logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

WONDER WOMAN

WONDER WOMAN

yufi_ria


Bab 1

Derit suara roda brankar memekik telinga, didorong oleh dua perawat menuju ruang Unit Gawat Darurat. Seorang wanita terbaring tak sadarkan diri, darah kering bercampur dengan yang basah. Perdarahan masih deras, membuat orang awam bergidik ngeri namun juga kasihan jika melihat. Namun, tak ayal mereka menarik pandangan karena penasaran.
Dua perawat perempuan sibuk dengan tugasnya masing-masing. Satu perawat berjilbab, berusaha menghentikan perdarahan, sedangkan yang lain memulai pemeriksaan tanda-tanda vital dan memasang infus di tubuh wanita berambut panjang itu.
"Bagaimana kondisi pasien?" tanya seorang pria sambil memakai handscoon. Ia memakai jas putih khas profesinya. Kondisi ruang yang hiruk pikuk tidak memcah kosentrasinya ketika menangani pasien.
"Korban KLL, nadi lemah serta kesadaran menurun. Perdarahan belum berhenti di kaki dan panggul, Dok," jawab salah satu perawat.
Pria yang dipanggil Dokter kemudian berjalan mendekat. Melihat pasien dari bagian bawah lalu ke atas. Ketika melihat wajah wanita yang tak sadarkan diri itu, napas sang dokter seperti terhenti. Tenggorokannya tersekat.
"Diksi …," gumamnya lirih, matanya menatap lekat pasien yang berlumuran darah itu.
"Dokter kenal pasien ini? Kebetulan kalau iya, soalnya nggak ada nomor yang bisa dihubungi. Mungkin Dokter nanti bisa memberi kabar pada keluarganya," saran perawat yang lain.
"Iya, nanti saya hubungi keluarganya. Sekarang kita lanjutkan anamnesanya!" perintah dokter itu.
"Baik, Dok."
Setelah selesai dilakukan pemeriksaan pasien dan mencatatnya, dokter jaga UGD itu keluar bersama perawat yang lain.
"Hubungi dokter ortopedi, siapkan ruang operasi dan berkas administrasi. Jangan lupa siapkan transfusi darah O+ untuknya. Aku akan hubungi orang tua pasien!" perintah Kendra, nama dokter itu.
"Siap, Dok!" jawab kedua perawat serempak lalu melaksanakan perintah perintah.
Kendra melepas handscoon yang sudah berlumuran darah dan membuangnya. Ia mencuci tangan di wastafel kemudian duduk di kursi kosong dekat UGD. Wanita yang habis kecelakaan tadi adalah pasien terakhirnya selama menjadi dokter jaga siang ini, tugasnya kini sudah digantikan dokter yang lain. Kendra mengambil ponsel dalam saku celananya, lalu memencet tombol panggil setelah menemukan kontak nama yang dicari dengan mengumpulkan segenap keberaniannya.
"Hallo, assalamualaikum," sahut suara pria di seberang ketika telepon tersambung setelah dering keempat.
"Waalaikumsalam, Pak," sahut Kendra.
"Ya, dengan siapa saya bicara?"
"Saya … Kendra, Pak," jawab Kendra, ragu.
"Kendra? Untuk apa kamu menghubungi saya, besar juga nyalimu!" sinis pria tua itu.
"Maaf, ini bukan tentang saya, tetapi putri Anda, Diksi."
"Kenapa dengan putriku?"
"Diksi mengalami kecelakaan dan akan dioperasi, dia butuh tanda tangan persetujuan untuk tindakan selanjutnya. Mohon Bapak sebagai orang tuanya segera datang ke Rumah Sakit Harapan Sehat," sahut Kendra.
"Kamu tidak berbohong, kan?"
"Tidak, Pak."
"Baiklah, saya akan kesana!"
"Iya, Pak," jawab dokter tampan itu lirih hampir tak mengeluarkan suara.
"Dimana Leon, kenapa ru--," gumam ayah Diksi sebelum telepon ditutup.
Pertanyaan yang sama juga terlintas dalam benak Kendra. Dimana suami Diksi? Apakah dia berkendara sendirian saja? Ia lalu lekas mencari orang yang sudah mengantar wanita masa lalunya ke rumah sakit. Beruntung setelah tanya sana sini, orang yang dicarinya ketemu.
"Permisi, Pak. Apakah Bapak yang mengantarkan seorang wanita korban kecelakaan tadi?" tanya Kendra setelah menghampiri seorang pria yang duduk sambil bermain ponsel di dekat pintu luar UGD.
"Iya, itu saya. Kenapa ya?" tanya pria itu. Ia masih muda, mungkin sekitar dua puluhan tahun.
"Tidak ada apa-apa, saya dokter yang menangani korban tadi dan ingin bertanya bagaimana kronologi kecelakaannya."
"Ooh, saya tidak tahu secara pasti, Dok. Namun, menurut yang saya dengar mbaknya tadi nyetir sendiri lalu menabrak pohon dan kakinya terjepit, mungkin remnya blong karena kondisi jalan sedang sepi," cerita pemuda itu. Ia melihat ke kanan kiri lalu bertanya,"apa saya sudah boleh pulang, Dok?"
"Apa Anda sudah mengisi data diri sebagai pengantar korban? Kalau sudah, silakan."
Pemuda itu mengangguk lalu pamit undur diri, berjalan menuju parkiran dengan diiringi sorot mata Kendra yang hanya bisa memandang punggungnya.
Dari kejauhan Kendra melihat pemuda itu berpapasan dengan orang yang beberapa menit lalu ia hubungi, berjalan cepat berdua bersama istrinya. Sontak Kendra berdiri, berjalan menjauh agar tak dilihat. Ia tak ingin keberadaannya diketahui.
Setelah orang tua Diksi menandatangani berkas persetujuan, operasi pun dilakukan. Keluarga Diksi duduk menunggu di luar OK selama operasi berlangsung. Ayah dan ibunya berharap cemas, dalam hati melantunkan doa keselamatan untuk putrinya.
Setelah proses operasi selesai beberapa jam kemudian, mereka berdua menemui dokter untuk meminta penjelasan.
"Bagaimana keadaan putri kami, Dok?" tanya Herman, ayah Diksi.
"Pasien mengalami patah tulang kedua kaki dan tulang panggul, kami memasang pen luar jadi sementara putri Bapak hanya bisa berbaring. Ada beberapa luka ringan juga, kita observasi lagi nanti setelah pasien sadarkan diri," jelas dokter pria itu.
"Apakah putri saya lumpuh, Dok?" tanya Hesti, sang ibu.
"Kita berdoa saja untuk kesembuhannya, Bu. Untuk sementara memang pasien hanya bisa berbaring, setelah kaki bisa ditekuk nanti pakai kursi roda. Dengan beberapa terapi semoga bisa memulihkan keadaannya seperti semula. Hanya saja ada hal buruk yang menimpa pasien."
"Apa itu, Dok?" tanya orang tua Diksi, serempak.
"Patah tulang panggul yang dialami putri Bapak dan Ibu membuatnya sulit untuk bisa hamil."
***

Comentário do Livro (52)

  • avatar
    MursalinAhmad

    sungguh menakjubkan

    15d

      0
  • avatar
    Zhuelforce

    sangat memuaskan

    23d

      0
  • avatar
    Riyuzii

    ini sangat bagus

    13/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes