logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 2

"Patah tulang panggul yang dialami putri Bapak dan Ibu membuatnya sulit untuk bisa hamil."
Bagai ada godam menghantam dada pasangan tua tersebut setelah mendengar pernyataan dari dokter tentang kenyataan putri mereka yang sulit untuk memiliki keturunan. Diksi masih muda, bahkan pernikahannya baru seumur jagung. Bagaimana sikap suaminya nanti jika mendengar kabar tentang istrinya?
"Kalau tidak ada pertanyaan saya permisi, Pak, Bu." Dokter itu pun memberi salam dan berlalu.
"Iya, silakan, Dokter," jawab Herman, sementara Hesti masih dalam keadaan syok.
Setelah kepergian dokter itu, Herman menatih istrinya untuk duduk di bangku agar lebih tenang. Ia lalu mengambil botol air minum dalam tas yang tadi sudah dibawanya. Air mata sudah mulai banjir di kedua pipi istrinya. Perasaan lelaki tua itu takkalah hancur seperti yang Hesti rasa.
"Minum dulu, Bu!" perintah Herman kepada istrinya setelah membuka tutup botol.
Hesti tidak merespon, hingga Herman berinisiatif mendekatkan botol ke mulut istrinya. Hesti menggeleng, menolak pemberian suaminya.
"Ini semua ujian, kita harus tabah dan sabar menjalaninya, Bu. Kita harus kuat demi Diksi, jangan sampai kita lemah melihatnya. Justru saat seperti inilah kita harus memberi support dan dukungan pada putri kita, supaya dia tetap punya semangat. Hatinya pasti lebih hancur dari kita, jangan menambah lagi kesedihannya dengan ikut bersedih, Bu!" tutur Herman memberi nasihat pada Hesti seraya menutup botol dan mengembalikannya ke tempat semula.
"Bagaimana nanti dengan pernikahannya, Pak? Leon pasti keberatan karena Diksi tak bisa memberinya anak," sahut Hesti di sela isak tangisnya. Hesti sedikit tahu mengenai rumah tangga anak perempuannya.
"Mereka bisa mengadopsi di panti asuhan jika ingin memiliki anak, Bu."
"Leon pasti menolak, Pak. Ibu tahu bagaimana perangainya."
"Jangan mendahului takdir, Bu. Biarkan semua mengalir saja."
Herman menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, ia lelah. Pandangan matanya lurus menghadap ke depan, pikirannya kosong. Dalam hati ia juga mengkhawatirkan hal sama dengan istrinya. Namun, ia harus lebih kuat dibanding istri dan anaknya. Bagaimanapun nanti yang akan terjadi, dirinyalah penopang utama dalam keluarganya. Dia tak boleh lemah maupun goyah.
"Bagaimana nanti kalau Diksi diceraikan suaminya, Pak? Ibu takut! Diksi masih muda, tetapi menjadi janda."
"Jika hal itu terjadi, kita harus ikhlas dan siap menerimanya kembali bersama kita. Ingat, semua hal sudah digariskan Ilahi, Bu!"
Mereka pun terdiam, hanyut dalam pikirannya masing-masing. Duduk berdua di ruang tunggu, bahkan susasana rumah sakit sama sekali tidak mengganggu. Lalu, bagai tersedot dalam lubang yang kecil, Hesti tersadar dari lamunannya. Ia menegakkan punggung dan menepuk pundak suaminya. Hanya tepukan pelan tetapi langsung membuat Herman memberi respon dan memalingkan wajah menatap istrinya.
"Leon sudah dihubungi, Pak?" tanya Hesti kemudian.
"Tadi aku sudah menghubunginya tetapi nomornya tidak aktif, lalu aku kirim pesan, semoga sudah ada balasan. Sebentar!" Herman mengambil ponsel dari saku kemejanya, mencari pesan balasan dari menantunya. "Pesannya belum dibaca, Bu," lanjutnya, kecewa.
"Coba dihubungi lagi, Pak!"
Herman melaksanakan instruksi dari istrinya, mencoba menghubungi kontak nama 'Leon'. Namun, nihil. Hanya ada suara operator dari speaker ponselnya. Embusan napas berat dikeluarkan oleh Herman, ia heran apa yang sedang dilakukan menantunya hingga menonaktifkan ponsel. Jika ada kabar genting seperti sekarang, kan jadi susah menghubungi dirinya. Saat Diksi sadar nanti pasti ia mencari suaminya, bagaimana Herman akan memberi penjelasan?
"Ya sudah, Bu, kita hanya bisa berharap Leon baik-baik saja dan segera membaca pesan yang Bapak tinggalkan, agar bisa segera menyusul kita di sini. Sekarang lebih baik urus Diksi, kita tanya perawat apa ia sudah dipindah ke ruang perawatan," ucap Herman seraya berdiri dan mengajak serta istrinya. Hesti menarik napas dan mengembuskannya perlahan untuk menetralisir sisa tangis dan kecewa dalam dada lalu mengikuti suaminya yang telah cukup jauh melangkah.
Sementara itu, Kendra menemui dokter yang siang tadi memimpin operasi Diksi. Ia sengaja menunggu hingga berakhirnya proses tersebut dan segera menemui dokter ahli untuk mengetahui keadaan Diksi. Rasa khawatir dalam dada terus menuntut agar pria itu mencari tahu keadaan gadis itu secara pasti.
"Dok, bagaimana tadi operasinya?" tanya Kendra setelah menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi ruang kerja dr. Khadafi Sp OT, dokter senior sekaligus temannya.
"Lancar, alhamdulillah. Kenapa? Seharusnya kamu tadi ikut, biar nggak cemas seperti barusan," jawab dokter berusia empat puluhan tahun itu disertai kekehan. Sementara Kendra bersungut kesal karena digoda oleh seniornya. Khadafi kesal karena Kendra mengirim pesan spam untuk bertanya proses operasi berakhir dua puluh menit yang lalu. Ketika ia membalas pesannya, dalam waktu singkat Kendra sudah muncul menemuinya. Hal yang belum pernah Kendra lakukan sebelumnya, dan mengundang kecurigaan dalam hati pria yang sudah mulai beruban itu.
"Pasien tadi … dia, kan?" tanya Khadafi to the point. Ia tampak seperti hakim yang memberi hukuman kepada narapidana.
Mata Kendra membulat sempurna mendengar pertanyaan yang terlontar dari pria di hadapannya. Ingatannya kembali ke masa beberapa tahun silam, dimana hubungannya dengan seorang gadis harus kandas karena terhalang restu. Ayah sang gadis lebih memilih menikahkan anaknya dengan pria pilihannya. Tragisnya, pria itu sudah memfitnahnya dengan sangat keji. Membuat ayah Diksi tak hanya tidak memberi restu, tetapi juga membencinya.
***

Comentário do Livro (52)

  • avatar
    MursalinAhmad

    sungguh menakjubkan

    15d

      0
  • avatar
    Zhuelforce

    sangat memuaskan

    23d

      0
  • avatar
    Riyuzii

    ini sangat bagus

    13/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes