logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Jangan Diambil

Sehari setelah kejadian itu, tubuhku terasa berbeda dari biasanya. Pakde memantrai sebotol air mineral dan kuminum pagi sore sehari harus habis. Butuh beberapa hari agar pulih. 
Dengan keadaan tubuh lumayan lemas, aku tetap memaksa diri mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Minimal menyapu atau cuci piring. Pekerjaan yang tak begitu berat. Lagipula Bude tak mengizinkanku mengerjakan tugas yang berat.
Biasanya setelah bangun tidur aku diam dulu sambil mengingat semalam mimpi apa. Rasanya tidak tertidur, mimpi pun gelap dan terpotong-potong. Tidak jelas sedang bermimpi apa. Lumayan aneh, aku jarang melupakan mimpi sendiri.
Menjelang siang, kulihat Bude duduk merenung di depan teras sembari mengacak-acak tempat sendok. Ingin kuhampiri dan bertanya ada apa, tapi takut mengusik ketenangannya. Aku paham, penjualan yang menurun berdampak besar terhadap penghasilan mereka juga.
Tambah bingung karena bagaimana bisa membantu? Rasanya keberadaanku di sini tidak berguna. Aku tak bisa membantu apa-apa.
Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku pelan. Ketika menoleh, ternyata Pakde. Ia tersenyum lalu menghela napas. "Mungkin Pakde harus nyari usaha lain, Nez. Kalau begini terus kita gak bisa makan. Kita juga gak bisa menyalahkan siapapun."
"Jangan beli soto di sana lagi, Nez. Takutnya kamu dijadikan tumbal," ucap Pakde seram. Aku tertegun, kata Bude korban kecelakaan di depan warung Bu Sri rata-rata masih anak sekolah. 
"Pakde, Bu Sri jelas-jelas memakai penglaris. Apa Pakde gak mau membocorkan hal ini? Kasihan pelanggannya. Jangan-jangan Bu Sri juga yang nutupin usaha kita," ucapku. 
"Enggak boleh suuzon, Nez. Belum ada bukti kalau Bu Sri yang menjadi penyebab sepinya warung Pakde. Bu Sri memakai penglaris, sebenarnya enggak ngaruh di warung kita. Pakde yakin ada yang enggak beres," jelasnya lalu bangkit, "istirahat, jangan keluar rumah dulu."
Pakde sudah mengusir jin yang mengikutiku itu. Katanya, ia melihat roh seorang gadis yang bersedih, meminta bola matanya kembali. Si gadis meminta tolong agar aku mencarikan bola matanya supaya ia pergi dengan tenang. Namun, agak ngeri ketika mengingat kata-kata Bude bahwa perasan jeruk nipis membuat si arwah kesakitan. 
Aku langsung teringat dengan gadis yang kecelakaan hari itu. Bulu kuduk berdiri, ternyata ia yang selama ini meminta dicarikan bola mata. Lucu, bagaimana caraku mendapatkan bola matanya, sedangkan ketika kecelakaan tidak ada yang menjumpai? Kemungkinan besar jatuh ke selokan atau terinjak kendaraan lain.
Karena bosan, aku duduk-duduk di teras; melihat satu per satu orang yang lewat. Ramai sekali warung Bu Sri, laris manis. Saking ramainya, sesekali ada pelanggan yang makan di luar warung karena tak kedapatan tempat duduk. Ia makan dengan lahap, aku yang melihatnya jijik sendiri. 
Bagaimana jika ia melihat gulungan rambut di kuah soto itu?
"Neng, permisi. Saya mau tanya alamat. Rumah Pak Sutarman di mana, ya?" tanya seseorang yang sepertinya baru pertama kali ke sini. Lamunanku buyar, lalu cepat-cepat menyadarkan diri. 
"Oh, ini rumahnya, Mas. Ada di dalam. Ada apa, ya?" jawabku sopan. Untuk apa ia mencari Pakde?
"Ini ada titipan surat dari saudaranya di Bandung." Aku mengambil amplop putih itu dan mengucapkan terima kasih. Lelaki tadi membalas senyuman dan pergi. Ah, apa isinya ini? 
"Pakde! Ada surat!" teriakku dari luar. 
"Lho, surat dari siapa?" tanya Pakde dari dalam rumah.
"Ini. Pak Mujahidin."
"Oalah, si Mujahid toh. Coba tolong buka, bacain."
Perlahan aku merobek sisi atas amplop itu. Sebuah kertas yang dilipat rapi semakin membuat hati ini penasaran. Ini tulisan Rahma—sepupu jauhku. Khas sekali tulisan tangan dia. 
"Jaga-jaga dari orang-orang berpenyakit hati."
Baru baca satu kalimat, Pakde merampas surat itu dengan cepat. Bola matanya bergerak seiring dengan habisnya surat itu dibaca. Aku menggaruk kepala, ekspresi Pakde berubah tak biasa. Keinginan untuk bertanya kuurungkan karena Pakde bangkit dan masuk rumah. Tidak mengucapkan sepatah kata pun, aku dibuat penasaran. 
***
Sebenarnya hari ini Bude ingin menutup warung. Namun, Pakde mencegahnya karena ingin melakukan sesuatu. Aku disuruh berjaga-jaga sembari memperhatikan orang-orang lewat. Tiba-tiba, rasa penasaranku timbul ketika melihat lokasi kecelakaan baru-baru ini. 
Hujan telah menghapus bekas darah korban. Di sisi kiri dan kanan jalan, masing-masing ada tiga payung hitam dan sejuntai kain kafan. Hawanya berbeda, bulu kuduk berdiri tanpa sebab. 
Teringat ketika kecelakaan terjadi. Seseorang memungut satu mata milik korban. Berarti satunya lagi belum ditemukan. Harus mencari ke mana?
"Inez! Inez!" Aku terkesiap saat mendengar panggilan itu. Lantas berlari kecil menghampiri Bude yang berdiri di depan warung. Sebuah plastik merah besar ditentengnya. Ia pun menyodorkan plastik itu padaku. 
"Apa ini, Bude?" 
"Tadi ada yang ngasih Bude sajadah sama tasbih. Kita udah banyak sajadah, mending disumbangkan ke masjid," jawab Bude dengan ekspresi datar. 
"Oh, i–iya."
Sajadah ini sangat bagus, sepertinya mahal. Andai Bude mengizinkan, aku saja yang mengambilnya untuk dibawa pulang. Pasti Ayah senang mendapat sajadah baru.
"Buat Inez aja gimana, Bude? Cantik banget lho warna biru!" ucapku riang. 
"Enggak usah, nanti Bude belikan. Sajadah ini kasih aja ke orang."
Aku menggaruk kepala, heran dengan tingkah Bude. Karena tak berani melawan, aku menuruti perintahnya. Sajadah itu disumbangkan ke masjid untuk dipakai. Pengurus masjid pun berterima kasih dan berdoa untuk kelancaran rezeki kami. 
Pulang dari masjid dengan perut keroncongan, aku singgah di penjual bakso dan memesan tiga porsi. Ketika merogoh saku, baru tersadar tidak membawa uang sepeser pun. 
"Uang?"
Iya ini uang! Sayang sekali, uang seratus ribuan jatuh di jalan. Punya siapa? Ia pasti pusing mencarinya. 
Bude pernah berkata jika menemukan uang, jangan langsung diambil. Mungkin karena bukan hak milik sendiri, lebih baik disedekahkan. Aku mengambil uang itu, memasukkannya ke dalam saku. 
"Totalnya 15 ribu, Neng," ucap si penjual. 
"Ini." Karena malas pulang lagi, aku memakai uang seratus tadi untuk membayar bakso. Kalau sudah sampai barulah diganti dengan yang baru. Masih ada sisa delapan puluh lima ribu, kebetulan ada uang di tabunganku. Setelah makan bakso nanti aku akan menyedekahkan uang ini.
***
Pakde dan Bude pasti senang karena bakso ini langgganan sejak lama. Aku menyediakan tiga mangkuk dan tiga gelas es jeruk. Setelahnya memanggil Bude dan Pakde yang sedang berbicara di ruang makan. 
"Nduk, kok banyak banget? Kamu punya uang?" tanya Bude. 
"Oh, ini tadi Inez nemu uang, terus dipake bayar bakso ini. Nanti diganti kok!" jawabku. 
Kukira Bude senang karena dibawakan bakso, tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Aku menitihkan air mata ketika Bude membuang semangkuk bakso itu ke selokan. 
"Mana sisa uang tadi?" tanya Bude dengan nada tinggi.
"Buat apa, Bude?"
"Cepat! Jangan membantah! Kamu mau jadi tumbal pesugihan?!"
Aku ternganga, bagaimana bisa?
***

Comentário do Livro (466)

  • avatar
    sulistiowatiEndhah

    ceritanya bagus, alurnya jelas

    19/05/2022

      0
  • avatar
    azzahrazulaika

    bagus sekali ceritanya

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Arisky Agung

    bagus banget novel ini sangat seru untuk di baca dengan siapapun

    13/05/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes