logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 3

"Demi Allah, saya tidak pernah melakukan hal itu, Pak," ucap seorang pemuda berusaha meyakinkan ayah kekasihnya.
"Bukti sudah jelas seperti ini, kau masih mau berkilah? Lihat!" bentak pria paruh baya sambil melemparkan beberapa lembar foto ke meja.
Pemuda itu adalah Kendra, seorang co-ass dokter rumah sakit di luar kota. Hanya tinggal selangkah lagi ia akan menjadi dokter, dan segera meminang gadis pujaannya. Namun, harapan hanya tinggal angan belaka. Maksud hati ingin meminta restu pada ayah sang gadis pujaan, tetapi malah dikejutkan dengan murka dari calon mertua.
Kendra beringsut dari duduknya dan memungut beberapa foto di atas meja. Raut wajah terkejut, bingung dan tak percaya terpancar. Bola matanya membesar seiring dengan mulut terbuka, hendak menyangkal dan memberi penjelasan. Ia sendiri tak percaya ada wajah serupa dirinya sedang berduaan dengan beberapa gadis dalam beberapa pose di tempat tidur, nyaris tanpa busana. Ia masih waras, sangat sadar tidak pernah ingin mendekati zina. Hubungannya dengan Diksi pun hanya sebatas berkirim pesan, tanya kabar lewat telepon atau sesekali berjumpa tetapi dalam batas wajar, kadang di tempat ramai atau harus ada teman. Tak pernah mereka berjalan berduaan. Sekarang, ia dihadapkan dengan foto-foto yang sudah pasti editan. Siapa yang tega memfitnahnya?
"Saya berani bersumpah jika itu semua foto editan, Pak. Bahkan saya tidak mengenal satu pun gadis di dalam foto." Kendra berkelit dan mencoba mengucapkan hal yang benar.
"Sudah saya duga kalo kamu akan mangkir jika melihat foto-foto ini. Bagaimanapun tidak ada maling yang mau mengakui perbuatannya, kan?" cibir Herman dengan senyuman sinis.
Mata Kendra awas, menengok ke kanan dan kiri mencari keberadaan kekasih hatinya. Ia ingin Diksi menjelaskan pada ayahnya bahwa orang dalam foto bukan dirinya. Sekian lama berhubungan ia yakin jika Diksi sudah mengenalnya luar dalam dan yakin jika Kendra tidak bersalah. Namun, sejauh mata memandang tak ia temui gadis bermata coklat dengan senyum manis itu.
"Kenapa Bapak tidak mencoba mencari kebenarannya dulu? Saya sanggup mencari pelaku sesungguhnya dalam foto tersebut. Lelaki itu sungguh bukan saya, Pak!" Kendra masih berusaha membujuk Herman agar percaya padanya.
"Tidak perlu! Saya sudah memutuskan untuk menikahkan Diksi dengan lelaki pilihan yang pasti lebih baik dari kamu. Sekarang, lebih baik kamu pergi!"
"Tapi, Pak! Sa--," kekeh Kendra hendak membela diri.
"Pergi aku bilang!" Otot wajah Herman tegang, sorot matanya beringas. Ia berucap sambil berdiri dan menunjuk arah pintu keluar.
Kendra hanya bisa pasrah, berucap lagi pun percuma. Ia terpaksa menerima keadaan. Berjalan ke luar dengan langkah gontai, tak ada semangat.
"Sepertinya kali ini aku lebih maju selangkah darimu," ucap seorang pria di pinggir jalan samping mobilnya parkir. Kendra tak memperhatikan jalan sehingga tak sadar jika sedari tadi ada mata yang menyorotnya sejak keluar rumah. Kendra mengangkat dagu, mendongak melihat wajah di balik suara bariton yang sebenarnya sudah ia kenali.
"Sejak kapan kau berdiri di situ, Leon?" tanya Kendra pada pria berperawakan tinggi besar itu.
"Cukup lama untuk tahu kau melihat foto-foto spesial dariku. Betapa canggih teknologi sekarang. Kau setuju, kan?" ucap Leon dengan sinis.
Kendra menekan emosi dengan mengepalkan tangan. Ia tidak ingin membuat keributan di sini. Sungguh tak menyangka jika Leonlah dalang dari fitnah untuknya.
"Seharusnya kau paham, Kakakku Sayang. Tradisi dalam keluarga Diksi adalah 'Dilarang membantah perintah ayah'. Jadi … dekatilah ayahnya maka kau dapatkan anaknya," ucap Leon dilanjut dengan tawa sinis. "Diksi akan jadi milikku. Kalau kau masih menginginkannya nanti, tunggulah dia jadi bekasku," bisiknya sambil menepuk pelan pundak Kendra dan berlalu menuju rumah Diksi.
☘️☘️☘️
Keadaan lengang, waktu menunjukkan hampir tengah malam. Angin mulai berembus, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Derit besi terdengar riuh sesekali mengusik beberapa penghuni kamar rumah sakit, tak peduli sudah terlelap maupun yang masih terjaga.
Di kamar VIP Anggrek nomor 07, Herman dan Hesti setia menunggui putrinya. Mereka menanti saat Diksi membuka mata. Pengaruh obat bius mungkin sudah habis, tetapi kondisi setelah kecelakaan membuatnya masih belum siuman.
Herman tiduran di sofa dengan terkantuk-kantuk, sedangkan Hesti duduk di samping ranjang putrinya dengan kepala bertopang pada lengan. Tak jarang keduanya menguap, bahkan seringnya berbarengan. Fisik mereka berdua yang sudah tua membuat mata tak kuat terjaga lama, harapan kepada putrinyalah yang menguatkan sepasang suami istri itu.
Syukurlah harapan mereka terkabul, Diksi mulai siuman. Dimulai dengan gerakan mata yang pelan dan disusul jari-jari yang bergerak lemah. Semuanya dilihat oleh mata Hesti yang sedang awas terjaga.
"Pak … Pak, anak kita sudah sadar. Cepat bangun!" jerit Hesti senang. Ia lalu berdiri dan mencolek suaminya yang tak sengaja terlelap sekejap. Herman terlonjak kaget lalu menghampiri putrinya setelah sadar sepenuhnya.
"Diksi, kamu sudah sadar, Nak?" tanya Hesti ketika mata putrinya terbuka.
Diksi melihat ke atas lalu beralih ke samping, di mana ayah dan ibunya berdiri. Tangan kanannya terulur hendak meraih kedua orang tuanya. Namun, belum sampai tujuannya ia meringis sakit. Diksi merasakan nyeri luar biasa dalam tubuhnya, terlebih di bagian bawah perut hingga kaki. Air mata lolos membasahi pipi, tak tahan dengan derita yang ia alami.
"Sakit, Pak, Buk!" adu Diksi tanpa suara.
***

Comentário do Livro (52)

  • avatar
    MursalinAhmad

    sungguh menakjubkan

    15d

      0
  • avatar
    Zhuelforce

    sangat memuaskan

    23d

      0
  • avatar
    Riyuzii

    ini sangat bagus

    13/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes