logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Chapter 3

Amira terbaring lemah. Di punggung tangannya tertancap jarum infus. Sudut bibirnya terluka. Wajahnya memucat karena sedari tadi menahan dinginnya guyuran air hujan.
Di samping tempat tidur, lelaki itu duduk sambil memperhatikannya. Dia terlihat cemas dengan keadaan gadis itu. Karena dirinya, gadis itu harus merasakan pukulan dan perlakuan yang sangat tidak manusiawi.
Saat masih memperhatikan Amira, ponselnya tiba-tiba berdering. "Iya, Nak. Ada apa?"
"Papa kenapa belum pulang?" tanya seorang gadis kecil di ujung telepon.
"Maafkan Papa. Papa harus menjaga Kakak yang waktu itu menolong Indah. Saat ini, dia membutuhkan bantuan Papa. Indah tidak keberatan, kan?"
"Iya, Pa. Tolong jaga Kakak, ya. Kalau Kakak sudah sembuh, antarkan Kakak ke rumah. Indah ingin bertemu dengannya," ucap gadis kecil itu.
"Iya, nanti Papa sampaikan. Indah sudah makan?"
"Sudah, Pa. Indah akan menunggu Papa."
Lelaki itu tersenyum. "Kalau sudah mengantuk, Indah tidur saja. Sudah, ya, Nak. Sepertinya Kakak sudah bangun."
"Iya, Pa."
Lelaki itu menyimpan kembali ponselnya. Dia melihat Amira yang sudah membuka mata. "Jangan bergerak dulu. Berbaringlah, kamu harus banyak istirahat," ucapnya pada Amira yang memaksa untuk duduk.
"Aku baik-baik saja. Maaf, sebaiknya aku tidak di sini," ucapnya sembari mencoba melepaskan jarum infus dari punggung tangannya.
"Apa yang kamu lakukan? Jangan lakukan itu!" Lelaki itu mencegah Arumi untuk mencabut jarum infus, tetapi terlambat. Punggung tangannya telah mengeluarkan sedikit darah.
"Aku tidak bisa ada di sini dengan keadaan seperti ini. Aku ...." Amira terdiam saat tubuhnya tidak bisa diajak bekerjasama. Rasa pening kembali menyerang, hingga membuatnya hampir terjatuh andai lelaki itu tidak segera meraih tubuhnya.
"Kamu masih dalam perawatan. Tubuhmu lemah. Kamu harus ...."
"Aku tidak bisa terus di sini! Aku ...."
"Amira, tenanglah!" Seorang dokter tiba-tiba datang dan menenangkannya. "Jangan khawatirkan ibumu. Dia pasti akan khawatir jika melihatmu seperti ini. Karena itu, jangan membantah lagi."
"Dokter, aku tidak punya apa-apa lagi. Aku masih harus bekerja untuk biaya pengobatan ibuku. Kalau aku hanya diam di sini, bagaimana dengan nasib ibuku? Lagi pula, aku baik-baik saja. Lihat, aku tidak apa-apa."
Tiba-tiba, dia terhuyung dan tidak sadarkan diri. Mereka lantas membaringkannya di tempat tidur dan memasangkan kembali jarum infus yang tadi terlepas.
Lelaki itu menatap Amira cemas. "Dok, sebenarnya apa yang terjadi dengan ibunya?"
Lelaki paruh baya itu menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia menatap Amira sedih. "Ibunya dirawat di rumah sakit ini. Sudah hampir sebulan ibunya mengalami koma dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit."
"Memangnya, ibunya menderita penyakit apa?"
"Demensia akut. Saat dibawa ke sini, ibunya sudah mengalami lupa ingatan yang parah. Bahkan, dia sudah tidak mengenali anaknya yang selama ini sudah menjaga dan merawatnya."
"Lalu, apa penyakit itu bisa sembuh?"
Dokter menggeleng. "Hanya keajaiban yang bisa membuatnya sadar. Amira memintaku untuk tetap melakukan perawatan walau dia harus bekerja untuk mencari biaya pengobatan. Dia tahu, ibunya hanya tinggal menunggu waktu, tapi dia tidak menyerah."
Lelaki itu menatap Amira sesaat. "Lakukan saja perawatan pada ibunya. Untuk biaya, aku yang akan menanggungnya."
"Pak Ziyan, apa Bapak mengenalnya?"
Lelaki itu mengangguk. "Dia gadis yang baik. Pokoknya, berikan saja perawatan yang terbaik untuk ibunya."
"Baiklah."
Dokter itu lantas pergi. Ziyan kembali duduk di samping Amira. Ada rasa kagum saat melihat gadis itu. Gadis tangguh yang bekerja keras mencari biaya untuk pengobatan ibunya.
Malam itu, Ziyan tidak kembali ke rumah. Dia tidur di rumah sakit. Ruangan yang ditempati Amira memiliki peralatan yang lengkap. Ziyan memilih ruang VIP agar gadis itu bisa beristirahat dengan tenang.
Di sofa, Ziyan berbaring. Dia merasa harus bertanggungjawab atas kejadian yang dialami Amira. Dia tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian tanpa ada yang menemani.
Walau sudah memaksa untuk tidur, nyatanya matanya enggan terpejam. Dia masih terjaga. Akhirnya, dia memilih untuk duduk sambil menikmati secangkir kopi yang tersedia di ruangan itu.
Amira terbangun. Ziyan lantas mendekatinya. Amira memandangnya seraya berusaha untuk duduk. Ziyan kemudian membantunya.
"Kenapa Bapak masih ada di sini?" Amira melihat sekitar ruangan itu. Dia terkejut karena ruangan itu tidak pantas untuk ditempati olehnya. "Maafkan aku, Pak. Besok aku akan keluar dari ruangan ini," ucapnya seraya menunduk.
"Aku di sini karena ini tanggung jawabku. Mana mungkin aku membiarkanmu dirawat tanpa ada yang menemani. Lagi pula, kamu harus sembuh agar bisa bertemu dengan putriku."
Amira menatapnya lekat. "Maksud Bapak?"
"Apa kamu tidak mengingatku?"
Amira terlihat bingung. Dia benar-benar lupa. Ziyan hanya tersenyum.
"Kamu ingat dengan gadis kecil yang di restoran waktu itu, kan?"
Amira mencoba mengingat. Dia lantas tersenyum. "Ya, aku ingat." Amira menatap Ziyan dan dia akhirnya sadar kalau lelaki itu adalah ayah dari gadis kecil itu.
"Maafkan aku, Pak. Waktu itu aku tidak ...."
"Ya, aku tahu. Kamu tidak mungkin menculiknya. Putriku sudah menjelaskannya padaku. Dia juga yang memintaku untuk menjagamu dan membawamu ke rumah kalau kamu sudah sembuh."
Amira tersenyum. Mengingat gadis kecil itu, dia merasa tenang. Tidak disangka, mereka akan dipertemukan kembali.
"Tapi, Pak, bagaimana Bapak bisa tahu kalau aku ada di mobil itu?"
"Aku melihatmu saat di lampu merah. Hanya saja, aku terlambat mencegahnya untuk membawamu. Karena itu, aku mengejarnya," jelas Ziyan.
"Terima kasih, Pak. Kalau bukan karena Bapak, mungkin saja aku sudah mati. Dan untuk biaya selama aku dirawat, aku sendiri yang akan membayarnya," ucap Amira yang terlihat gugup karena dia tahu biaya perawatannya tidaklah sedikit.
"Jangan khawatir, aku sudah membayarnya. Jangan pikirkan hal itu lagi. Sekarang, tidurlah. Aku akan tidur di sofa."
Amira sama sekali tidak membantah. Dia kembali berbaring. Sementara Ziyan kembali ke sofa. Dia menatap langit-langit sembari berbaring. Sesekali, dia melirik ke arah Amira yang sudah tertidur. Tak lama, dia pun tertidur.
Keesokan paginya, Ziyan terbangun dan tidak menemukan Amira di tempat tidur. Dia mengetuk pintu kamar mandi, berharap gadis itu ada di sana, tetapi tidak ada siapa-siapa.
Dia lantas bergegas keluar. Saat membuka pintu, dia berpapasan dengan Amira yang baru datang. Melihat gadis itu, Ziyan mengembuskan napas lega. "Kamu dari mana?"
"Maaf, aku ...."
"Sudahlah, ayo masuk!"
"Tapi, Pak, aku harus kembali bekerja. Terima kasih karena Bapak sudah menolongku. Aku kembali ke sini karena ingin pamit pada Bapak," ucap Amira. Rupanya, dia ingin pergi secara diam-diam, tetapi dia kembali karena merasa itu bukanlah sikap yang baik.
"Kamu akan mencari kerja di mana?"
"Entahlah, tapi aku tidak akan bekerja di tempat itu lagi."
"Baiklah, tapi kamu bisa 'kan memenuhi permintaan putriku? Dia ingin bertemu denganmu. Apa kamu bisa?"
Amira mengangguk seraya tersenyum. Sebelum pergi, Amira menjenguk ibunya terlebih dulu. Ziyan mengikutinya dan dia tahu kalau gadis itu sangat menyayangi ibunya.
Setelah itu, mereka kemudian pergi ke rumah Ziyan. Di pelataran sebuah rumah, Amira berdiri. Dia kagum dengan megahnya rumah yang berdiri tegak di depannya. Rumah berlantai dua yang terlihat minimalis.
"Ayo, masuk!" ajak Ziyan.
Amira mengikutinya. Dia disambut ramah oleh seorang asisten rumah tangga. Wanita paruh baya yang biasa dipanggil Bi Inah.
"Bi, mana Indah?"
"Ada di kamar, Tuan."
"Ya, sudah. Aku akan menemuinya. Amira, kamu tunggu di sini. Aku akan membawa Indah ke sini."
"Baik, Pak!"
Ziyan lantas masuk ke kamar putrinya. Gadis kecil itu sedang bermain dengan bonekanya. Saat melihat ayahnya, dia berjingkrat dan berlari memeluknya.
"Papa!" serunya senang.
"Putri Papa tidak nakal, kan?"
"Tidak, Pa! Indah tidak nakal, kok."
"Iya, Papa tahu. Sekarang kita ke depan. Ada yang ingin bertemu dengan Indah."
"Apa kakak yang waktu itu, Pa?"
Ziyan mengangguk. Gadis kecil itu lantas bersorak. Mereka keluar dan menemui Amira yang sedang memperhatikan foto seorang wanita.
"Dia itu mendiang istriku."
Sontak, Amira berbalik. Dia melihat Ziyan dan gadis kecil yang tampak tersenyum padanya.
" Maaf," ucap Amira.
"Tidak apa-apa. Ini putriku, namanya Indah Maheswari."
Amira tersenyum sambil mengulurkan tangan pada gadis kecil itu. "Hai, Indah. Apa kita bisa berteman?"
Indah mengangguk sembari menerima uluran tangan Amira. Dalam sekejap, keduanya mulai akrab. Bahkan, Indah mengajaknya ke kamar untuk bermain bersamanya.
Gadis kecil itu begitu senang saat bermain bersama Amira. Mereka seakan sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan, mereka mengacuhkan Ziyan yang hanya memperhatikan mereka bermain. Melihat putrinya yang tertawa riang, Ziyan ikut bahagia. Pasalnya, gadis kecil itu sangat susah untuk dekat dengan orang lain. Akan tetapi, bersama Amira, dia terlihat riang dan bahagia.
"Kakak, apa Kakak sudah sembuh?"
Amira mengangguk. "Iya. Apa Indah mengkhawatirkan Kakak?"
Gadis kecil itu lantas mendekatinya. Dia menyentuh sudut bibir Amira yang terluka. "Ini pasti sakit, kan? Indah berdoa semoga Kakak tidak terluka lagi. Kakak juga tidak boleh menangis lagi. Indah juga tidak akan menangis karena Indah tidak ingin membuat Papa cemas."
Amira menatapnya. Gadis sekecil itu ternyata sangat perhatian. Amira lantas memeluknya. "Terima kasih."
Indah membalas memeluknya. Tangannya yang mungil membelai lembut punggung Amira.
Keduanya begitu asyik bermain. Amira bahkan lupa kalau dia harus pergi. Dia harus mencari pekerjaan lain. Walau berat, dia akhirnya meminta undur diri.
"Indah, Kakak harus pergi. Tidak apa-apa, kan?"
"Kakak mau ke mana? Apa Kakak tidak bisa tinggal di sini bersama Indah dan Papa?"
Amira tersenyum. "Kakak harus bekerja. Karena itu, Kakak tidak bisa tinggal di sini. Kakak janji, akan sering datang untuk menemani Indah dan bermain bersama. Indah tidak marah, kan?"
Gadis kecil itu terlihat sedih. Wajahnya cemberut. Bahkan, dia memegang tangan ayahnya dan membujuk agar menahan Amira pergi.
"Papa, jangan biarkan Kakak pergi. Aku masih ingin bersama Kakak," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Ziyan lantas menggendongnya. "Kakak harus pergi untuk bekerja. Kalau ada waktu, Kakak akan datang mengunjungi kita. Iya, kan?"
Amira mengangguk. Dia lantas mengambil gadis kecil itu dari gendongan Ziyan. Mereka pergi ke taman. Tak lama, mereka kembali. Indah terlihat lebih tenang.
"Terima kasih atas semuanya. Maaf, jika aku sudah menyusahkan Bapak. Aku pergi."
Setelah mengecup pipi Indah, Amira bergegas pergi. Sekilas, dia melihat Indah melambaikan tangan padanya. Dia pun membalas seraya tersenyum. Setelah Amira pergi, Indah pun menangis di pelukan Ziyan.
Baru kali ini, Indah menangis layaknya ditinggal ibunya. Padahal, dia tidak pernah menangis saat dia ditinggalkan Ziyan pergi ke kantor. Biasanya, dia akan bermain bersama Bi Inah. Akan tetapi, kehadiran Amira telah membuat gadis itu tidak ingin melepaskannya.
Setelah dibujuk, Indah pun terdiam. Dia tertidur dalam gendongan Ziyan. Anak perempuan berambut sepunggung itu terlihat menggemaskan. Dia adalah penyemangat dan juga hadiah terindah yang diberikan istrinya sebelum pergi menghadap Sang Pencipta. Hadiah yang akan selalu dijaga dengan sepenuh jiwa.
Ziyan meletakkan putrinya di tempat tidur. Setelah menutupinya dengan selimut, dia pun pergi ke ruang kerja. Pekerjaannya telah menunggu karena semalam dia harus menjaga Amira, hingga pekerjaannya tertunda.
Sementara Amira, kembali berkutat dengan hiruk pikuk jalanan di mana dirinya harus mencari pekerjaan baru. Namun, dia kembali kecewa karena pekerjaan ternyata begitu sulit untuk didapatkan.
Selama dua hari, Amira terus mencari pekerjaan. Namun, lagi-lagi dia harus kecewa. Bahkan, dia memilih keluar dari tempat kostnya karena sudah tidak memiliki biaya. Terpaksa, dia harus tidur di rumah sakit.
"Dok, maaf, aku belum bisa membayar tunggakan rumah sakit. Aku mohon, berikan sedikit kelonggaran. Aku pasti akan membayarnya."
Dokter lantas tersenyum. "Jangan khawatirkan hal itu. Semua biaya sudah dibayar."
Amira terkejut. "Dokter tidak bercanda, kan? Memangnya, siapa yang sudah membayarnya?"
"Pak Ziyan. Dia yang sudah membayarnya. Dia adalah pelanggan VIP di rumah sakit ini. Istrinya dulu melahirkan di sini, tapi istrinya tidak selamat. Dia mengalami pendarahan hebat," jelas dokter itu.
Setelah mendengar penjelasan dokter, Amira lantas pergi. Dia ingin menemui Ziyan untuk sekadar mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk segera membayar uang-uang itu.
Setibanya di rumah Ziyan, dia disambut oleh Bi Inah. Wanita itu mempersilakannya untuk duduk. "Sebentar, ya, Non. Saya akan panggilkan Tuan dulu."
"Iya, Bi."
Amira lantas duduk. Tak lama, Ziyan datang bersama Indah. Gadis kecil itu berlari dan memeluk Amira.
"Kakak!" serunya manja. Amira lantas menggendongnya.
"Maaf, aku datang tanpa bilang-bilang dulu. Aku tahu, Bapak yang sudah membayar biaya rumah sakit ibuku. Aku janji, aku akan membayarnya. Aku akan bekerja lebih keras lagi agar bisa segera melunasinya. Aku harap Bapak bisa memberikanku waktu."
"Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan?"
Amira menggeleng.
"Memangnya, kamu punya pengalaman kerja di mana? Apa ijazah terakhirmu?"
Amira terdiam. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan tentang pendidikan terakhirnya. "Aku hanya lulusan SMA dan aku hanya bekerja serabutan." Dia menunduk. Sementara Indah, masih memeluknya. Kedua tangannya melingkar di leher Amira.
Ziyan tidak mengatakan apa pun. Dia hanya menatap gadis itu yang sudah semakin dekat dengan putrinya.
"Bagaimana kalau kamu bekerja di sini saja? Aku akan menggajimu dengan layak. Tugasmu hanya menjaga putriku. Apa kamu bersedia?"
Amira terkejut. Dia seakan tidak percaya kalau dirinya ditawarkan untuk bekerja. Dengan senyum sumringah, dia mengangguk mengiyakan. "Aku bersedia," jawabnya sembari memeluk Indah erat.
"Baiklah, mulai saat ini juga, kamu aku terima bekerja di sini. Nanti Bi Inah yang akan menunjukkan di mana kamarmu."
"Baik, Pak!"
Amira terlihat bahagia. Dia memeluk Indah dan mengecup pipinya. Dia sangat bersyukur karena dipertemukan dengan gadis kecil itu.
"Aku akan menjagamu dan merawatmu. Kamu pantas untuk bahagia walau tanpa kehadiran ibumu. Kita berdua memiliki nasib yang sama. Kita sama-sama merindukan kasih sayang ibu dan aku akan memberikannya padamu," batin Amira sambil membelai lembut puncak kepala gadis kecil itu.
To Be Continued...

Comentário do Livro (154)

  • avatar
    AmeliaIca

    Bgus skli

    3d

      0
  • avatar
    ranissafiyaa

    🥹🥹🫶🏻🫶🏻🫶🏻💗💗💗✨

    29/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus bgt sedikit nguras emosi alur ceritanya😘

    04/05

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes