logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5

Diksi membuka mata setelah tiga puluh menit kedatangan suaminya. Ia memandang sekeliling dan melebarkan mata ketika melihat pria yang telah meminangnya dua tahun yang lalu itu. Bukannya senang, tetapi ada raut yang ... entah. Terkejut, marah dan kesal menjadi satu dalam sorot tajam matanya.
Semua itu karena ia teringat kejadian sebelum kecelakaan yang menimpanya. Ia ingat bagaimana Bik Inah menceritakan soal foto yang ditemukan hari itu. Foto mesra Leon bersama seorang wanita yang juga sering datang ke rumah dan berduaan dengan suaminya.
Kalau benar apa yang terjadi bahwa Leon memiliki wanita lain selain dirinya, hal yang kemarin ia takutkan jika suami meninggalkannya enyah seketika. Bagaimanapun keadaan Diksi adalah sebuah takdir, tetapi jika Leon serong itu adalah watak dan sukar untuk diubah.
"Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Leon ketika matanya bersirobok dengan istrinya.
Leon pun beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri sang istri, tak lupa senyum terkembang di bibirnya. Bajunya kusut masai, ia masih belum membersihkan diri sejak kedatangannya dari tugas.
Hal berbeda nampak pada perempuan yang berbaring di tempat tidur. Wajahnya sungguh menampakkan isi hatinya. Walaupun kebenaran belum terkuak, tetapi dalam benak Diksi sudah muak.
Leon membelai pucuk kepala Diksi ketika ia sampai di samping ranjang. Tatapan matanya masih mengisyaratkan cinta yang besar. Lalu,foto yang dilihat oleh Diksi? Salah tafsirkah dirinya? Bagaimana dengan keterangan dari Bik Inah?
"Maafkan Mas, ya? Nggak bisa menemanimu sejak kemarin. Maaf membuatmu melewati hal berat ini sendirian," sesal Leon meminta maaf. Gestur wajah dan gerakan tubuhnya biasa saja, tidak ada yang mencurigakan.
Diksi terpaku, ia menatap suaminya lekat. Berbagai pertanyaan hampir lolos dari bibir, tetapi ia tahan. Jadilah hanya anggukan ia berikan sebagai jawaban.
"Sudah ada bapak dan ibu, Mas. Mereka yang menemaniku, jadi tenang saja dan nggak perlu merasa bersalah!" lanjut Diksi dengan intonasi agak tinggi setelah mampu menetralkan hati yang meletup dan membara terbakar amarah.
Alis Leon bertaut tak menyangka mendapat jawaban dari Diksi yang menurutnya sedikit sinis. Ini pertama kali ia mendengar dari mulut Diksi yang kesehariannya berkata lemah lembut.
"Syukurlah kalau begitu, jadi nanti aku bisa tenang bekerja karena kamu dirawat orangtuamu," jawab Leon sambil memberikan senyuman yang kentara dibuat-buat.
Jantung Diksi berdetak lebih cepat dengan dada yang mulai kembang kempis. Apa Leon berniat lepas tanggung jawab di saat dirinya tak berdaya seperti sekarang? Apakah Leon benar-benar akan melakukan hal itu demi selingkuhannya?
"Kamu ini bicara apa, Leon? Kita rawat Diksi bersama-sama, dia tak hanya butuh kami ayah ibunya. Justru kamulah yang paling dibutuhkan di sini. Jadi, mulai sekarang pandai-pandailah membagi waktumu!" sahut Hesti, mencoba jadi penengah antara anak dan menantunya.
Hesti bertanya-tanya ada apa dengan mereka, mengapa seperti ada bara yang terpendam. Sensitif, dipercik sedikit kata sinis maka tersulut emosi di hati.
"Nanti dicoba, Bu. Tapi yang saya utarakan tadi benar, kan? Pekerjaan sedang sibuk-sibuknya jadi tidak bisa ditinggal, jadi nanti setelah keluar dari rumah sakit baiknya Diksi tinggal dulu bersama ibu," ucap Leon.
Terkejut. Itulah ekspresi ibu dan anak di ruangan itu. Ini hari kedua setelah operasi, tetapi Leon bahkan belum bertanya kabar istrinya. Dimana empati pria itu? Sudah tidak adakah perhatiannya sebagai suami?
Diksi dan ibunya memutuskan tidak ingin membahas lebih lanjut lagi. Maka diamlah satu-satunya jalan untuk menghindar. Biarlah nanti menjadi urusan Leon dengan ayah mertuanya.
"Sebaiknya kamu pulang dulu mandi dan ambil baju, Leon. Kalau sudah kamu ke sini lagi gantiin ibu sebentar!" perintah Hesti pada menantunya, toh jika Leon tetap di sini ia hanya memantik emosi.
"Baiklah, saya pulang dulu, Bu. Tapi nanti sebelum kembali ke sini saya ingin bertemu dokter terlebih dahulu," sahut Leon dan gegas berjalan ke luar setelah menyalami ibu mertuanya dan meninggalkan istrinya begitu saja.
Menyadari perbuatan suaminya, Diksi hampir saja menitikkan air mata. Sakit hatinya jika ia mendapat perlakuan seperti tadi.
"Diksi, kamu mau apa? Sarapan atau minum?" tanya Hesti ketika menyadari perubahan muka anaknya.
Diksi tersenyum, mengesampingkan luka dan memilih menjaga hati untuk tak bersedih demi ibunya. Ia pun meminta minum dan sarapan yang sudah diantar oleh petugas rumah sakit sebelumnya.
Leon sampai di rumah dan segera merebahkan diri, mengistirahatkan badan dan pikirannya. Ia terbangun ketika hari telah siang dan merasakan lapar di perutnya. Tentu saja, karena belum sesuap pun ia telan untuk mengisi lambungnya sejak semalam.
Leon bangkit dan membersihkan diri. Ia berencana keluar untuk makan, sekaligus bertemu dengan seseorang. Setelah siap, ia segera berangkat dan menghubungi temannya untuk janjian di tempat yang dekat dengan rumah sakit tempat Diksi dirawat. Nanti setelah selesai makan Leon akan menemui dokter dan menemani istrinya.
Teman Leon datang saat jam makan siang hampir usai dan segera duduk di depan meja Leon setelah melepas kacamata serta menaruh tas brandednya. Tak lupa ia memesan makanan juga.
"Kudengar istrimu mengalami kecelakaan, Leon. Bagaimana keadaanya?" tanya teman Leon sambil menyusupkan anak rambut ke telinganya, terdengar bunyi gemerincing dari lengannya.
"Ya begitulah," jawab Leon.
"Kok biasa aja, nggak ada sedih-sedihnya gitu?"
"Kamu tahu sendiri, kan? Sebenarnya aku ingin jadi duda, tapi duda ditinggal mati!"
***

Comentário do Livro (52)

  • avatar
    MursalinAhmad

    sungguh menakjubkan

    14d

      0
  • avatar
    Zhuelforce

    sangat memuaskan

    23d

      0
  • avatar
    Riyuzii

    ini sangat bagus

    13/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes