. 
Ya, aku tetap butuh penjelasan. Bukan bocah labil yang mudah dibodohi. Aku ingin tahu mengapa dan apa sebabnya. Jika hanya dilarang, semua orang pun bisa. Kurasa Bude masih menganggapku anak kecil.
***
Malam hari sekitar pukul sepuluh, aku mencium bau busuk yang berasal dari bawah ranjang. Ketika diperiksa, ternyata ada bangkai tikus di sana. Ah, pantas saja. Tumben sekali ada tikus di sini. 
Sambil menenteng ekornya, aku membuka jendela kamar dan langsung membuang tikus itu. Angin malam yang masuk membuat hawa menjadi dingin seketika. Segera kututup jendela dan kembali rebahan. 
"Tolong aku, tolong aku!"
Aku terkesiap, itu suara mainan Talking Tom yang sudah rusak. Mainan itu bisa merekam dan mengucapkan ulang jika ada yang berbicara di dekatnya. Namun, ini sudah malam, siapa yang main Talking Tom di jam seperti ini?
Aku juga tak tahu bagaimana Bude bisa memiliki mainan itu. Mungkinkah milik anak tetangga?
Seingatku, mainan itu sudah rusak. Alat perekam suaranya tak berfungsi dengan baik. Itulah sebabnya aku tak terlalu berpikir macam-macam. Sampai akhirnya ....
"Tolong carikan, tolong carikan!"
Mainan itu bergerak berhadapan. Matanya yang semula melihat ke arah samping, juga beralih menatapku. Takut, aku berteriak dan menendangnya hingga terjatuh. Sialnya, Talking Tom tetap mengoceh padahal aku tidak berkata apa-apa sejak tadi.
"Bude!"
Aku menangis, berlari ke kamar Bude. Ia membukakan pintu dan bertanya ada apa dengan ekspresi khawatir. 
"Ini dibuang aja, Bude! Please!" pintaku memohon.
"Buang? Bukannya ini mainan kesukaanmu dulu? Sudah rusak tapi masih bagus dijadikan koleksi, Nduk."
Seketika aku terdiam. Mainan waktu kecil? Kapan? Seingatku tak pernah memainkan Talking Tom ini.
"Mainannya gak rusak!" teriakku dengan dada naik turun, "mainannya masih nyala, Bude! Tadi dia ngomong, dia gerak!"
"Kamu ini gimana, sih? Coba buka tempat baterainya."
"Gak mau!"
"Ya, sudah biar Bude yang buka."
Aku ternganga sekaligus tak percaya. Bude memperlihatkan tempat baterainya kosong. 
"Mikir, Nduk. Gimana mau nyala kalau baterai aja enggak ada? Hayo ...."
"Ta–tapi ta–tadi dia ngomong, Bude!"
Aku masih bersikukuh, tapi Bude tak percaya. Memang secara logika tidak bisa menyala tanpa baterai. Namun, aku tak mungkin salah dengar dan lihat. Ada yang tidak beres dengan mainan ini, atau dengan rumah ini!
Akhirnya aku berusaha memejamkan mata setelah Bude menceramahi panjang lebar. Ia tetap tak percaya. 
Bolak-balik posisi tidur, tak kunjung terlelap juga. Ketika menghadap dinding, pikiranku tetap tertuju pada mainan itu. Mengapa nada bicaranya mirip dengan arwah gadis kecelakaan? Apakah ia masuk ke dalam mainan? Bukankah Pakde sudah mengusirnya?
Esok aku harus bertanya ke Pakde lagi. Jika terus dihantui seperti ini, aku akan meminta pulang ke kota secepatnya. Aku tak ingin bisa melihat hantu, tak ingin juga menjadi beban untuk mereka berdua. Meskipun rencana pulang masih lama dan kemungkinan diperpanjang.
Beberapa saat kemudian, terasa seperti ada yang naik ke atas ranjang. Kurasa itu Bude, ia tak tega melihatku tidur sendirian. Syukurlah, Bude pengertian. 
Sebentar, tunggu dulu .... 
Mengapa napas Bude terasa sangat dingin?
Aku tersentak ketika merasa ada yang menyentuh lengan. Dingin dan kurus. Jantung berdebar, perasaan tak enak. Perlahan menoleh, memastikan siapa yang menemaniku malam ini. 
"Bude! Buka pintunya, Bude!"
Aku mendobrak pintu disertai tangisan kencang. Pintu terbuka, muncullah Pakde sambil memberi isyarat untuk diam. 
"Pakde, Ajeng masih ngikutin Inez, Pak!" 
"Kamu mandi pake air garem nggak?
"A–air garem?" Aku baru teringat, sudah seharian ini tak menyentuh garam sedikit pun. Mungkinkah itu penyebabnya?
Ya ampun, mengapa bisa lupa? Padahal aku selalu mengingat supaya membaca doa sebelum masuk ruangan. Mengapa hal sepele ini bisa terlupakan?
"Inez gak mau tau, sekarang ayo cari bola mata Ajeng!" desakku. 
"Sekarang? Udah malam, Nduk. Besok aja!"
"Gak mau!" paksaku.
Akhirnya Pakde menurut, kami bersiap-siap pergi ke lokasi kecelakaan dan mencari bola mata Ajeng yang belum ditemukan. Bude yang awalnya melarang pun akhirnya luluh. Tak tega melihatku ketakutan dan selalu diteror. Katanya sudah pergi, tapi masih menghantui. Rasa-rasanya harus dicarikan apa yang dia mau baru aku dilepaskan.
"Hihihi!"
Ingin menangis karena sejak tadi seakan diteror suara tangisan Ajeng. Ia menangis, tapi nanti tertawa lagi. Aku juga bingung apa maksudnya.
***

Comentário do Livro (466)

  • avatar
    sulistiowatiEndhah

    ceritanya bagus, alurnya jelas

    19/05/2022

      0
  • avatar
    azzahrazulaika

    bagus sekali ceritanya

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Arisky Agung

    bagus banget novel ini sangat seru untuk di baca dengan siapapun

    13/05/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes